Begitu banyak pilihan dalam hidup, tidak hanya hitam dan putih. Ada hijau, abu-abu, biru, merah, kuning dan masih banyak lagi.
~Bayu
Hari ini saya memulai pekerjaan baru di suatu lembaga Pemerintahan setelah sebelumnya saya bekerja di salah satu ritel di daerah kota Jakarta. Sebelumnya banyak yang menilai bahwa keputusan saya kali ini sangat gegabah. Bagaimana tidak, saya resign dari pekerjaan lama sudah lebih satu bulan yang lalu dan mulai bekerja lagi di pekerjaan yang baru, hari ini. Dengan kata lain, saya sudah hampir satu bulan lebih menjadi pengangguran. Selain itu, menurut mereka yang menganggap saya gegabah, oleh karena pekerjaan yang saya geluti kemarin merupakan pekerjaan yang santai dan sedang trend saat ini (yaitu berdagang). Selain itu menurut mereka, selain gaji pokok yang saya terima, saya juga akan mendapatkan uang sisihan apabila target dalam berdagang saya sudah memenuhi (uang insentif). Ouh well, mereka sebenarnya tidak tahu dan mengetahui apa yang saya hadapi di pekerjaan saya kemarin. Tapi biarlah, orang lain berkomentar dan kita yang menjalani. Itulah yang disebut sosial dan bermasyarakat.
Menurut saya masalah pekerjaan adalah pilihan. Saya memilih dari posisi nyaman ke ~posisi yang kurang nyaman. Dari banyak teman yang saya kenal di pekerjaan lama, ke~ kurang atau belum kenal di pekerjaan baru. Dari yang deket dari pacar ke~ jauh dari pacar. Semuanya adalah masalah pilihan hidup. Ada yang memilih untuk pekerjaan menantang, karena mungkin dia senang akan tantangan. Ada yang memilih menjadi orang terkenal, karena mungkin dia ingin popularitas. Ada yang memilih hidup menyendiri, karena mungkin dia ingin tenang dari keramaian dunia. Jadi semua itu soal pilihan. Seperti halnya saya yang memilih pekerjaan baru yang menurut saya menantang, ada beberapa teman saya di bawah ini yang mungkin patut diceritakan soal pilihan hidupnya yang menurut saya nyeleneh. Mereka memilih untuk tidak terkenal disaat mereka memiliki potensi sebagai orang terkenal. Dan saya bangga mengenal mereka. Karena mereka orang terkenal yang tidak dikenal.
Menurut saya masalah pekerjaan adalah pilihan. Saya memilih dari posisi nyaman ke ~posisi yang kurang nyaman. Dari banyak teman yang saya kenal di pekerjaan lama, ke~ kurang atau belum kenal di pekerjaan baru. Dari yang deket dari pacar ke~ jauh dari pacar. Semuanya adalah masalah pilihan hidup. Ada yang memilih untuk pekerjaan menantang, karena mungkin dia senang akan tantangan. Ada yang memilih menjadi orang terkenal, karena mungkin dia ingin popularitas. Ada yang memilih hidup menyendiri, karena mungkin dia ingin tenang dari keramaian dunia. Jadi semua itu soal pilihan. Seperti halnya saya yang memilih pekerjaan baru yang menurut saya menantang, ada beberapa teman saya di bawah ini yang mungkin patut diceritakan soal pilihan hidupnya yang menurut saya nyeleneh. Mereka memilih untuk tidak terkenal disaat mereka memiliki potensi sebagai orang terkenal. Dan saya bangga mengenal mereka. Karena mereka orang terkenal yang tidak dikenal.
Yang pertama adalah Adityawarman (bukan nama sebenarnya). Dia adalah lelaki misterius, bagi sebagian orang. Dia sering menulis artikel berisi pemikiran-pemikirannya di media massa, juga menerbitkan beberapa buku. Di luar itu, dia bekerja di lembaga litbang milik suatu organisasi. Yang menjadikannya misterius, dia tidak pernah muncul ke hadapan publik, bahkan fotonya bisa dibilang tidak pernah ada di media mana pun. Padahal namanya populer untuk bidang ilmu yang digelutinya.
