2012-04-30

Blog Itu Memberikan Pembelajaran

Hanya orang goblok yang mau punya blog.
Pakar telematika

Hanya orang goblok yang menganggap punya blog itu goblok.
Bukan pakar telematika


Di beberapa blog milik teman, sedang ada sebuah trending topic menyangkut seseorang berinisial RJ. Sebagian bahkan mengulas sosok si RJ tersebut dengan serius dalam sebuah posting tersendiri. Sekarang, saya juga “gatal” ingin mengulas topik yang sama, meski saya akan menyamarkan identitasnya.

(Catatan: Saya sengaja tidak mau menyebutkan nama aslinya, karena saya tidak ingin dituduh menulis topik ini sebagai upaya untuk mengundang trafik. Selain itu, saya juga punya etiket pribadi untuk menyamarkan nama atau identitas orang jika ingin membicarakan sisi negatifnya, karena saya percaya bahwa setiap manusia punya hak untuk dijaga perasaannya).

Pertama kali mengenal nama RJ adalah ketika sebuah blog yang sering saya kunjungi membahas tentang orang tersebut. Berdasarkan postingnya, rupanya si RJ ini telah membuat “keributan” di blog-blog lain melalui kolom komentar. Dari posting itu pula kemudian saya menelusuri link-link yang diberikan, dan saya pun melihat langsung seperti apa “keributan” yang telah dilakukan oleh si RJ tersebut.

Di dalam kolom komentar di beberapa blog yang saya baca, si RJ meninggalkan komentar-komentarnya yang memang “tidak sopan”—dengan menyatakan bahwa nge-blog adalah aktivitas yang tak berguna atau bodoh, atau mengkritik sesuatu yang keluar dari konteks posting, atau bahkan secara terang-terangan menyerang si empunya blog. Tentu saja, karena komentarnya yang tidak layak tersebut, si RJ pun diserang balik oleh banyak orang.

Siapakah RJ yang kontroversial itu? Sebenarnya, RJ bukan nama asli, karena orang ini memiliki nama asli yang ia sebutkan di halaman profilnya. Oh ya, dia punya blog sendiri, hanya saja isi blognya hanya membahas bisnis online yang dilakukannya. Saya tidak tertarik dengan bisnis online-nya itu, tetapi saya tertarik membahas kepribadian si RJ sebagai manusia—khususnya dalam konteks dunia blog.

Bertahun-tahun lalu sebelum RJ mengeluarkan statemen-statemennya yang pasti membuat kuping para blogger memerah, di negeri ini telah ada seorang lelaki lain yang disebut (atau menyebut diri) sebagai “pakar telematika” yang juga mengeluarkan hal senada. Si “pakar telematika” itu dengan terang-terangan menyatakan, “Hanya orang goblok yang punya blog.” Selain cemoohannya yang terang-terangan itu, dia juga menunjukkan kebenciannya yang nyata pada para blogger.

Tak usah dikatakan lagi, para blogger pun langsung membencinya. Pada waktu-waktu itu, ratusan blogger di negeri ini seperti kompak menyerang si “pakar telematika” melalui blog mereka, dan hampir bisa dipastikan setiap posting yang membahas tentang itu akan menuai banyak komentar dukungan. Puncaknya, beberapa blogger senior mengusahakan pertemuan langsung antara si “pakar telematika” dengan para blogger di Indonesia.

Mereka mengirimkan undangan kepada si “pakar telematika” tersebut, agar mau bertemu langsung untuk berdiskusi. Karena si “pakar telematika” telah menganggap bahwa para blogger adalah kaum goblok, maka dia pun mungkin jadi khawatir dipukuli atau diculik. Jadi, waktu itu, dia menyatakan mau bertemu langsung, dengan syarat pertemuan itu dilaksanakan secara “akademis” dan di tempat yang “terhormat”.

Permintaan itu dituruti. Beberapa blogger menghubungi kampus-kampus yang memiliki ruang auditorium cukup luas, dan hasilnya sebuah kampus di Jakarta bersedia membantu menyediakan ruang auditoriumnya untuk pertemuan itu.

Si “pakar telematika” pun diberitahu, dan tanggal pertemuan ditetapkan. Sekarang si “pakar telematika” tidak punya alasan lagi untuk menolak. Para blogger se-Indonesia waktu itu sudah harap-harap cemas, dan mungkin diam-diam bahkan berdoa semoga Tuhan tidak buru-buru mencabut nyawa si “pakar telematika” agar dia punya kesempatan mengunjungi pertemuan tersebut.

Sebenarnya, tujuan para blogger ingin bertemu langsung dengan si “pakar telematika” waktu itu hanya ingin bertanya baik-baik, “Hei, Tuan Pakar, kenapa Anda kok selama ini sepertinya sangat membenci kami? Kenapa Anda terus-terusan menyerang eksistensi kami? Kenapa Anda secara terang-terangan menyebut kami goblok?”

Pasalnya, pada waktu-waktu itu, si “pakar telematika” sering berkoar-koar di media massa tentang “kegoblokan” para blogger, dan dia pun terus-menerus menunjukkan kebenciannya. Tapi dia tidak mau menjelaskan alasannya (secara akademis) mengapa dia membenci blogger hingga demikian antipatinya. So, si “pakar telematika” ini dinilai cuma omdo, besar mulut, tapi tidak mau menjelaskan latar belakang pemikirannya secara ilmiah dan akademis—mengingat dia seorang akademisi.

Nah, yang dilakukan RJ sekarang ini tidak jauh beda dengan si “pakar telematika” di atas. Dia hanya berkoar-koar di kolom komentar blog orang, menyerang aktivitas blogging, atau bahkan menyerang si bloggernya secara tidak relevan, namun tidak mau menjelaskan latar belakang pemikirannya. Hasilnya tentu caci-maki balasan. Jika dia menuduh para blogger adalah sekumpulan orang goblok, maka sesungguhnya dia justru sedang menunjukkan kegoblokannya sendiri.

Tetapi, sesungguhnya, kasus semacam itu tidak semata dilakukan oleh RJ. Kita sendiri pun bisa jadi tergelincir melakukan apa yang dilakukan RJ, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. RJ, dalam perspektif saya, hanya personifikasi atas ketidakmampuan melihat perbedaan dengan orang lain. RJ adalah ilustrasi mudah untuk menunjukkan betapa ternyata seseorang bisa memiliki pikiran yang amat sempit—sebegitu sempitnya hingga mudah menyalahkan orang lain.

Dunia blog adalah dunia pribadi orang per orang. Artinya, setiap pemilik blog memiliki hak untuk menggunakan blognya dengan tujuan apa pun secara personal. Ia boleh menggunakannya untuk menulis kisah-kisah pribadinya, untuk menuangkan uneg-unegnya, untuk berbisnis dan mendapatkan uang, untuk menjalin persahabatan, untuk menuangkan pemikiran, untuk memajang foto-foto atau lukisan karyanya, dan untuk hal-hal lain.

Semuanya itu sah, selama tidak melanggar etika sosial dan aturan yang ditetapkan pihak penyedia platform yang digunakan. Karenanya, meminjam ilustrasi ~Itik Bali~, blog itu seperti restoran atau warung makan. Jika kita masuk warung Padang, maka bersiaplah untuk mendapatkan sajian masakan ala Padang. Sungguh konyol dan ironis jika kita masuk warung Padang dan meminta menu yang tak disediakan di sana, lalu marah-marah pada pemilik warungnya.

Setiap isi blog tergantung pada pemiliknya. Jika kita menyukai artikel-artikel bisnis, maka kunjungilah blog yang memang memuat materi itu. Jika kita mengunjungi blog pribadi dan kemudian merasa tidak cocok, itu bukan salah bloggernya, melainkan kita yang salah masuk!

Begitu pun, kalau kita membaca sebuah blog dan kemudian merasa tidak cocok dengan postingnya, maka tidak perlu repot-repot menyalahkannya. Sekali lagi, blog adalah ruang pribadi masing-masing pemiliknya. Di dalam blog pribadi, ada orang yang menuangkan pengalaman sehari-harinya, ada pula yang menuangkan pemikiran-pemikirannya. Jika pengalaman sehari-hari setiap orang biasanya berbeda-beda, maka tentu sungguh wajar jika pemikiran orang pun bisa berbeda-beda.

Coba bayangkan ilustrasi yang konyol ini.

Saya seorang cowok berusia 23 tahun, dengan kegiatan sehari-hari yang hanya berkutat di ruang santai, kamar tidur, dan teras rumah. Teman saya sehari-hari cuma buku, laptop, rokok, majalah, dan playstation. See, saya punya latar belakang pribadi yang membosankan. Karena latar belakang pribadi itulah yang kemudian menjadikan blog saya sekarang jadi seperti ini.

Sekarang bayangkan saya mengunjungi blog Itik Bali. Ayu, pemilik blog Itik Bali, adalah seorang cewek sweet seventeen yang masih SMA, dengan umur yang tentu jauh di bawah saya. Jika dia menceritakan kisah pribadinya di blog, apakah mungkin kisahnya akan sama dengan saya? Kita semua tentu tahu jawabannya!

Nah, sekarang bayangkan saya marah-marah ketika membaca kisah Ayu di blognya, karena saya merasa kisah keseharian Ayu berbeda dengan kisah keseharian saya. Apa yang akan terjadi? Saya akan menjadi orang paling idiot di muka bumi! Sungguh konyol sekaligus tolol jika saya berharap Ayu memiliki kisah keseharian yang sama dengan saya, padahal latar belakang kami jelas-jelas berbeda!

Lebih konyol lagi jika saya mencaci-maki Ayu di kolom komentar blognya, hanya gara-gara saya menganggap kisahnya berbeda dengan saya. Atau, yang tidak kalah konyolnya, saya membuat posting khusus di blog saya, hanya untuk mengkritik Ayu karena saya merasa dia berbeda dengan saya! Jika itu yang saya lakukan, maka benarlah yang dikatakan si “pakar telematika”, bahwa “Hanya orang goblok yang punya blog!”

Sekali lagi, kita semua memiliki latar belakang berbeda. Karena latar belakang berbeda, maka kisah keseharian pun berbeda. Karena latar keseharian berbeda, maka pemikiran pun berbeda. Jika Tuhan menciptakan kita semua dalam bentuk yang berbeda, mengapa kita harus menyalahkan orang lain jika berbeda…???

Pemikiran semacam itulah yang seyogyanya kita terapkan pada diri sendiri ketika mengunjungi blog milik orang lain, dan kemudian membaca tulisan-tulisannya. Setiap pribadi adalah unik—dengan ragam perbedaan latar belakang, pemikiran, cara memandang sesuatu, usia, bahkan jenis kelamin dan tempat tinggal yang berbeda.

