2015-01-17

Tidak Selalu Niat Baik Berujung Benar

Kebenaran tidak hanya dilihat dari satu sisi, tapi dari sisi yang lain 
biar hidup ini seimbang. Karena kebenaran tidak bersifat mutlak 
dan juga tidak bersifat konstan.
~bayu


Di sebuah pemukiman, ada masalah yang semula sepele tapi kemudian meresahkan masyarakat. Masalah itu dimulai oleh seorang lelaki—sebut saja namanya Mister X.

Semula, di hari-hari sebelumnya, pemukiman itu bisa dibilang damai, tenang, tanpa masalah. Sampai suatu hari, Mister X mengaji (membaca Al-Qur’an) seusai shalat subuh di masjid. Jadi, setelah shalat subuh berjamaah selesai di masjid, Mister X akan menyiapkan mic untuk dirinya sendiri, kemudian mengaji sekitar setengah jam sampai satu jam, dan suaranya dikeraskan oleh TOA masjid hingga terdengar kemana-mana. 

Mungkin Mister X berniat baik—ia bermaksud ibadah, sekaligus memperdengarkan ayat-ayat suci kepada masyarakat yang tinggal di pemukimannya. Kenyataannya, pemukiman itu memang dihuni masyarakat muslim. Yang menjadi masalah, ternyata tidak semua masyarakat yang tinggal di pemukiman itu senang. 

Beno (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu penghuni pemukiman yang terganggu akibat suara Mister X. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah bank yang biasa jaga malam. Ia pulang ke rumah seusai subuh, dan biasanya akan tidur, beristirahat, lalu bangun siang hari, dengan tujuan bisa bekerja kembali dengan baik, dengan tubuh yang segar. Tetapi, sejak Mister X mengaji setiap habis subuh, Beno sulit istirahat, tidak bisa tidur, karena suara Mister X mengganggunya.

Reni (juga bukan nama sebenarnya) adalah siswa sekolah yang rajin belajar, dan termasuk murid berprestasi. Dia kebanggaan orangtua dan sekolahnya. Tetapi, sebagaimana Beno, Reni juga bermasalah dengan suara Mister X. Dia biasa belajar setelah shalat subuh di rumahnya, dan kini tidak bisa lagi belajar seperti biasa akibat konsentrasinya buyar gara-gara suara Mister X yang masuk ke rumahnya setiap pagi.

Selain Beno dan Reni, ada banyak orang di pemukiman itu yang juga tidak senang dengan suara Mister X setiap pagi, karena dianggap mengganggu. Ada ibu yang jengkel, karena bayinya selalu terbangun dan menangis setiap kali suara Mister X mulai terdengar dari TOA masjid, padahal si bayi baru saja tidur. Ada orang-orang yang biasa menikmati pagi yang hening dan tenang kini terganggu, dan lain-lain, dan lain-lain.

Sebenarnya, masyarakat tidak mempersoalkan kalau Mister X mau mengaji—selama apa pun, di mana pun, dan di waktu kapan pun. Mereka tentu akan membiarkan Mister X membaca Al-Qur’an, karena itu termasuk ibadah. Yang dipersoalkan masyarakat adalah suaranya. Suara Mister X yang dikeraskan TOA masjid memasuki rumah-rumah yang biasanya tenang dan hening, mengganggu orang-orang yang biasa beraktivitas di pagi hari, dari yang mau belajar sampai yang mau istirahat.

Susahnya, ketika harus berurusan dengan hal-hal semacam itu, masyarakat merasa segan jika harus ribut. Mereka merasa serba salah jika akan menegur Mister X dan memintanya agar tidak mengeraskan suaranya setiap pagi. Masih banyak orang yang merasa “pekewuh” (tidak enak hati) jika ingin menegur orang lain apabila berhubungan dengan agama, atau hal-hal yang berkaitan dengan agama. Seperti dalam kasus Mister X. Masyarakat di pemukiman itu pun hanya bisa resah, tapi memilih diam.

Mister X tentu tidak bermaksud buruk, dia pasti berniat ibadah, dan berpikir yang dilakukannya adalah hal baik. Tetapi dia mungkin tidak sempat berpikir lebih panjang, dan tidak memperhitungkan apakah masyarakat akan senang dengan yang dilakukannya, atau sebaliknya. 