Saya mengenalnya secara pribadi. Dia lelaki yang baik, ramah, dan biasa menjalani hidup seperti umumnya orang lain. Di hari Minggu, saat orang-orang di kompleknya bekerja bakti, dia ikut kerja bakti. Di waktu senggang, dia mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di depan rumahnya sendiri. Sore hari, sehabis bekerja, dia kadang duduk merokok di teras rumah, membalas sapaan ramah para tetangga yang kebetulan lewat. Pendeknya, dia lelaki biasa, seperti umumnya orang kebanyakan.
Suatu hari, seorang teman yang bekerja sebagai wartawan ingin menemuinya. Dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, lengkap dengan foto profil. Si wartawan telah mencoba mendatangi tempat kerja Adityawarman, namun dia diusir oleh sekuriti yang menjaga di sana. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali dia gagal. Kemudian, dia tahu kalau saya mengenal Adityawarman secara pribadi. Jadi dia menemui saya, dengan harapan saya mau menemaninya ke rumah Adityawarman langsung untuk mewawancarainya.
Sebagai teman, saya menemani wartawan itu berkunjung ke rumah Adityawarman, suatu malam. Adityawarman menerima kami dengan ramah, bahkan dia sendiri yang membuat dan mengantarkan minuman untuk kami. Setelah itu, dengan keramahan seorang tuan rumah, Adityawarman bercakap-cakap dengan kami, dengan senyum dan tawanya yang menyenangkan—khas orang kebanyakan.
Setelah cukup mengobrol basa-basi, si wartawan menyatakan tujuannya, bahwa dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, plus mendapatkan foto profil. Dengan suara datar, Adityawarman berkata, “Aku senang berteman dengan siapa pun, termasuk dengan wartawan, sepertimu. Tetapi, aku benar-benar tidak ingin, dan tidak berminat, masuk ke koranmu atau koran mana pun. Aku ingin menjalani kehidupan pribadiku seperti sekarang ini—menjadi orang biasa—dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusiknya.”
Sebenarnya, saya sudah tahu hasilnya akan seperti itu. Dari dulu, Adityawarman memang tidak pernah mau diwawancarai koran, majalah, televisi, atau media apa pun. Dia tidak menyukai publisitas, khususnya menyangkut pribadi. Kenyataan itulah yang menjadikan sosoknya terkesan misterius bagi sebagian orang. Padahal, bagi orang-orang yang mengenalnya, dia sama sekali tidak misterius. Dia hanya orang biasa yang ingin tetap menjalani kehidupan sebagai orang biasa.
“Popularitas itu candu,” kata Adityawarman suatu kali. “Sekali kau mendapat popularitas, kau tidak akan bisa melepasnya lagi, bahkan ingin terus menambah dosisnya.”
Saya setuju dengan tesis itu. Jika kita mau memperhatikan, jutaan orang di sekeliling kita melakukan segala upaya demi bisa terkenal. Di dunia maya, misalnya, mereka mengumbar kehidupan dan kesehariannya, memamerkan foto-foto dan aktivitasnya, bahkan sampai ada yang bertingkah konyol dan tak masuk akal demi bisa terkenal. Sementara yang sudah terkenal masih bertingkah aneh-aneh demi mendapat liputan media, disorot kamera, dan agar terus diperbicangkan.
Popularitas itu candu. Sekali kau mendapatkannya, kau tidak akan bisa melepasnya, bahkan ingin terus menambah dosisnya. Dalam keadaan “sakaw”, orang rela melakukan apa pun demi mengatasi kecanduannya, demi bisa terus populer.