Karenanya, syarat mutlak untuk tidak goblok ketika membaca tulisan di blog adalah menyadari bahwa selalu ada kemungkinan kita akan berbeda dengan orang yang tulisannya kita baca. Jika kita tidak mau atau tidak siap menerima perbedaan, maka sebaiknya tinggal saja di goa, dan tidak usah membuka blog orang lain.

Back to topic, kita kembali pada si RJ di atas. Kemungkinan, orang semacam RJ adalah orang yang tidak memahami kenyataan tersebut, sehingga menganggap orang yang berbeda dengannya adalah salah.

Orang-orang semacam inilah yang sering kali menjadikan hidup orang lain tak pernah tenteram. Bahkan, jika kita membaca sejarah, kita akan disuguhi kenyataan bahwa sebagian besar perang terjadi karena adanya orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan dengan orang lainnya.

Blog diciptakan tidak untuk membuat perang atau permusuhan, melainkan untuk dijadikan sebagai sarana aktualisasi diri, berbagi, dan saling belajar. Akan lebih bagus jika melalui blog terjalin persahabatan sehingga menambah kawan. Namun, jika tidak, saya lebih suka menganggap blog sebagai sarana pembelajaran untuk memahami bahwa masing-masing kita memang berbeda, dan kita harus belajar berbesar hati untuk menerima perbedaan itu.

Filsuf besar Aristoteles adalah murid Plato. Pada waktu Plato sedang sekarat menjemput kematian, Aristoteles berkata dengan suara terisak, “Guru, tinggalkanlah satu pelajaran lagi untukku sebelum kau pergi selamanya.”

Plato, sang guru, dengan suara lirih membisikkan pelajaran penting terakhirnya untuk sang murid, “Terimalah perbedaan… Jangan salahkan orang lain jika ia berbeda denganmu.”

Terimalah perbedaan. Jangan salahkan orang lain jika ia berbeda denganmu. RJ mungkin perlu mendengar pelajaran Plato tersebut. Tetapi, pelajaran itu pun sama perlunya untuk kita semua.

2012-04-28

Kosong....Tapi Sombong!!

Selembar kertas bersih seputih salju berbicara pada dirinya sendiri, “Aku tercipta dengan kemurnian, karena itu selamanya aku akan tetap murni. Lebih baik aku dibakar dan hangus menjadi abu daripada menderita karena tersentuh kegelapan atau didekati sesuatu yang kotor.”

Tinta dalam botol mendengar kata-kata itu, dan ia tertawa dalam hatinya yang hitam, namun tidak mendekatinya. Pensil-pensil beraneka warna pun mendengarnya, namun mereka pun tak pernah mendekatinya.

Dan selembar kertas bersih seputih salju itu pun selamanya tetap putih murni, putih dan murni, tetapi... kosong.

Maaf Saya Bukan Playboy

Apa tuh playboy??­­­­­­­­­­ Saya juga kurang tahu apa yang mereka tahu tentang playboy. Dan yang saya tahu, jabatan cowok sebagai playboy lebih dikonotasikan ke-sisi negatifnya. Dengan kata lain, cowok yang predikatnya sebagai playboy adalah cowok yang kurang baik. Sementara menurut ~okezone.com~, playboy adalah sebuah ungkapan bagi laki-laki yang sering gonta-ganti pasangan dan sering selingkuh. Lho mungkin saja si ­­­­­­­­­­─playboy­­­­­­­­­­─ ada, karena cewek matere juga ada.
 
Ouh jadi itu yang dimaksud playboy. Dengan begitu, jujur dengan sejujur-jujurnya untuk jujur yang sudah jujur, saya bukan playboy dan ingin menjadi pria yang baik untuk kehidupan saya dan pasangan saya kelak.

2012-04-27

Saya Bukan Chinese

Seorang teman yang baru kenal pernah bertanya, “Hei Bay, kamu chinese ya?”

“Haah…?” saya bengong. “Bukan!”

Setelah yakin saya bukan chinese, si teman ini menjelaskan empat macam chinese.

Yang pertama, orang yang memang chinese, tapi tidak tahu dirinya chinese. Jadi, orang-orang tahu dia
chinese, berdasarkan ciri-cirinya. Tapi si orang bersangkutan sama sekali tidak tahu dirinya chinese. Orang semacam itu memang langka, tapi bukan berarti tidak ada.

Yang kedua, orang yang memang
chinese, dan sadar dirinya chinese. Yeah, ini bisa dibilang umum. Orang jenis ini ada yang baik, ada juga yang sok. Tapi yang jelas dia chinese, dan kita mengakui identitasnya.

Yang ketiga, orang yang bukan
chinese, tapi mirip chinese. Cukup banyak orang seperti ini. Nah, orang jenis ini biasanya dibagi dua, yaitu orang yang jujur mengakui kalau dirinya bukan chinese, dan orang yang berbohong dengan mengaku kalau dirinya chinese.

Yang keempat paling parah. Jenis keempat adalah orang yang bukan
chinese, sama sekali tidak mirip chinese, tapi merasa dirinya chinese, dan mengaku-aku kalau dirinya chinese. Belum cukup, orang ini juga suka berkeliling kesana kemari dan berkoar-koar kalau dirinya chinese. Lebih konyol lagi, orang ini juga bergabung dengan organisasi atau komunitas chinese, karena sangat yakin dirinya memang chinese.

….
….

Ketika mendengarkan penjelasan di atas, saya bengong. Lalu bertanya pada si teman, “Memangnya ada, gitu?”

“Ada, bay. Bahkan nggak sedikit. Kayaknya itu malah sekarang jadi tren.”

“Jadi tren?” saya makin bengong.

“Iya. Sekarang ini ada organisasi atau komunitas "gaul"
chinese yang secara khusus ditujukan untuk orang-orang yang merasa dirinya chinese. Beda lho dengan komunitas kampung pecinan (kumpulan orang-orang/masyarakat cina yang berada di suatu wilayah tertentu).Kalau itu udah jelas mereka kebanyakan memang orang-orang chinese atau paling gak keturunan ke-1000 dari orang asli cina. Tapi mereka tidak berkomunitas "gaul". Lucunya, kalau yang chinese gadungan ini tidak ada satu pun orang di dalam komunitas "gaul" itu yang memang benar-benar chinese. Kenapa? Karena orang yang benar-benar chinese tidak punya komunitas "gaul"  semacam itu!”

….
….

Percakapan itu terjadi beberapa minggu yang lalu, tapi sekarang terngiang kembali di telinga saya. Beberapa hari terakhir, saya telah membuktikan apa yang dikatakan teman saya di atas, dan memang benar adanya. Seseorang mengaku kepada saya bahwa dirinya
chinese, padahal saya tahu dia sama sekali tidak punya ciri-ciri chinese , bahkan jauh banget dari kesan chinese. Uh, kenyataan itu menjadikan kepala saya fannao.

Si
chinese gadungan itu sangat pede ketika mengatakan, “Ah, saya chinese, lho. Saya malah gabung dengan beberapa komunitas chinese. Yah, gaul saya memang gaul chinese.”

Saya bengong.

Si
chinese gadungan menegur, “Eh, kok kamu malah bengong gitu?”

“Uh…” saya tergagap. “Sebenarnya… sebenarnya
chinese itu apa?”

“Masak sih kamu nggak tahu? Googling dunk! Sekarang kan lagi musim
chinese.”

Saya bengong.

“Eh, kok malah bengong lagi?”

“Sepertinya… uh, sepertinya kepala saya fannao.”

“fan… apa?”

“fannao.fannao.”

“fannao? fannao itu apa…?”

Halllaaahhh…!!! Katanya
chinese…??? Mosok fannao aja nggak tahu…???

Seperti Apa Sih Wanita Hebat Itu??

Wanita hebat adalah wanita yang sadar—sesadar-sadarnya—bahwa jalan raya bukan milik neneknya.
.......
.......
.......
.......
~Minggir oey minggir, ini jalan raya bukan lapangan sepak bola!~

Rayuan Gombal..???Hari gini...!!

“Neng, bapak kamu hantu, ya?”

“Hah…?”

“Soalnya kamu terus-menerus menghantuiku.”

Apa hubungannya, coba…???

....
....

“Bang, ibu kamu sundel bolong, ya?”

“Kok bisa…?”

“Iya, soalnya kamu telah membolongi hatiku.”

Einstein akan semaput kalau mendengarnya.

Catatan Tentang Hidup

Apa yang paling penting di dunia ini bagi kita semua? Itu adalah belajar hidup, kan? Hidup itu anugerah yang tak ternilai, tetapi ia tidak dapat berlangsung terus. Sementara kita memilikinya, kebahagiaan kita bergantung hanya pada satu hal; seberapa jauh kita belajar menghadapi dengan baik tantangan-tantangan hidup ini.

Kalau lautan kehidupan mulai bergelora, kalau kesulitan mulai muncul, kalau masalah timbul, jangan lupakan bahwa kekuatan yang telah dianugerahkan Tuhan dalam diri kita selalu siap untuk digunakan menghadapi semua yang menghadang. Pernah mendengar tentang ‘Hukum Tantangan dan Respons’? Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah termahsyur, berpendapat bahwa kunci bagi pengertian terhadap sejarah dengan peristiwa-peristiwa pasang-surutnya peradaban terletak pada kegiatan hukum yang tak terlihat ini. Ia yakin bahwa jika suatu peradaban yang mendapat tantangan yang membahayakan kelangsungannya, dan kita dapat menghadapinya, maka kekuatan-kekuatan yang muncul karena usaha yang luar biasa itu akan mengangkat peradaban itu ke tingkatan yang lebih tinggi dalam bidang kesenian, sastra, dan setiap segi hidup serta kebudayaan. Dalam kehidupan pribadi kita, hukum itu juga berlaku.

William James, seorang filsuf sekaligus psikolog terbesar yang pernah dimiliki Amerika mengatakan kebenaran yang amat penting ini, “Penemuan terbesar dari generasi saya, adalah bahwa manusia dapat mengubah hidup mereka dengan cara mengubah sikap pikiran mereka.”

Kita dapat mengubah kehidupan kita dengan cara mengubah sikap pikiran kita. Kita dapat melakukan ini dengan sengaja memaksakan masuk gagasan yang vital, citra yang positif, ke dalam pikiran bawah sadar kita. Dengan cara itu, kita akan terus-menerus berada dalam keadaan berkembang, dan kita pun benar-benar berkembang menjadi apa yang kita pikirkan.

Filosofi ini tentu saja tidak berarti bahwa kehidupan kita kemudian akan menjadi tanpa masalah. Maksudnya adalah kita akan mampu menghadapi masalah apapun dengan penuh percaya diri bahwa kita memiliki keberanian dan kekuatan untuk menghadapinya. Kita hanya perlu berdoa...dan percaya! Bayangkan dan percaya, belajar dan percaya!