Kadang-kadang, niat baik justru menimbulkan keresahan bahkan masalah, akibat dilakukan tanpa pertimbangan matang dan pemikiran bijaksana. Beribadah tentu hal baik, dan membaca Al-Qur’an adalah aktivitas terpuji. Tapi mengeraskan suara melalui TOA hingga mengganggu orang-orang lain tentu bukan hal baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak terpikir oleh Mister X. Akibatnya, setiap habis subuh, dia terus saja menyiapkan mic untuk mengeraskan suaranya, hingga didengar masyarakat di pemukimannya. 

Yang membuat masyarakat merasa segan untuk menegur Mister X, karena mereka tidak bisa memastikan bagaimana reaksi Mister X. Jika Mister X seorang salih dalam arti sebenarnya, dia tentu akan memahami permintaan masyarakatnya, dan dengan sepenuh pemakluman akan melirihkan suara agar ibadahnya tidak mengganggu orang lain. Tetapi bagaimana kalau tidak...?

Bagaimana kalau Mister X menjawab, misalnya, “Aku beribadah di masjid, di rumah Tuhan. Aku beribadah untuk Tuhan, bukan untuk kalian. Kalau Tuhan saja tidak ribut, kenapa kalian malah ribut?”

Jika Mister X menjawab seperti itu, yang timbul kemudian tentu masalah. Yang menjadi masalah, akar masalahnya adalah urusan ibadah. Karenanya, masyarakat pun merasa dilema. Orang sering kali sangat sensitif jika berhubungan dengan agama, dan mereka cukup memahami hal itu, sehingga lebih memilih diam, meski sebagian mereka diam-diam juga memendam kejengkelan.

Sekali lagi, Mister X tentu bermaksud baik, berniat ibadah, berharap pahala dari Tuhan. Tetapi jika aktivitas ibadahnya juga menimbulkan kejengkelan orang-orang, kira-kira lebih besar mana yang diperolehnya? Pahala Tuhan, ataukah kebencian sesama manusia?

Beberapa orang mungkin bisa saja menyatakan, “Yang buruk menurut manusia, belum tentu buruk menurut Tuhan. Sebagaimana yang baik bagi manusia juga belum tentu baik menurut Tuhan. Aku hanya mengikuti yang baik menurut Tuhan, dan persetan apa kata manusia!”

Tetapi, marilah pikirkan, kita hidup di Bumi bersama manusia lainnya... atau di mana? Karena kita hidup bersama orang lain, bersama manusia lain, maka kita tentu juga harus menghormati hak-hak manusia lain, termasuk dalam menjalankan kewajiban terhadap Tuhan. Karena itulah dalam ajaran agama ada yang disebut hablumminallah (memenuhi hak Tuhan) dan hablumminannas(memenuhi hak manusia). 

Ibadah kepada Tuhan—yang artinya memenuhi hak Tuhan—tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lainnya, sebagaimana memenuhi hak manusia tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak Tuhan. Itulah fungsi sejati agama—keseimbangan, equilibrium—antara kekhusyukan bersama Tuhan, dan kebersamaan saat bergandengan dengan sesama manusia. Antara harapan menuju surga, tanpa melupakan bahwa saat ini kita tinggal di dunia.

Kalau kita sedang asyik menonton televisi, dan ada teman kita yang akan shalat, kita perlu menghormatinya dengan melirihkan suara televisi atau mematikannya sama sekali, agar teman kita bisa khusyuk beribadah. Sebaliknya, jika kita sedang berkumpul bersama teman-teman dan akan menjalankan ibadah shalat, kita tidak bisa seenaknya menggelar sajadah di tengah-tengah mereka sambil menyuruh mereka bubar.

Ada hak Tuhan, juga ada hak manusia. Memenuhi hak Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lain, begitu pun sebaliknya.

Ketika masih hidup dan aktif berceramah, Ustad Zainuddin MZ punya anekdot yang tak bisa saya lupakan. “Ada orang yang suka dengerin ceramah saya di radio,” ujar Ustad Zainuddin, “sebegitu suka, sampai dia selalu menyetel radionya keras-keras setiap kali saya muncul di radio. Akibatnya, tetangga-tetangganya terganggu oleh suara bising radio. Waktu ditegur, orang itu mengatakan, ‘Lhah ini radio, radio gue. Gue setel di rumah gue. Gue dengerin pakai telinga gue. Kenapa lu jadi sewot?’ Si tetangga menjawab, ‘Lhah gue tidur di kamar gue, di rumah gue sendiri. Kenapa suara radio lu masuk ke rumah gue?’