Yang kedua adalah Anita (bukan nama sebenarnya). Dia adalah penulis novel laris. Sejak awal, dia mengaku, dia hanya ingin menulis—sesuatu yang disukainya. Karenanya, ketika novelnya bestseller, dia hanya menganggapnya sebagai bonus. Tak jauh beda dengan Adityawarman, Anita juga menolak untuk tampil di depan publik. Di semua bukunya juga tidak ada foto apa pun. Bukan apa-apa, tetapi semata karena ingin tetap tak dikenal. Dia hanya ingin menulis, bukan ingin terkenal.
Bahkan saat novelnya difilmkan pun, Anita tetap menolak untuk muncul. Pada waktu itu, seperti umumnya penulis lain, Anita juga diburu reporter yang ingin mewawancarai sehubungan novelnya yang akan difilmkan. Tapi Anita tak pernah bersedia. Dia mewanti-wanti penerbitnya untuk tidak memberikan alamat atau nomor ponselnya kepada siapa pun, dan... puji Tuhan, penerbitnya bisa menjaga privasi Anita.
Salah satu “adat” perfilman di Indonesia adalah menggelar syukuran untuk film yang akan dibuat. Novel Anita yang akan difilmkan juga menjalani “ritual” yang sama. Produser menggelar syukuran, dan biasanya pihak-pihak yang terlibat akan datang untuk ikut merayakan—dari penerbit, penulis, kru film, sampai para artis yang akan memerankan. Tetapi, bahkan dalam acara sepenting itu pun, Anita tetap tidak muncul, padahal dia seharusnya menjadi bintang utama. Jadi, ada beribu-ribu orang yang pernah membaca novel Anita, ada beribu-ribu orang yang telah menonton film yang diadaptasi dari novelnya, tapi beribu-ribu orang itu tidak pernah tahu seperti apa sosok Anita. Satu-satunya profil Anita hanya terdapat pada sebuah majalah kurang terkenal, yang berisi sekilas wawancara dengannya. Belakangan, Anita mengakui, dia mau diwawancarai majalah itu karena si reporter adalah temannya sendiri. “Aku tidak enak jika harus menolak,” dia menceritakan.
Yang kedua adalah Anita (bukan nama sebenarnya). Dia adalah penulis novel laris. Sejak awal, dia mengaku, dia hanya ingin menulis—sesuatu yang disukainya. Karenanya, ketika novelnya bestseller, dia hanya menganggapnya sebagai bonus. Tak jauh beda dengan Adityawarman, Anita juga menolak untuk tampil di depan publik. Di semua bukunya juga tidak ada foto apa pun. Bukan apa-apa, tetapi semata karena ingin tetap tak dikenal. Dia hanya ingin menulis, bukan ingin terkenal.
Bahkan saat novelnya difilmkan pun, Anita tetap menolak untuk muncul. Pada waktu itu, seperti umumnya penulis lain, Anita juga diburu reporter yang ingin mewawancarai sehubungan novelnya yang akan difilmkan. Tapi Anita tak pernah bersedia. Dia mewanti-wanti penerbitnya untuk tidak memberikan alamat atau nomor ponselnya kepada siapa pun, dan... puji Tuhan, penerbitnya bisa menjaga privasi Anita.
Salah satu “adat” perfilman di Indonesia adalah menggelar syukuran untuk film yang akan dibuat. Novel Anita yang akan difilmkan juga menjalani “ritual” yang sama. Produser menggelar syukuran, dan biasanya pihak-pihak yang terlibat akan datang untuk ikut merayakan—dari penerbit, penulis, kru film, sampai para artis yang akan memerankan. Tetapi, bahkan dalam acara sepenting itu pun, Anita tetap tidak muncul, padahal dia seharusnya menjadi bintang utama. Jadi, ada beribu-ribu orang yang pernah membaca novel Anita, ada beribu-ribu orang yang telah menonton film yang diadaptasi dari novelnya, tapi beribu-ribu orang itu tidak pernah tahu seperti apa sosok Anita. Satu-satunya profil Anita hanya terdapat pada sebuah majalah kurang terkenal, yang berisi sekilas wawancara dengannya. Belakangan, Anita mengakui, dia mau diwawancarai majalah itu karena si reporter adalah temannya sendiri. “Aku tidak enak jika harus menolak,” dia menceritakan.