Waaaaaawwwwwwwww......!!!!!

Saya heran. Benar-benar heran.

Baru beberapa hari telat update saja, inbox email saya langsung penuh. Padahal sebelumnya saya sudah mematikan semua pengaturan pemberitahuan pada jejaring sosial saya agar ~server~ tidak mengirimnya ke email saya. Dan isi semua email hanya berhubungan dengan kegiatan saya di blog ini.  Baru beberapa hari absen ngeblog saja, kalian sudah ramai berdemo membawa-bawa spanduk via email. Saya yakin Paman Gmail dan Om Yahoo sampai ngos-ngosan karena harus terus-menerus mengantarkan email-email kalian.

Saya heran. Benar-benar heran. Heran pada kalian.

Wong blog yang telat di-update itu kan hal biassssaaaa. Sehari atau satu minggu tidak ada posting itu kan hal yang wajjjaaaarrrrr. Kalau sesekali orang malas ngeblog itu kan lumraaaahhh. Begitu pun dengan blog ini. Kalau sewaktu-waktu blog ini telat update, atau tidak ada post baru beberapa hari, atau saya lagi malas ngeblog, kenapa kalian tidak bisa memaklumi…? Kenapa kenapa kenapaaaaaa…???

Saya pusing.

Bukan hanya pusing karena harus membaca email-email tersebut, tetapi juga pusing karena memikirkan kenyataan yang amat sangat menggiriskan ini. (Haduh, bahasanya!). Oke, oke, saya sendiri tidak paham “menggiriskan” itu apa. Cuma, saya pusing kenapa hanya karena telat update saja kok akibatnya sampai seperti ini.

Waduh, kenapa saya jadi tidak karuan seperti ini? Sebentar, sebentar, saya mau minum dulu. Biar tenang. Terus-terang, saya belum pernah didemo orang. Jadi menghadapi para pendemo membuat saya gugup tidak karuan. Padahal saya tetap saja tidak paham apa salah saya hingga sampai didemo seperti ini. Sebentar, saya mau minum dulu…

….
….
….

(Lama amat, sih…?)

….
….
….

(Hooi, cepetan dooong!)

Iya, ini baru nyulut kompor.

(Haaahhh???)

Nggak, nggak, bercanda!

….
….

Oke, sekarang rasanya sudah agak lumayan. Ehm, soal blog ya. Soal kenapa blog ini telat update, dan tidak adanya posting baru beberapa hari kemarin. Lha emang kenapa…???

*Botol-botol melayang*

Uh, oke, okeeeeh! Saya akan menjawab dengan baik—dan akademis. Tolong hentikan botol-botol sialan iniiiii…!

Ehm, jadi begini, kawan-kawan. Yang pertama harus saya tekankan di sini, saya adalah manusia biasa. Maksudnya, saya bukan robot. Bukan mutan. Juga bukan Superman. Saya hanya manusia biasa—sama seperti kalian. Kalau kalian sesekali merasa lelah, saya pun begitu. Kalau sewaktu-waktu kalian merasa jenuh atau bosan, saya pun begitu. Namanya juga manusia biasa.

Jadi, kalau sewaktu-waktu kalian mendapati blog ini tidak di-update beberapa hari, tolong maklumi sajalah. Kalau kalian membuka blog ini, dan tanggal kemarin sudah lewat tapi tetap belum juga ada post baru, anggap saja, “Uh, mungkin si Bayu lagi capek atau jenuh.”

Well, dulu saya memang pernah menjanjikan pada kalian untuk memposting catatan yang kalian kirim ke saya. Selama ini, saya sudah berusaha konsisten untuk memenuhi janji itu—sampai sekarang. Hanya mungkin waktunya yang belum ada/sempat untuk mempostingnya dan memilih tulisan apa saja yang ingin atau cocok (menurut saya) untuk saya post di Blog ini. Saya juga pernah menjelaskan pada kalian, bahwa ada kalanya saya ada kegiatan yang tidak memungkinkan saya online, sehingga saya menyiasatinya dengan memposting beberapa catatan sekaligus untuk beberapa hari ke depan.
 
Nah, hal semacam itulah yang terjadi beberapa hari lalu, sehingga saya sampai tidak ingat kalau belum memposting cacatan baru di blog ini, hingga seminggu. Satu bulan ini, saya sangat khusyuk karena disibukkan oleh beberapa kegiatan yang menurut saya sangat penting dan sangat menyangkut masa depan saya (ciiieeelllaahhhh bahasanya..). Biasanya, kalau sudah "bekerja" seperti itu, saya sering lupa pada hal lain. Lupa waktu, lupa makan, lupa mandi, lupa tidur. Termasuk juga lupa menengok blog.

Dan, baru sekarang inilah saya bisa kembali meng-update blog ini, dan menuliskan post-post baru untuk kalian. Dan juga, untuk mengobati kekecewaan kalian, saya langsung memposting banyak catatan sekaligus hari ini.

Kemudian, agar kejadian yang “menggiriskan” seperti ini tidak terulang kembali, saya ingin memberitahukan beberapa hal.

Pertama, seperti yang sudah saya bilang tadi, saya hanya manusia biasa. Kalau kelak sewaktu-waktu saya telat update blog beberapa hari, tolong, tolong, tolong maklumi saja. Meski saya telah berupaya semaksimal mungkin untuk selalu rajin menulis dan bikin posting baru, ada kalanya saya juga lelah, jenuh, atau bahkan sakit—yang tidak memungkinkan saya melakukan aktivitas seperti biasanya, termasuk menulis.

Ke-dua, ini sekadar saran. Kalau sewaktu-waktu kalian membuka blog ini namun tidak mendapati adanya posting baru karena saya telat update, obatilah kekecewaan kalian dengan membuka-buka post-post lama untuk dibaca kembali—mungkin saja ada hal baru yang akan kalian dapati di situ, meski kalian mungkin sudah membacanya beberapa kali.

Ke-tiga, kalau saya telat update lagi, tunggulah dan sabar saja. Kalau saya sudah fresh (dan ingat blog lagi), saya akan segera bikin posting lagi.

Ke-empat, saya sangat berterima kasih atas perhatian dan apreasiasi kalian, juga salut atas semangat belajar kalian. Meski saya agak dongkol, tapi tumpukan email kalian telah menyadarkan bahwa saya punya teman-teman belajar yang menyenangkan.

Ke-lima, dan ini yang paling penting, mari belajar bersama.
 

2012-04-21

Buat Teman-Teman Nih...

Pertama-tama (yup, jadi ingat sambutan politikus) saya atas nama penulis, pemilik dan pengelola blog ini, mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas semua email, komentar atau celoteh apapun yang telah dikirimkan ke alamat email saya. Oke, ini mungkin terdengar tidak penting, tetapi saya ingin kalian tahu bahwa beberapa hari ini inbox email saya sudah hampir meledak karena banyaknya email yang masuk—dan saya benar-benar berterima kasih atas respon kalian yang luar biasa.

Mengenai komentar untuk setiap post di blog ini—sekali lagi saya ingin menyatakan bahwa saya sengaja meniadakan komentar dari pembaca atau pengunjung blog ini. Penjelasan mengenai hal ini sudah saya tuliskan di post berjudul Blog Tanpa Komentar. Jadi buat teman-teman yang ingin sekali berkomentar untuk post yang saya tulis di sini, silakan kirimkan komentar langsung via email.

Terakhir, buat teman-teman semua, sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih, matur nuwun, horas, ya’ahowu, muchas gracias, namaste, syukron katsir, kamsia, thank you...!!!

2012-04-20

Saya Dan Facebook

Beberapa tahun yang lalu, ketika Friendster masih menjadi “primadona” sebagai situs jejaring sosial di internet, saya banyak mendapat email undangan dari teman-teman di Friendster untuk juga memiliki akun di sana. Hari ini, ketika situs jejaring sosial sudah menjadi semacam “kebutuhan wajib” bagi setiap orang yang beradab, undangan di email pun semakin banyak dari berbagai tempat, dan yang terbanyak adalah dari Facebook.

Facebook memang sebuah pesona sekaligus sedang menjadi primadona. Meski banyak pula yang menggunakan situs jejaring sosial lain semisal Hi5, MySpace, atau Twitter, tetapi Facebook (sepertinya) tetap yang paling populer. Apakah saya tidak tertarik untuk ikut menggunakannya...?

Sejujurnya, saya memang tertarik menggunakanya dan saya telah menggunakanya. Siapa yang tidak tertarik jika kita bisa memiliki sebuah sarana untuk dapat berkenalan, berhubungan bahkan berinteraksi dengan siapapun yang kita inginkan dengan cara yang mudah? Facebook memberikan semua yang dibutuhkan orang. Melalui sarana itu, orang bisa menjalin persahabatan baru, mencari kenalan, atau menyambung kembali persahabatan dengan kawan lama yang telah terpisah. Facebook, sebagaimana orangtua dulu menyatakan, “mampu menyambung tulang yang berserakan”.

Tetapi niat saya bergabung dengan Facebook adalah untuk menulis. Saya malas untuk berpikir disaat menggunakan Facebook, walaupun disana ada pertanyaan, "Apa yang anda pikirkan?"
Saya tidak akan memikirkan apa-apa. Dan kalaupun saya berpikir, hasil pikiran saya akan saya sampaikan melalui "rasa" lewat Blog ini. Saya juga mengeluhkan tidak adanya tombol "sedih" dan "susah" ataupun "tidak suka". Walaupun sebenarnya disana ada tombol "tidak suka", tetapi hal itu hanya untuk menetralkan sebuah tombol "suka" yang telah kita -klik-. Tidak ada tombol "tidak suka" yang sebenarnya. Dan misalnya kita menjumpai status yang berisi kesedihan, dengan arogannya Facebook hanya menawarkan tombol perasaan "like" atau "suka". Apakah kita di ajarkan untuk tertawa atau senang di atas penderitaan orang lain?

Ya itu mungkin hanya pemikiran saya yang "kolot" dan gaptek. Saya juga tidak mengerti langkah apa dan tujuan Facebook seperti itu. Yang saya tahu, saya tidak akan lagi menawarkan "rasa" lewat facebook. Karena Facebook hanya mengajarkan kemunafikan, sok bijak, sok tahu, alay, galau, dan kedengkian pada seseorang yang kita benci. Lalu kemanakah arah sebenarnya Facebook selain memberikan sarana untuk orang bisa menjalin persahabatan baru, mencari kenalan, atau menyambung kembali persahabatan dengan kawan lama yang telah terpisah....???