Niat baik harus dilakukan dengan cara yang baik, beribadah kepada Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak sesama manusia.

Kita tidak bisa merampok bank dengan tujuan untuk menyumbang masjid, sebagaimana kita tidak bisa membangun taman bermain dengan cara merusak mushala. Menyumbang tempat ibadah adalah niat yang baik, tapi merampok bank jelas kejahatan yang merugikan manusia lain. Begitu pun dalam niat ibadah lainnya, seperti membaca kitab suci, berceramah kepada orang lain, memberikan nasihat, atau perbuatan-perbuatan baik lainnya. Niat-niat baik itu harus dilakukan dengan baik—sebegitu baik, hingga tidak ada pihak yang merasa terganggu apalagi terluka.

Seperti Mister X yang membaca Al-Qur’an setiap habis subuh di masjid. Jika dia memang berniat ibadah, dan memaksudkan bacaan kitab sucinya untuk Tuhan semata, maka tentu dia akan menyadari bahwa Tuhan Maha Mendengar. Karena Tuhan Maha Mendengar, maka tentu Mister X bisa memahami bahwa dia tidak perlu mengeraskan suaranya dengan TOA, karena bahkan berbisik lirih pun Tuhan akan mendengar suaranya.

Dan, sekali lagi, itulah sebenarnya fungsi hakiki agama—keseimbangan hidup sebagai manusia. Mengakui kehambaan kepada Tuhan, tanpa mengusik manusia lainnya. Bermesraan dengan Tuhan setiap malam, namun bisa bekerja dan tertawa bersama sesama manusia.

Bagi orang bijaksana yang memahami, agama adalah kebenaran yang sunyi.

2015-01-09

Keikhlasan Manusia

Di dunia tempat manusia memuja hiruk-pikuk penuh bising,
selalu ada malaikat yang bekerja dalam hening.
Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc


Di kantin Siang ini saya mengobrol dengan salah satu mahasiswa dari Bapak Pratikno selama masa kuliah di UGM Yogyakarta dahulu kala. Yupp mahasiwa tersebut adalah atasan saya sekarang dimana saya bekerja saat ini. Dan siapa sangka Bapak Pratikno sekarang menjadi atasan dari atasan saya ( jadi bisa dibilang kakek atasan ). Oke saya tentunya tidak akan membahas antara atasan dan bawahan disini. Tetapi ada yang unik dari cerita atasan saya tersebut. Yang tentunya bisa kita ambil sedikit hikmah. Ceritanya Bapak Pratikno marah-marah di depan para mahasiswanya. Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc—yang biasa disapa Pak Pra—sedang mengajar sebuah mata kuliah Sosiologi di kampusnya ( tentunya sebelum Beliau menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara RI jilid 14 ). Di depan para mahasiswa kampus itu, ia berbicara dengan bahasa yang akrab, mengalir dan mudah dipahami, sekaligus lucu. Berkali-kali audiens tertawa cekikikan saat menikmati ceramahnya. Ia menjelaskan dan menguraikan banyak hal, khususnya yang berhubungan dengan sosial, budaya, dan agama.

Di satu bagian ceramahnya, Pak Pra menceritakan kisah masa mudanya, ketika ia pergi dari rumah orangtua untuk menyepi dan bertafakur. Hal itu ia lakukan sampai cukup lama. Selama bertafakur, Pak Pra bisa dibilang menjauhi segala kenikmatan duniawi, bahkan selama dua tahun dia hanya makan tiwul (makanan yang dibuat dari ketela pohon atau singkong).

Ketika ceramah selesai dan sesi tanya jawab dibuka, seorang mahasiswa bertanya, apa motivasi Pak Pra menyepi dan bertafakur sebagaimana yang tadi diceritakannya. Di luar dugaan semua orang, Pak Pra marah mendapat pertanyaan itu.

Sambil marah pula, Pak Pra menjelaskan bahwa dia bertafakur di masa mudanya bukan karena motivasi apa pun, tapi karena memang ingin melakukannya. Dan kemarahan itu bahkan berlangsung cukup lama, selama menjelaskan bahwa dia bertafakur bukan karena mengharapkan sesuatu, bukan karena menginginkan apa pun, tetapi semata karena ingin melakukannya. Dengan nada marah ia menyatakan, “Urip kok motivasiiiii bae! Urip kok pamriiiiiih bae!” (“Hidup kok cuma motivasi! Hidup kok cuma pamrih!”)