Dan seperti apakah sebenarnya sosok Anita?
Saya mengenalnya secara pribadi di kampus tempat saya kuliah dulu, dan di mata saya dia perempuan dengan wujud sempurna. Selebihnya, Anita adalah sosok biasa—bukan artis, bukan selebritas, bukan orang terkenal—hanya perempuan biasa seperti umumnya. Memang benar dia sangat cantik—sosok yang sangat layak untuk menjadi santapan kamera—tapi dia tidak menginginkan. Selfie dan pamer tidak termasuk bagian kesibukannya, karena dia memang tak ingin dikenal.
Kadang, ada orang menyangka Anita sosok yang sombong, atau terkesan eksklusif. Padahal tidak seperti itu kenyataannya. Dia memang menutup diri dari publik, semata karena memang tak ingin dikenal. Sebagai pribadi, dia sosok yang ramah dan asyik, tapi dia ingin dikenal sebagai Anita, sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai sosok terkenal atau semacamnya. Dia tidak menyukai publisitas mengenai dirinya.
Pernah, kami keluyuran di Malioboro, kemudian mampir ke kantin tempat lesehan di sekitaran Malioboro karena kelaparan. Di kantin, Anita dan saya berdesak-desakan dengan banyak orang yang juga akan makan siang. (Kalian yang tahu kondisi Malioboro pasti paham yang saya maksudkan). Hampir bisa dibilang tidak akan ada orang terkenal yang berani makan di sana, karena masing-masing orang saling berdekatan ketika makan.
Karena kami bukan orang terkenal, kami pun enjoy makan di sana, berdampingan dan berhadapan dengan banyak orang yang juga sedang makan siang. Sehabis makan, saya nyaris tertawa geli. Perempuan yang bersama saya waktu itu adalah sosok yang namanya sangat terkenal, dikagumi banyak orang, yang novelnya dinikmati beribu-ribu pembaca di Indonesia. Tetapi, siang itu, dia duduk menemani saya makan dengan ekspresi santai, sementara orang-orang berlalu-lalang di sekitar kami tanpa mengenalnya sama sekali.
....
....
Tidak semua orang ingin terkenal. Kenapa kenyataan yang sebenarnya sangat sederhana itu tampak sulit dipahami?. Sekali lagi, hidup ini adalah soal pilihan.
Dunia kita dibangun oleh berbagai hal yang berpasangan. Ada hitam, ada putih. Ada atas, ada bawah. Ada pintar, ada bodoh. Ada kaya, ada miskin. Ada luar, ada dalam. Bahkan ada materi, dan ada antimateri. Karenanya sangat wajar kalau ada orang yang ingin terkenal, dan ada pula orang yang tidak ingin terkenal. Jadi, kenapa kenyataan yang sangat sederhana itu sepertinya sulit dimengerti?
Kita, tampaknya, terlalu terbiasa dengan orang-orang yang ingin terkenal. Sebegitu terbiasa, hingga kita merasa asing saat mendapati ada orang yang sebaliknya. Kita mungkin telah terbiasa dengan orang-orang yang sibuk pamer apa pun dengan heboh. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit menerima ada orang yang memilih untuk menyepi dan menyisih. Kita mungkin terlalu terbiasa dengan aktivitas selfie, unjuk diri, dan hal-hal konyol para selebriti. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit memahami saat ada orang yang justru menjauh dari publikasi.
Sebagian orang ingin terkenal—tidak masalah, itu hak dan pilihan setiap orang. Namun, jangan lupa, sebagian orang yang lain juga memiliki hak yang sama, misalnya memilih untuk tidak dikenal. Karena sekali lagi, hidup ini adalah pilihan.