Facebook, sebagaimana orangtua dulu menyatakan, “mampu menyambung tulang yang berserakan”. Itu tidak pernah terjadi pada saya. Saya hanya di anggap "bangkai" oleh seorang mantan saya di jejaring sosial ini. Dia dengan semau nenek moyangnya mengganti akun Facebook dengan cara menutup akun dia yang lama (yang saya pun juga mengetahui akun tersebut) dengan mengganti yang baru. Yang mulanya saya tidak pernah tahu akun Facebooknya yang baru. Saya tanya kenapa dia bersikap seperti itu seolah-olah dia menghindar dari saya. Dia beralasan karena akun Facebooknya yang dulu mengandung "mudharat". Oia, sebegitukah akun membawa keburukan.?? Dan menurut saya ini merupakan sebuah kemunafikan dan ke-tidak elegan-an. Apa ini yang di ajarkan Facebook kepada kita, “mampu menyambung tulang yang berserakan”?

Dan lagi, tidak hanya sampai disitu, ternyata dia lebih memilih berteman dengan mantannya yang lain ketimbang dengan saya di akun Facebooknya yang baru. Omigod, sepertinya alam sedang bercanda dengan saya!. Saya tidak bertanya lagi dan sangat malas untuk bertanya alasan apa yang ada dibalik sikapnya tersebut?!. Saya tidak ingin munafiknya keluar lagi dan saya juga tidak ingin dia banyak berbohong dengan cara saya meminta dia untuk menjelaskannya. Yang saya tahu, sekali lagi saya tidak akan menawarkan "rasa" di dalam Facebook yang membuat saya menjadi galau seperti orang goblog. Mendingan saya Go "Blog" lalu menawarkan "rasa" lewat tulisan-tulisan dan celotehan.

Saya hanya ingin menulis, itulah alasan saya bergabung dengan Facebook. Dan saya juga akan  "menyambung tulang yang berserakan” tanpa pandang bulu di dalam Facebook ini. Saya tidak mengharapkan komentar dari user lain bahkan "like" mereka. Karena sekali lagi, saya hanya ingin menulis dan tidak butuh diperhatikan.





2012-04-19

Ini Tentang Jupe

Saya jarang menonton acara gosip artis di televisi, jadi saya telat mengenal Julia Perez a.k.a Jupe beberapa tahun lalu. Koran dan majalah yang biasa saya baca juga tak pernah menampilkan profil atau foto Jupe (karena saya bacanya majalah Trubus..haluah). Jadi dulu, ketika kawan-kawan saya ngobrolin Jupe, saya seperti bocah kuper yang baru akil baligh.

“Julia Perez siapa?” tanya saya waktu itu. “Aktris baru Hollywood, ya?”

Kemudian saya pun tahu, bahwa Julia Perez yang diobrolkan teman-teman saya itu adalah bintang baru Indonesia yang semlohay (istilah ini mungkin ada hubungannya dengan kamseupay).

Akhirnya, karena penasaran, saya pun mencari-cari sosok perempuan itu di internet. Di sebuah web entertainment, saya mendapati foto-foto Jupe dengan pose-pose yang anggun. Maksud saya, meski posenya dalam foto-foto itu dapat dibilang panas, namun foto-foto itu mengesankan Jupe seorang wanita yang cerdas. Saya tidak tahu kalau lensa kamera ternyata bisa berbohong.

Kesan pertama, kau tahu, begitu menggoda. Dan dari kesan pertama itu pula kemudian saya “terhasut” untuk menonton film Indonesia yang dibintangi Jupe. Saya sudah lupa judul filmnya. Tetapi, yang jelas, film bioskop itu menampilkan adegan Jupe yang sedang mengerang dalam kenikmatan, ketika ia bercumbu sambil berdiri di dekat jendela dengan seorang lelaki yang tidak saya kenal. Saya masih ingat betul bagaimana ekspresi wajahnya ketika itu—terpejam penuh gairah, dengan jemari mencengkeram gorden sambil mendesah. (Kenapa kok kalimat ini seperti pengaduan suami atas perselingkuhan istrinya, ya?).

Saya suka Jupe. Maksud saya, sebagai lelaki, saya suka Jupe. Jika saya perhatikan foto-fotonya yang pernah saya temui, juga menyaksikan film-film yang pernah dibintanginya, Jupe pastilah bukan perempuan munafik yang sok suci. Dan saya suka perempuan seperti itu—yang tidak munafik, juga tidak sok suci.

Sebagai perempuan, Jupe pasti tahu bahwa mata lelaki sangat lapar pada keindahan tubuh lawan jenisnya—dan Jupe memberikannya. Melalui foto-fotonya, Jupe mengumbar keindahan tubuhnya. Melalui filmnya, Jupe melakukan hal yang sama—plus ekspresi dan erangan kenikmatannya. Terlepas apakah itu bermoral atau tidak, saya tidak menghakimi.

Yang jelas, Jupe bukan perempuan munafik yang sok suci, dan saya menghargai kejujurannya. Oh, well, saya lebih menghormati orang rusak yang jujur dan tidak munafik, dari pada orang sok alim dan sok suci tapi hatinya penuh iri dan dengki, serta merasa paling benar sendiri. Kejujuran adalah barang langka di negeri ini, karena kemunafikan telah menjadi barang obral paling digemari.

Jadi, saya suka Jupe. Yang jadi masalah, Jupe suka 69.

Dan gara-gara kesukaannya pada 69 itu, Jupe tersandung kasus pencekalan. Seperti yang kita tahu, Jupe punya lagu baru. Judul lagu itu aneh, “Jupe Paling Suka 69”. Entah karena judul lagunya atau karena liriknya yang asoy, lagu itu kemudian dicekal oleh Komisi Penyiaran Indonesia.

Kenapa Jupe suka 69?

Ketika ditanya wartawan, Jupe menjawab bahwa angka 69 itu seharusnya tidak diasumsikan negatif, karena, menurutnya, “69 itu kan angka sebelum 70 kalau di angka Romawi.”

Terus-terang, saya sampai guling-guling ketika mendengar jawaban itu. Ketika diwawancarai wartawan menyangkut kasus itu, Jupe menyatakan—eksplisit maupun implisit—bahwa 69 itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan seks.

Kalau kita membaca kitab Kamasutra, kita akan diberitahu bahwa “69” adalah salah satu gaya bercinta di antara 365 gaya yang lain. Kalau kita nonton bokep, kita akan diperlihatkan bahwa “69” adalah… well, orang-orang juga sudah pada tahu! Dan kalau kita perhatikan lirik lagu Jupe, mau tak mau asumsi kita pastilah mengaitkan angka 69 dengan aktivitas itu.

Yang jadi pertanyaan, kenapa Jupe tidak mau mengakuinya, dan terus menyangkalnya? Apa salahnya kalau dia jujur menyatakan bahwa 69 dalam lagunya memang berhubungan dengan aktivitas seks? Dan kalau 69 dalam lagunya itu “hanya angka” sebagaimana yang dikatakannya, kenapa harus memilih angka 69? Kenapa tidak memilih angka lain yang lebih netral sehingga tidak menggelincirkan orang dalam asumsi yang keliru?

Bagi saya, jawaban Jupe menyangkut lagunya itu hanyalah apologi—dan saya kecewa dengan jawaban itu. Apologi bukan ilmu tentang cara membuat apolo. Apologi, dalam definisi saya, adalah jawaban untuk mengelak dari tuduhan dengan cara yang tidak elegan. Padahal, saya selalu suka hal-hal yang elegan. Ya, ya, ini memang tidak ada hubungannya, tetapi saya memang suka yang serba elegan.

Dalam film "Batman Begins", Rachel Dawes berkata pada Bruce Wayne, “Orang tidak melihat apa yang ada di hatimu. Orang melihat apa yang kaulakukan.”

Tuhan tahu, Rachel Darwes adalah wanita yang elegan! Dan dia benar, bahwa orang lain tidak melihat sebaik apa hati kita, karena mereka tidak bisa melihatnya. Orang lain hanya melihat apa yang kita lakukan, karena perbuatan kitalah yang dapat mereka saksikan. Tak peduli hati kita seputih salju, orang akan ilfil kalau sikap kita sok suci dan sok alim, campur munafik dan tidak jujur.

Dan sekarang, terus terang, saya tidak bisa lagi menyukai Jupe. Caranya menjawab, mengelak, dan menjelaskan perihal lagunya sangat tidak elegan.

Mungkin Jupe seorang wanita alim keturunan bidadari dari langit. Tapi saya manusia biasa. Saya tidak bisa melihat ke dalam hatinya. Saya hanya bisa melihat apa yang telah dilakukannya. Dan yang dilakukannya adalah mengakui kalau dia suka 69.

Saya tidak bisa lagi suka Jupe. Karena Jupe suka 69. Dan membayangkan Jupe menyukai 69, benar-benar membuat saya merasa sangat tidak elegan!

Hey Kamu,Para Pecinta Zaskia Mecca.


Zaskia Mecca mulai populer sejak membintangi suatu serial di televisi, dan kemudian membintangi sebuah film yang sepertinya memang pas dengan sosoknya—cantik, lembut, dan juga alim. Untuk mengokohkan imej itu, Zaskia pun mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Masyarakat pun mencintainya. Bagi para penggemar dan pemujanya, Zaskia Mecca laksana bidadari yang turun dari surga—respresentasi dari kesempurnaan seorang perempuan.

Tetapi imej bidadari yang sempurna ini kemudian rusak—atau setidaknya terdistorsi—gara-gara munculnya foto-foto Zaskia yang sedang merokok. Masyarakat umum, khususnya para penggemar dan pemujanya, sepertinya tidak percaya kalau perempuan sempurna itu ternyata seorang perokok. Ketidakpercayaan itu kemudian berubah menjadi rasa tidak rela—semacam rasa kekecewaan karena kepercayaan mereka dilukai, suatu rasa patah hati karena sosok yang mereka sayangi itu ternyata tidak “semulia” yang mereka bayangkan.

Selama beberapa waktu lamanya, Zaskia menghilang ketika ribut-ribut soal foto-fotonya yang sedang merokok itu menjadi polemik di media massa. Ketika akhirnya muncul kembali ke hadapan publik, Zaskia pun dengan rendah hati menyatakan, “Saya khilaf. Saya bukan manusia yang sempurna. Mungkin ini kelemahan saya. Tapi saya bukan perokok.”

Terlepas dari apakah Zaskia Mecca seorang perokok atau bukan, seharusnya kita mampu menempatkan sosok Zaskia sesuai proporsinya yang adil. Zaskia Mecca bukan hanya seorang artis—dia juga seorang manusia biasa. Kalau mau lebih tepat lagi, Zaskia Mecca adalah manusia yang berprofesi sebagai artis. Kalau kebetulan dia mendapat peran-peran sebagai wanita yang alim atau perempuan yang religius, itu hanyalah tuntutan peran dalam profesinya. Tetapi sebagai manusia, Zaskia tetaplah perempuan biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau kita dapat mengagumi dan mencintai kelebihannya, mengapa kita tidak bisa menerima dan memaklumi kekurangannya…?

Profesi sebagai artis memang rawan dengan cinta palsu. Masyarakat seringkali tak bisa memilah secara bijak antara diri sebagai pribadi dan diri sebagai artis. Akibatnya, artis dituntut untuk menjadi manusia setengah dewa, atau manusia setengah bidadari. Ketika imej itu berhasil terciptakan, cinta masyarakat pun menggebu kepadanya. Dan ketika imej itu ternoda, masyarakat pun merasa terluka dan patah hati. Kenyataan berlandaskan ‘cinta palsu’ itu pula yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa artis untuk menciptakan imej-imej tertentu yang mereka harap dapat mengundang simpati atau bahkan cinta masyarakat, hingga artis mantan bom sex pun dapat malih-rupa menjadi sosok seorang ustadzah.

Semuanya hanya imej—kesan yang diciptakan untuk mendatangkan cinta palsu dan fanatisme manusia terhadap kesempurnaan pujaannya. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa Zaskia Mecca hanya bertujuan mengundang simpati masyarakat dengan penampilan jilbabnya. Yang ingin saya kedepankan di sini adalah bahwa sudah saatnya kita dapat menempatkan penilaian kita secara adil dan proporsional—termasuk rasa kekaguman, simpati atau bahkan cinta kepada sosok seorang artis. Jika kita mencintai segala kelebihannya, marilah kita belajar untuk juga dapat menerima dan memaklumi kekurangan yang mungkin dimilikinya.

Saya bukan penggemar apalagi pemuja Zaskia Mecca. Tetapi, andaikata saya menjadi kekasihnya dan kemudian mengetahui kalau dia seorang perokok, saya membayangkan akan berkata kepadanya, “Listen, Honey. Dulu, waktu pertama kali mengenalmu dan kemudian jatuh cinta kepadamu, aku tidak tahu kalau kau seorang perokok. Tetapi aku mencintaimu bukan karena kau seorang perokok ataukah bukan perokok. Aku mencintaimu karena kau adalah kau.”

Jadi, ketika penggemar Zaskia kemudian merasa terluka dan kecewa gara-gara mengetahui ternyata Zaskia merokok, seharusnya mereka bertanya pada diri mereka sendiri, apa sesungguhnya yang mereka cintai dari sosok Zaskia Mecca? Apakah mereka mencintai diri Zaskia Mecca seutuhnya sebagai manusia—ataukah hanya mencintai imej tokoh-tokoh film yang diperankannya…?

Apa Yang Anda Pikirkan?


Orang yang banyak bicara tidak punya waktu untuk berpikir.
—Karl H. Pickel

Kebaikan dalam kata-kata menciptakan rasa percaya diri, kebaikan
dalam berpikir menciptakan kedalaman.
—Anthony deMello

Berpikir adalah pekerjaan terberat, karena itulah sedikit sekali
orang yang mau menggunakan otaknya.
—Henry Ford

Ternyata, banyak orang lebih cepat mati ketimbang berpikir.
—Bertrand Russel

Manusia hampir tak pernah memanfaatkan kemerdekaan
yang mereka miliki, yaitu kemerdekaan berpikir. Sebagai gantinya
mereka menuntut kemerdekaan berbicara.
—Soren Kierkegaard

Berpikir adalah pekerjaan paling sulit di dunia. Sebegitu sulitnya,
hingga kebanyakan manusia lebih memilih mati dibanding melakukannya.
—Hazrat Inayat Khan

Facebook bertanya, “Apa yang Anda pikirkan?”

Interlude

Karena hidup tak selamanya berisi senyuman, dan karena cinta tak selamanya berisi kebahagiaan. 
Karena hati tak selamanya harus merasa saling memiliki dan kasih terkadang juga membelenggu.
Maka bukalah hatimu untuk memahami bahwa perjalanan ini membutuhkan jeda, membutuhkan interlude, membutuhkan waktu sejenak untuk kosong..

2012-04-15

Ternyata Cewek Itu Memang Matere

Cewek matere, atau yang dalam bahasa Indonesia baku disebut “perempuan materialis” barangkali bukan tema baru. Persoalan ini sudah kerap kali diperbincangkan, dari forum-forum ilmiah sampai di pinggir-pinggir jalan, dari pembahasan berat melalui buku-buku tebal hingga lewat lagu yang dihafalkan jutaan orang. “Cewek matere, ke laut aje…” Kalau cewek memang matere, so what…? Apa salahnya…?

Saya bukan pendukung atau aktivis cewek matere, tetapi ayo kita lihat persoalan ini secara lebih baik. Mari kita membicarakan persoalan ini tidak hanya dari permukaannya semata-mata, melainkan juga pada kedalamannya.

Bagi saya, mencari cewek yang tidak matere itu sama sulitnya mencari sebatang jarum di tumpukan jerami. Sulit. Mungkin memang ketemu, tetapi sekali lagi, sulit—bahkan sangat sulit. Mengapa? Karena saya percaya bahwa semua cewek adalah matere. Tidak ada cewek yang tidak matere. Bohong kalau ada cewek yang mengatakan dirinya tidak matere. Konyol kalau ada cowok yang menyatakan kalau pacarnya tidak matere. Jika ada lelaki yang bersumpah menyatakan bahwa istrinya tidak matere, sungguh, dia patut dikasihani—dia tidak tahu apa-apa tentang istrinya.

Jadi, cewek memang matere? Ya—dan sebaiknya kita percaya saja pada tesis ini, agar dapat mulai melangkah ke tahap berikutnya yang lebih penting, yakni menanyakan, “mengapa cewek (harus) matere?”

Mengapa cewek harus matere? Jawabannya mungkin terdengar mutlak, yakni karena tuntutan alam. Perempuan diciptakan untuk menjadi pendamping laki-laki, sebagaimana Hawa diciptakan untuk menjadi pendamping Adam. Dan, hal terbesar yang selalu mampu mendorong motivasi setiap laki-laki adalah rasa cinta terhadap perempuan. Karenanya, perempuan pun diciptakan dengan unsur kecintaan yang berlebih pada hal-hal yang berbau materi, dengan tujuan besar—agar setiap laki-laki menyadari bahwa dirinya laki-laki, agar manusia dapat mencapai titik tertinggi kualitas kemanusiaannya.

Bayangkanlah Adam yang sendirian di surga. Iblis merayunya dengan mengatakan, “Hei, Adam, kenapa tidak kau ambil saja buah khuldi yang ranum itu? Dengan memakan buah itu, kau akan hidup abadi di surga ini.”

Adam seorang laki-laki. Dia tidak mudah dirayu untuk mengambil hal-hal yang berbau materi, karena baginya yang penting adalah pengabdian terhadap keyakinannya. Dia tahu—dan yakin—bahwa dia diciptakan untuk taat pada perintah Tuhan, maka itulah yang kemudian dilakukannya, dan persetan dengan rayuan Iblis.

Tetapi kemudian Tuhan menciptakan Hawa, seorang perempuan, untuk menjadi pendamping Adam. Ketika Adam tidak mempan dirayu, Iblis pun mengubah strateginya—dia merayu Hawa. “Hei, Hawa, cintakah kau pada keabadian? Nikmatilah buah ranum itu, maka keabadian dan segala keindahan akan menjadi milikmu.”

Hawa pun terayu. Perempuan pertama yang diciptakan Tuhan ini tidak tahan dengan rayuan atas keindahan, dan dia pun menggoda kekasihnya, Adam, untuk mengambil materi itu—buah khuldi itu. Maka mereka pun mengambilnya, menimangnya sejenak, dan kemudian memakannya. Lalu mereka terusir dari surga karena tertipu rayuan Iblis, dan kemudian beranak-pinak hingga keturunan mereka melahirkan kita.

Jika Hawa yang menjadi nenek moyang manusia saja sudah memiliki sifat materialis, maka tentunya sangat wajar kalau anak-anak turunnya, para wanita, juga memiliki sifat yang sama. Jika Hawa yang tinggal di surga saja masih juga tergiur dengan keindahan di luar dirinya, apalagi cewek-cewek kita yang tinggal di dunia fana…?

Jadi, sifat matere yang dimiliki oleh cewek adalah sesuatu yang wajar, sah dan manusiawi—karena memang begitulah mereka. Ini bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sebagai semacam kekurangan atau nilai minus atas kepribadian mereka. HANYA SAJA, YANG KEMUDIAN MENJADIKAN KEBANYAKAN CEWEK TIDAK MAU BERTERUS TERANG ATAS ke-MATERE-an MEREKA adalah karena masyarakat kita menganggap cewek matere sebagai sosok yang “negatif”—khas penilaian masyarakat yang inferior dan munafik.

Nah, yang kemudian menjadi pembeda dari faktor ke-matere-an itu adalah kadarnya. Ada cewek yang sangat matere, ada pula yang matere tapi biasa-biasa saja. Tetapi intinya tetap saja matere—dan sekali lagi, itu sah.

Kemudian lagi, ada cewek matere yang menyadari bahwa dirinya matere, dan ia lalu berusaha secara mandiri untuk dapat memuaskan nafsu materenya—entah dengan cara bekerja keras, hidup dengan penuh kreativitas, atau setidaknya rajin menabung agar nafsu materenya dapat tercukupi. Tetapi, ada pula cewek matere yang tak ubahnya seperti lintah. Dia matere, tetapi tidak mau bekerja keras secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan materinya, melainkan hanya menggerogoti siapapun yang dapat memuaskannya—biasanya pasangan atau suaminya. “Cewek matere” semacam inilah yang kemudian menghadirkan stigma negatif terhadap cewek matere.

Jadi, hei cewek-cewek, tak perlu malu-malu apalagi sampai munafik jika kenyataannya kalian memang matere. It’s okay—cewek memang matere, dan itu bukan masalah. Bahkan, kaum cowok pun sesungguhnya harus mulai menyadari bahwa cewek yang menjadi pasangan mereka adalah cewek matere—tak peduli sealim atau sesederhana apapun tampilan luarnya.

Cewek memang harus matere, agar setiap cowok dapat lebih termotivasi dalam membangun hidupnya. Cewek memang harus matere, agar setiap cowok dapat belajar lebih giat, dapat bekerja lebih keras, dapat menjalani hidup dengan lebih kreatif, dapat berpikir lebih inovatif—dapat memperlakukan cewek pasangannya dengan lebih baik, dan dapat mewujudkan dirinya sendiri sebagai yang terbaik.

Sungguh berbahaya jika cewek tidak matere, karena hidup tidak akan berkembang, peradaban akan berhenti, kebudayaan manusia akan mati. Jadi, HIDUP CEWEK MATERE…!!!

2012-04-14

Inilah Cara Memenangkan Debat

***
Tidak ada sesuatu pun yang baik atau buruk,
hanya pikiranlah yang membedakannya.
***
Ada cukup banyak orang (termasuk saya) yang suka berdebat—dari memperdebatkan hal-hal remeh seperti kisah akhir sinetron favorit, sampai debat filsafat dan teologi yang bikin perut melilit. Kini, ketika internet telah menjadi bagian hidup sehari-hari, dan blog telah menjadi makanan pokok sebagian manusia beradab, debat pun masih dibawa-bawa. Tak peduli di zaman biadab atau di masa kehidupan beradab, masih banyak orang yang suka berdebat.

Dulu, ada sebuah website yang secara khusus dijadikan arena tempat orang beradu debat—mirip ring gladiator tempat para pendekar (atau yang merasa pendekar) bertarung sampai berdarah-darah. Karena website itu mengupas persoalan-persoalan religi dan teologi, maka hampir bisa dipastikan peminatnya langsung membludak—dan itulah yang terjadi dengan website itu.

Setiap hari, beratus-ratus orang berkumpul di website tersebut, saling mengajukan pemikirannya, argumentasinya, bahkan caci-maki dan sumpah serapahnya. Satu topik (posting) dilempar ke arena, dan ratusan orang itu pun langsung bertarung dengan membawa kitabnya masing-masing, dengan pikirannya masing-masing, dengan kecerdasan dan kebodohannya masing-masing.

Jika website itu berupa arena yang kasatmata, maka kita pasti dapat menyaksikan banyaknya darah yang tercecer dan terus mengalir. Dan perdebatan itu tak pernah selesai, tak kunjung berakhir.

Selama waktu-waktu itu, saya menyaksikan perdebatan demi perdebatan, satu posting demi satu posting, satu topik demi satu topik. Ajaibnya, orang-orang yang ada di sana tak pernah bosan berdebat. Mereka terus berdebat, terus berdebat… hingga kemudian website itu ditutup karena suatu alasan yang tidak jelas.

Hari ini, website yang pernah sangat kontroversial itu telah menjadi salah satu puing di bawah kuburan dunia maya.

Nah, selama menyaksikan perdebatan demi perdebatan yang pernah ada di sana, saya bertanya-tanya dalam hati, siapakah yang menjadi pemenang dalam perdebatan itu?

Jawabannya mungkin terdengar aneh, karena TIDAK ADA! Tidak pernah ada pemenang dalam sebuah perdebatan, karena siapa pun yang berdebat akan sama-sama kalah—diakui ataupun tidak.

Debat dan perdebatan bukanlah pertarungan untuk mencapai menang-kalah, itu adalah pertarungan untuk sama-sama kalah!

Dulu, ketika saya masih SMP, ada seorang penyanyi bernama Dorce Gamalama. Orang ini memiliki lagu yang sangat hit waktu itu, berjudul “Bang Somad”. Bagi para remaja di era 90-an, “Bang Somad” bisa dibilang sebagai lagu harian, dan lagu ini sering disetel di radio mobil saat dalam perjalanan. Bagi para ABG waktu itu, lagu Dorce Gamalama termasuk salah satu “identitas gaul”.

Nah, nama Dorce Gamalama ini sempat menjadi bahan perdebatan antara saya dengan seorang kawan sekelas. Menurut kawan saya, memang sejak dari dulu Dorce Gamalama adalah seorang wanita, sementara saya berkeyakinan Dorce Gamalama awalnya adalah seorang laki-laki. Ini perdebatan yang amat bodoh—tetapi ketika hal itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, saya tidak sadar kalau itu benar-benar bodoh.

Saya tahu Dorce Gamalama mulanya adalah seorang laki-laki, tetapi sekuat apa pun saya meyakinkan teman saya atas fakta ini, dia tidak mau percaya—dia tetap yakin bahwa sejak lahirnya Dorce Gamalama adalah seorang wanita. Susahnya, saya tidak punya bukti kuat yang dapat menunjang keyakinan saya, sehingga waktu itu saya hanya bisa ngotot dan berkata, “Pokoknya…!”

Padahal, dasar argumentasi kawan saya sangat lemah. Dia meyakini Dorce Gamalama seorang wanita, hanya karena ada kata “Dorce” pada namanya. Menurut kawan saya, hanya wanita yang memiliki nama “Dorce”, dan karena itulah dia tetap yakin bahwa Dorce Gamalama seorang wanita.

Sekali lagi, ini benar-benar bodoh. Tetapi bagi siapa pun yang suka berdebat, mereka tak pernah peduli sebodoh apa pun topik yang diperdebatkan.

Sampai suatu hari, majalah JAWA POS menerbitkan liputan mengenai Dorce Gamalama. Di dalam laporan yang ditulis JAWA POS tersebut, secara jelas dan nyata wartawan JAWA POS menyebutkan bahwa jenis kelamin awal Dorce Gamalama adalah laki-laki. Saya membawa dan menunjukkan majalah JAWA POS edisi itu kepada kawan saya, untuk membuktikan bahwa saya benar dan dia salah.

Dan, coba tebak, apa yang terjadi…?

Kawan saya tetap tidak mau mengakui kesalahannya…!!!

Dia tetap bersikukuh bahwa Dorce Gamalama sejak lahir adalah seorang wanita, dan dia bahkan menyatakan bisa saja wartawan majalah JAWA POS itu keliru atau salah tulis.

Coba lihat, bahkan setelah bukti yang kuat dipaparkan dan diperlihatkan pun, orang yang berdebat tidak mau mengakui kesalahan atau kekeliruannya. Mengapa? Karena ini menyangkut ego—rasa penting diri.

Ketika orang di dalam suatu perdebatan menyatakan, “Inilah yang benar!” maka sampai kapan pun dia tidak akan peduli dengan kebenaran versi lain yang dikatakan orang lain. Mengapa? Karena jika dia mengakui bahwa dia salah, maka ego dan rasa penting dirinya akan terluka.

Seperti yang dilakukan kawan saya di atas tadi—dia tetap memegang teguh kesalahannya, meski kesalahan itu nyata-nyata salah. Artinya, meski saya jelas-jelas benar dan artinya saya memenangkan perdebatan, tetapi hakikatnya saya tidak memenangkan apa pun. Saya tidak merasa menang saat itu, bahkan sejujurnya saya justru merasa kalah.

Sekali lagi, itu pengalaman bodoh di masa remaja. Tetapi rupanya pengalaman bodoh itu tetap juga belum mampu menyadarkan diri saya. Ketika kuliah, saya masih juga membawa kebodohan itu, dan kembali melakukan kebodohan yang sama!

Kampus tempat saya kuliah menggunakan model pembelajaran student center, sehingga hampir seluruh aktivitas belajar dilakukan oleh mahasiswa dengan sarana makalah, sementara dosen hanya berperan sebagai pembimbing atau fasilitator.

Nah, setiap kali suatu mata kuliah diadakan, dan makalah dipresentasikan oleh suatu kelompok yang telah ditunjuk, semua mahasiswa di kelas akan membuka “kitabnya” masing-masing. Begitu pula saya. Ambisi masing-masing mahasiswa waktu itu adalah mengajukan argumentasi sekuat-kuatnya untuk mematahkan seluruh teori yang tertulis dalam makalah yang sedang dipresentasikan.

Jadi begitulah. Setiap kali makalah dipresentasikan, dan sebuah topik dilontarkan, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertarungan teori yang begitu kejam. Ruang kuliah berubah menjadi arena gladiator, dan perbedaan persepsi menjadi perang yang berdarah-darah. Bodohnya, saya termasuk salah satu gladiator dalam pertarungan itu!

Semua mahasiswa yang bertarung dalam acara presentasi itu ingin menang—begitu pula saya,teman saya bahkan kelompok dari masing-masing peserta. Akibatnya, hakikat presentasi yang seharusnya untuk berdiskusi jadi berubah menjadi sarana perdebatan. Dan kemudian, ketika sesi presentasi dianggap selesai karena jam kuliah sudah berakhir, siapakah yang kemudian menjadi pemenang…? Tidak ada!

Dalam beberapa kesempatan, teman saya memang (merasa) berhasil menghancur-leburkan semua teori yang tertulis dalam makalah yang dipresentasikan. Tetapi, teman saya pun menyadari, bahwa meski begitu pun dia tidak merasa menang. Saya tahu para mahasiswa yang dia kalahkan dalam presentasi itu sakit hati, dan kesadaran akan hal itu sama sekali tak bisa menjadikan dia merasa menang apalagi senang.

Jadi beginilah aturan yang terjadi di dalam perdebatan: Kalau kau kalah, kau akan sakit hati terhadap lawan debatmu, dan itu membuatmu kalah dua kali. Sebaliknya, kalau kau menang, lawan debatmu akan sakit hati kepadamu, dan kenyataan itu sama sekali tak bisa dijadikan sebagai kemenanganmu. Ayolah, kemenangan apa yang bisa kita rayakan jika untuk menang itu harus menyakiti perasaan orang lain…?

Ketika saya mulai menyadari kenyataan itu, saya pun ingin untuk tidak lagi berdebat di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun. Karena perdebatan tidak akan menjadikan saya pemenang, tak peduli sebanyak apa pun lawan yang bisa saya kalahkan.

Jadi, bagaimana cara memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun…? Jawabannya menjadi jelas, yakni tidak berdebat!

Ketika orang berdebat, dia membawa keyakinan-keyakinannya, persepsi-persepsinya, bahkan asumsi dan khayalan-khayalannya. Ketika orang berdebat, dia mempertaruhkan egonya, rasa pentingnya, bahkan martabat dan harga dirinya. Karenanya, sangat sulit untuk dapat menemukan orang yang mau mengalah dalam perdebatan, karena itu sama saja mempertaruhkan “nama baik” dirinya.

Ingat, perdebatan tidak sama dengan diskusi. Jika diskusi bertujuan untuk menemukan titik temu, maka perdebatan justru sebaliknya—ia sarana untuk memecah-belah. Diskusi dilakukan dengan kerendahan hati, sementara perdebatan dilakukan dengan keangkuhan dan tinggi hati. Diskusi dilakukan untuk mencari kebenaran bersama, sedang perdebatan dilakukan untuk menunjukkan kebenaran diri sendiri.

Perdebatan itu kontraproduktif—khususnya lagi perdebatan untuk soal-soal yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan.

Dale Carnegie, pakar komunikasi terbesar yang pernah dimiliki oleh sejarah, menyatakan, “Orang bodoh menganggap berdebat itu hebat. Orang bijak tahu berdebat itu tolol!”

Sedangkan Socrates, filsuf agung dari Athena, menyatakan, “Kalau kau berdebat dengan orang pintar, kau tidak akan menjadi pintar. Kalau kau berdebat dengan orang tolol, kau akan sama-sama tolol!”

Hari ini, ketika saya menulis catatan ini, saya ingin menyatakan kepada siapa pun bahwa mencari kebenaran itu sejuta kali lebih baik dibanding mencari kesalahan. Dan mencari kebenaran tidak bisa dilakukan melalui perdebatan. Ketika berdebat, kita hanya mengenal kebenaran diri sendiri yang relatif. Ketika berdebat, kita tidak lagi menghiraukan mana yang benar, tetapi hanya berambisi menjadi pemenang sekaligus berupaya untuk dapat mengalahkan.

Jangan berdebat—itulah cara paling mudah untuk memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun.

Orang-orang bijak tidak berdebat—mereka menghargai pendapat orang lain, keyakinan orang lain, tanpa usaha untuk menyalahkan, selain berupaya memahami dan memaklumi. Kita semua memiliki keyakinan pribadi, dan tidak ingin satu orang pun di muka bumi ini menyalahkan keyakinan kita. Begitu pula dengan orang lain.

Mungkin di antara kita ada yang berpikir, “Tetapi jika orang itu jelas-jelas salah, kita perlu mengubahnya, kan?”

Saya setuju. Keinginan untuk dapat mengubah orang lain adalah niat mulia, dan keinginan yang sangat baik. Tetapi, saya pun setuju bahwa keinginan untuk mengubah diri sendiri adalah niat yang seribu kali lebih mulia dan seribu kali lebih baik. Jika ada orang yang harus diubah di dunia ini, maka orang pertama yang harus diubah adalah diri kita sendiri.

2012-04-13

Ini Tentang Koruptor


***
Kalau kau melakukan kejahatan kepada orang yang dapat membalasmu, maka urusanmu telah selesai—kejahatan telah dibalas kejahatan. Tetapi jika kau melakukan kejahatan kepada orang yang tidak dapat membalasmu, maka alam semesta yang akan membalaskannya. Dan jika alam semesta yang membalasmu, maka saksikanlah saat kehancuranmu.
***


Kepada para koruptor di mana pun kalian berada,

Waktu kutulis catatan ini, aku menyadari bahwa kalian pasti terlalu sibuk dengan urusan hidup kalian sendiri, sehingga pasti tak akan sempat membuka blog ini, apalagi sampai membaca catatan ini. Tetapi aku menulis catatan ini dengan niat baik, dan aku tahu bahwa alam semesta tak akan pernah menyia-nyiakan setiap niat baik untuk apa pun. Jadi aku pun percaya, entah bagaimana caranya, catatan ini akan sampai di depanmu untuk kaubaca.

Secara pribadi, aku tidak ingin kau ditangkap, ditahan, diadili, atau dipenjara, akibat perbuatan korupsimu. Oh, aku serius, fellas!

Korupsi adalah kejahatan besar manusia, karena ia menciptakan efek berantai atas penderitaan manusia lainnya. Semakin tinggi jabatanmu, semakin besar korupsimu, semakin panjang pula efek berantai yang ditimbulkan dari kejahatanmu. Karenanya, penangkapan, penahanan, pengadilan, atau bahkan pemenjaraan atas pelaku korupsi terlalu ringan jika dianggap sebagai hukumannya.

Lebih dari itu, aku sulit percaya pada sistem yang korup dalam mengadili para pelaku koruptor. Jadi, daripada mengharapkan kau diadili oleh sistem yang sama korupnya—yang pastinya tidak akan menghasilkan keadilan yang benar-benar adil—lebih baik aku berharap dan berdoa semoga kau mendapatkan keadilan yang benar-benar adil; Keadilan dari alam semesta.

Sebagai sesama manusia, aku tentunya harus mendoakan hal-hal yang baik untuk sesama manusia, begitu pun untukmu. Jadi, aku berdoa, semoga kau secepatnya insyaf dan segera mengembalikan setiap rupiah yang kaumiliki dari hasil korupsi. You know, taubat dan insyaf dari kejahatan saja tidak cukup, kalau kau tetap mendekap erat hasil kejahatanmu.

Dan, sebagai sesama manusia pula, aku memiliki perasaan yang bisa terluka karena menyaksikan perbuatan jahatmu. Jadi, jika doaku yang baik tidak terjawab, dan kau tetap juga tidak insyaf, maka aku pun akan berdoa sebagai manusia yang teraniaya. Mungkin kau tidak mengenalku, tetapi efek perbuatanmu mengenaiku—karena kejahatan korupsi yang kaulakukan menciptakan mata rantai yang ikut menyentuh hidupku.

Karenanya, jika doaku yang baik terabaikan, maka aku pun akan berdoa, semoga alam semesta segera membalas perbuatanmu. Oh, mungkin kau tersenyum—tapi biar kujelaskan sesuatu yang akan segera merenggut senyummu.


Kepada para koruptor di mana pun kalian berada,

Ada satu hukum rahasia yang diberlakukan alam ini kepada setiap manusia yang hidup di dalamnya. You know, hidup adalah sebuah permainan—dan ini adalah permainan yang benar-benar fair. Kau bermain dengan benar atau salah, maka nilai yang akan kaudapatkan tepat sama sesuai permainanmu. Kau akan mendapatkan hasil atas setiap perbuatanmu. Dan jika kau tidak sempat mendapatkan “hasil” itu karena mungkin kau keburu mati, maka “hasil” itu akan diberikan kepada keluargamu, kepada anak-anakmu, atau kepada anak-anak dari anak-anakmu.

Orang-orang Barat menyebut ini dengan istilah “Serendipity”. Orang Timur menyebutnya “Karma”. Aku sendiri menyebutnya “Aturan main alam semesta”. Kau percaya atau tidak, kau mau menerima atau mengingkari, tetap saja kau tidak bisa lari dari aturan main ini. Dan mungkin kau pun tidak percaya kalau kukatakan bahwa aku telah menghabiskan lebih dari separuh umurku hanya untuk mempelajari dan membuktikan bahwa ini benar!

Tidak ada perbuatan yang sia-sia di bawah langit—entah kebaikan atau kejahatan—bahkan setiap kepak sayap kupu-kupu sekali pun akan menciptakan perubahan di muka bumi.

Alam semesta menyaksikan setiap tangan manusia—baik tangan yang mengambil ataupun tangan yang memberi, baik tangan yang menyentuh ataupun tangan yang melukai. Dan setiap tangan ini akan mendapatkan balasannya—entah bagaimana caranya, entah kapan pun waktunya, entah di mana pun tempatnya. Tidak ada benih yang sia-sia, baik benih kebaikan atau benih kejahatan—semuanya sama di hadapan alam semesta.


Jadi, para koruptor di mana pun kalian berada,

Sekarang duduklah sejenak di kursimu, dan endapkan kenyataan ini. Ingat-ingatlah siapa pun yang pernah kaukenal, yang juga melakukan korupsi sama sepertimu, dan perhatikan apa yang terjadi dengannya.

Sekian tahun yang lalu mungkin seseorang melakukan korupsi—ia mengambil sesuatu yang bukan miliknya—dan lihat apa yang kemudian terjadi. Mungkin dia selamat dari hukum manusia, karena bisa menyembunyikan kejahatannya. Tetapi dia tidak bisa bersembunyi dari tatapan mata alam semesta.

Karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka alam semesta pun membalas tepat sama—mengambil sesuatu milik orang itu—entah kesehatannya, entah keluarganya, entah kedamaian dan kebahagiaannya, entah pula usia dan hidupnya. “Tuhan tidak tidur,” kata orang Indonesia. Dan alam semesta memang tidak pernah berhenti bekerja. Cepat atau lambat, giliranmu akan segera tiba.

Mungkin kau bisa menyembunyikan kejahatanmu dari mata manusia, tetapi apa yang dapat kausembunyikan dari tatapan alam semesta? Jika kau berpikir bisa menyembunyikan kejahatanmu, dan yakin akan selamat atas perbuatan jahatmu, maka aku ingin kau tahu bahwa kau orang paling tolol yang pernah ada. Jika Adam harus terusir dari surga hanya karena memakan secuil buah terlarang, maka anak turunnya pun akan menghadapi hukum yang sama.

Aku terluka oleh perbuatanmu, kau tahu. Aku terluka, tetapi aku tidak bisa mengharapkan sistem negeri ini membalaskan lukaku kepadamu, karena mereka pun sama melukaiku. Aku adalah jiwa teraniaya, sama seperti jutaan jiwa lainnya, akibat perbuatanmu. Dan jika ada suara yang paling menyiksa bagi telinga alam semesta, maka itu adalah suara jeritan jiwa-jiwa teraniaya, yang akan memaksanya untuk segera membalaskan luka-luka mereka.


Kepada para koruptor di mana pun kalian berada,

Seperti yang telah kukatakan, hidup ini memberlakukan permainan yang benar-benar fair… dan adil. Kalau kau berbuat jahat kepada orang lain yang dapat membalas kejahatanmu, maka urusanmu telah selesai. Kejahatan telah dibalas kejahatan. Tetapi kalau kau melakukan kejahatan terhadap orang lain yang tidak dapat membalasmu, maka alam semesta yang akan membalasnya. Dan jika alam semesta yang membalas perbuatanmu, maka selamat datang di mimpi burukmu!

Apa yang kaupikirkan sekarang? Bahwa kau masih sehat dan tenteram dan hidup? Jangan naif, fellas. Sebagaimana mafia akan membalas dendam jika musuhnya telah lupa, alam semesta pun akan membalasmu pada waktu yang tak pernah kausangka-sangka. Kelak, di suatu hari yang tak pernah kauduga, sesuatu akan datang ke dalam hidupmu, dan kau akan dipaksa untuk menatap kejahatanmu, untuk mempertanggungjawabkannya dengan cara yang amat menyakitkan.

Lupakan hukum manusia—karena kau tahu mereka dapat kausuap dengan uang hasil korupsimu. Tetapi, kau tahu, ada yang tak pernah dapat kausuap dengan uang berapa pun banyaknya—dan kau pun tahu, bahwa detik-detik eksekusi itu pasti akan tiba… cepat atau lambat.

Tidak ada kejahatan yang abadi, karena hidupmu pun tidak abadi. Tetapi… demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, aku bersumpah bahwa pembalasan untukmu pasti akan sampai.

Lagi-Lagi Masalah Sistem

—kisah di gedung resepsi pernikahan sepupu saya

Sesi acara itu selesai tepat pukul 17.00, dan orang-orang yang ada di dalam ruangan itu segera menghambur ke deretan meja tempat es krim disediakan. Ada sebagian kalangan yang meyakini bahwa es krim adalah sarana ampuh untuk “terapi menyejukkan suasana”—silahkan cari sendiri sumber ilmiahnya. Jadi, dalam acara-acara seperti siang itu, berkilo-kilo es krim pun dibawa ke sana, siap menyejukkan suasana di resepsi pernikahan yang sakral tersebut.

Saya pun mengambil semangkuk es krim, lalu membawanya ke luar, untuk mencari tempat yang membebaskan saya merokok. Di sebuah lobi yang kosong, saya duduk, menghabiskan es krim, lalu menyulut rokok. Sore yang hebat, pikir saya sambil merasakan kepala yang berdenyut. Saya menyandarkan punggung dan kepala, lalu menikmati asap rokok.

Asap rokok itu hampir mencekik tenggorokan ketika seorang anak perempuan kecil tiba-tiba berdiri di hadapan saya. Bagaimana bocah ini bisa sampai di sini, pikir saya dengan bingung. Saya menegakkan duduk, dan menatap sesosok tubuh kecil, dengan pakaian dekil, menatap ke arah saya. Entah bagaimana caranya, bocah ini telah menerobos sepasukan sekuriti di depan, dan entah bagaimana caranya pula ia sekarang bisa berdiri di hadapan saya.

Anak perempuan itu berkata takut-takut, “Om, kasih uangnya, Om…”

Mengingat tempat saya berada waktu itu, saya masih belum yakin kalau sekarang sedang berhadapan dengan pengemis. “Ya…?” ujar saya dengan bingung.

“Minta uang, Om,” ulang anak kecil itu. “Udah dua hari saya belum makan…”

Saya bukan orang yang welas asih. Tetapi melihat sesosok bocah perempuan kecil berpakaian dekil yang mengatakan belum makan dua hari membuat hati saya menangis. Saya pernah mengalami masa-masa kelaparan, dan saya pun tahu seperti apa perihnya menahan lapar. Jadi, saya pun segera merogoh dompet, dan memberikan uang untuknya—dan diam-diam berdoa semoga itu cukup untuk mengenyangkan perutnya.

Anak perempuan itu memandangi uang di tangannya dengan mata berbinar. Dan hati saya semakin menangis. Saya pernah mengalami masa-masa ketika sangat membutuhkan uang, ketika saya merasa sanggup membunuh demi untuk bisa mendapatkan uang agar bisa makan. Jadi, sebelum anak perempuan kecil itu berlalu, tanpa sadar saya segera menahannya.

“Kamu mau es krim?”

Bocah perempuan itu menatap saya dengan pandangan berharap. Di telinganya, mungkin tawaran es krim terdengar seperti tawaran dari surga.

Saya pun mencoba tersenyum, dan berkata, “Duduk di sini. Akan kuambilkan es krim.”

Bocah itu duduk. Saya segera masuk ke ruangan, mengambil satu mangkuk es krim, lalu menyerahkannya pada bocah perempuan tadi. Dia melahap es krimnya dengan rakus, seolah besok sudah kiamat dan tidak akan ada es krim lagi. Jadi rupanya dia benar-benar kelaparan, batin saya dengan ngilu.

Setelah menghabiskan es krim di mangkuknya hingga bersih, bocah perempuan itu berkata dengan bingung, “Makasih, Om.” Lalu pergi dengan langkah-langkah ringan, meninggalkan saya yang terduduk di lobi lengang, bersama sebatang rokok yang kian menipis.

Saya tidak tahu siapa bocah perempuan itu. Saya bahkan tidak tahu bagaimana cara bocah itu bisa menembus gedung yang dijaga sepasukan sekuriti di depan gerbang, hingga bisa masuk ke jantung ruangan. Lebih dari itu, saya tidak tahu di mana alamatnya, siapa orangtuanya, dan mengapa dia bisa sampai terlahirkan ke dunia. Yang saya tahu, batang rokok saya telah habis, dan saya harus menyulut sebatang lagi.

Sambil menikmati kepulan asap rokok, saya bertanya-tanya dalam hati, apakah bocah perempuan tadi meminta dilahirkan ke dunia? Tanpa harus membaca sumber ilmiahnya, saya yakin bocah kecil berpakaian dekil itu tidak pernah minta dilahirkan ke dunia. Lalu bagaimana ia bisa sampai terlahirkan ke dunia? Tentu saja karena ada sepasang manusia—lelaki dan perempuan—yang menginginka
nnya lahir ke dunia!

Saya kembali membayangkan bocah perempuan tadi. Usianya mungkin baru delapan, sembilan, atau sepuluh tahun. Wajahnya kotor, pakaiannya dekil, tubuhnya kurus, tatapan matanya kuyu. Saya juga masih ingat suaranya saat mengatakan dirinya belum makan dua hari. Saya membayangkan alangkah malangnya bocah perempuan itu. Ia tidak pernah minta dilahirkan ke dunia, tetapi dia kemudian dilahirkan ke dunia untuk menerima kesusahan dan penderitaan dan kelaparan dan kemalangan dan kesepian….

Nah, saya bertanya-tanya lagi dalam hati, kenapa ada orang yang tega-teganya melahirkan seorang anak hanya untuk memberinya kepahitan hidup? Mengapa ada orang tua yang melahirkan anak, jika tidak bisa memberikan tangung jawab yang layak untuk anaknya?
 
Setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini tidak pernah minta dilahirkanmereka dilahirkan karena kehendak orang tuanya. Karenanya, setiap orang tua memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk memberikan kehidupan yang layak kepada setiap anak yang dilahirkannya—meski “kelayakan” adalah hal relatif. Tetapi jika seorang anak dilahirkan hanya untuk merasakan kesusahan dan kelaparan serta penderitaan, itu adalah sebentuk kedhaliman.
 
Mario Teguh pernah berkata,"Keadaan mendahului keberadaan, eksistensi mendahului esensi."
Beliau memang motivator terbaik saat ini, sehingga bisa melihat secara bijak bahwa eksistensi (memang) berasal dari esensi. Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, sebenarnya itulah inti masalahnya—tepat seperti yang dinyatakan Pak Mario, bahwa “Keadaan mendahului keberadaan”.

Bocah perempuan kecil tadi adalah “keberadaan”, sementara latar belakang kelahirannya adalah “keadaan”. Keberadaan diciptakan oleh keadaan—dan keadaan memaksa bocah perempuan kecil itu terlahirkan ke dunia. Eksistensi datang melalui esensi, manifestasi tercipta karena kondisi.

Rokok saya habis. Saya ambil sebatang lagi, dan menyulutnya lagi.

Sekarang saya membayangkan keadaan yang melahirkan bocah perempuan kecil tadi. Bersama asap rokok yang mengepul, saya bisa membayangkan sepasang lelaki dan perempuan yang pada mulanya lajang, kemudian memutuskan untuk menikah, karena (mungkin) mereka berpikir harus menikah.

Ketika masih lajang, mungkin mereka diolok-olok masyarakatnya, “Kapan kawin? Kawin kapan?”, sehingga memutuskan untuk cepat-cepat menikah. Setelah menikah, masyarakatnya kembali bertanya-tanya, “Kapan punya anak?” Maka sepasang lelaki dan perempuan itu pun kemudian memutuskan untuk segera punya anak. Dan setelah itu tuntutan masyarakat mereka tidak berhenti, dan mereka terus menuruti tuntutan itu, tak peduli jika tuntutan itu berakibat menelantarkan anak-anak tak berdosa.

“Setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri,” kata masyarakat mereka. Tetapi fakta bahwa ada jutaan anak yang hidup kelaparan di dunia, dengan jelas membuktikan bahwa doktrin itu hanya omong kosong. Pembela doktrin itu bisa saja mengkambinghitamkan pemerintah yang korup, menyalahkan para kapitalis yang rakus, atau menunjuk sistem sosial yang bobrok.

Keadaan mendahului keberadaan, eksistensi mendahului esensi.

Sistem masyarakat sendirilah yang sesungguhnya melahirkan anak-anak malang itu, sehingga anak-anak yang sebenarnya tidak minta dilahirkan terpaksa dilahirkan. Sistem masyarakatlah yang—tanpa sadar—telah memaksa seorang lelaki dan perempuan untuk menikah tanpa peduli bagaimana keadaan mereka, dan kemudian memaksa mereka untuk melahirkan anak-anak yang dilahirkan hanya untuk menanggung kepahitan hidup, kelaparan, kedinginan, dan kesepian.

Segala sesuatu dalam hidup diciptakan untuk dipilih—bukan untuk dipaksakan. Tetapi sistem masyarakat telah menjadikan “pilihan” menjadi sebentuk “pemaksaan”. Ironisnya, salah satu hal yang dilahirkan dalam pemaksaan itu adalah anak-anak kelaparan, yang ditikam penderitaan.

2012-04-12

Pendidikan Yang Saya Peroleh

"Manusia disebut bodoh karena dia mengetahui apa itu pendidikan. Manusia yang baru lahir itu tidak bisa disebut bodoh, tapi dia hanya tidak mengerti. Dan dia bodoh karena pendidikan."
Ucapan seorang teman dalam debat sengit tadi siang.

Ini adalah gambaran gimana potret "bosok" nya sistem pendidikan di Indonesia. Mengapa saya bilang demikian?. Semua pasti tahu bagaimana buruknya sistem pendidikan kita. bagaimana korupsi tidak merajai dan menjadi penyakit di Indonesia saat ini kalau ternyata sebenarnya bersumber dari kesalahan sistem pendidikan yang diterapkan?.
Okelah saya tidak akan membicarakan korupsi dan segala perangkatnya disini. Saya juga tidak akan berpolemik bahwasanya korupsi disebabkan oleh orang-orang yang berpendidikan tapi dengan sistem yang salah??!.
Yang saya bicarakan disini adalah bagaimana pendidikan yang saya peroleh. Ini umumnya yang saya dapatkan pada masa kuliah. Saya kecewa dengan pendidikan yang saya peroleh—karena sistem pendidikan itu tidak mengajarkan mahasiswa untuk mencintai belajar, tapi hanya sekadar mengajarkan cara mengejar nilai dan gelar secara instan. Saya tidak bisa menerima sistem semacam itu. Saya akan merasa berdosa jika menerima gelar yang diberikan sebuah institusi pendidikan yang justru menjauhkan orang dari proses pembelajaran. Tapi ya itulah kenyataanya. Saya di paksa untuk memperolehnya dan melaksanakan sistemnya. Bukannya saya setuju dengan sistem pendidikan seperti ini, tetapi ini adalah soal tanggung jawab. Tanggung jawab saya kepada orang tua saya yang sudah mempercayai saya selama ini.
Oia, dan satu lagi saya juga akan merasa terhina bila kelak saya memperoleh pendamping hidup dengan titel di atas saya. Kok bisa yaa?. Tanyakan saja pada angin lalu.