Saya memahami kemarahan Pak Pra dilatarbelakangi karena kemuakannya terhadap gaya hidup orang modern yang segala sesuatunya dilandasi pamrih atau motivasi tertentu. Sebegitu akrab dengan pamrih, hingga kita di zaman ini sering tidak bisa memahami orang-orang yang melakukan sesuatu karena keikhlasan semata, karena memang ingin melakukannya, dan tidak bertendensi apa pun.

Kita terlalu akrab dengan pamrih, dengan motivasi di balik perbuatan yang kita lakukan, hingga tanpa sadar kita mulai asing dengan keikhlasan. Pernahkah kita menyadari kenyataan mengerikan itu? Kita telah menjadi semacam rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri, hingga perlahan-lahan kita kehilangan nurani dan nilai kemanusiaan yang kita miliki. Kita mau melakukan sesuatu jika melihat keuntungan yang bisa diperoleh, dan menolak atau enggan melakukan jika tidak ada imbalan. Kita sedang merendahkan kemanusiaan kita sendiri.

Kita percaya kepada Tuhan, mau beribadah sebagaimana perintah-Nya, tetapi diam-diam kita menyembunyikan motivasi untuk masuk surga atau terhindar dari neraka. Kita tidak beribadah karena memang ingin melakukannya sebagai bukti kehambaan dan kemanusiaan, melainkan karena motivasi dan pamrih surga-neraka. Jika memang begitu yang kita lakukan, akan seperti apakah kita jika surga dan neraka tidak ada?

Penyakit yang menghinggapi banyak orang modern adalah terlalu lekatnya pamrih dan motivasi, sehingga kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Yang mengerikan, kalau kita belum sadar, orang-orang semacam itu sangat mudah dikalahkan dan dihancurkan.

Pikirkan kenyataan ini. Jika seseorang melakukan sesuatu karena motivasi uang, orang itu bisa dikalahkan dengan uang. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dan moralnya akan tergadai. Jika seseorang mengerjakan sesuatu karena pamrih jabatan, dia pun akan mudah dihancurkan. Janjikan suatu jabatan kepadanya, dan kemanusiaannya akan terjual. Orang-orang penuh pamrih sangat mudah dikalahkan, bahkan dihancurkan.

Karenanya, orang paling kuat di dunia adalah orang yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. Orang semacam itu tidak bisa dikalahkan, karena dia melakukan sesuatu berdasar keikhlasan semata, tanpa pamrih, tanpa motivasi apa pun. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dia tidak akan berubah. Janjikan jabatan kepadanya, dia tetap bergeming. Dia akan terus melakukan sesuatu yang memang ingin dilakukannya, tak peduli orang lain tahu atau tidak, tak peduli dunia menatap kepadanya atau tidak.

Selain tak bisa dimanipulasi dengan uang, jabatan, atau semacamnya, orang-orang ikhlas semacam itu juga tidak bisa dihalang-halangi, dan tak bisa dihentikan. Jika dia ingin melakukan, dia akan melakukan. Halangi jalannya, dia akan mencari jalan lain. Letakkan batu sandungan, dia akan melompatinya. Orang yang melakukan sesuatu karena ingin melakukan, tidak bisa dihalangi dan tidak bisa dihentikan. Itulah orang paling kuat di dunia, yang melakukan sesuatu dengan keikhlasan, tanpa pamrih, tanpa tendensi.

Dalam rangkaian kata-kata yang inspiratif, Mario Teguh pernah menceritakan perempuan tua yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. (Rangkaian kata-kata itu sudah saya baca cukup lama, dan saya tuturkan kembali di sini berdasarkan ingatan semata. Mohon maaf kalau ada bagian yang kurang akurat).

Ceritanya—sebagaimana yang ditulis Mario Teguh—ada seorang perempuan tua yang biasa menyapu jalan di komplek perumahannya menjelang subuh. Sendirian, tanpa diketahui siapa pun, dia menyapu dan membersihkan jalanan. Selama waktu-waktu itu, orang-orang di komplek kadang mendengar suara-suara aneh di jalan, tapi mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di depan rumah mereka. Yang mereka tahu, setiap pagi, jalanan komplek telah bersih.

Pagi hari, seusai subuh, petugas kebersihan datang ke komplek perumahan itu, untuk mengambil dan mengakuti sampah. Mereka mendapati sampah-sampah telah ditumpuk dan dikumpulkan rapi, sehingga para petugas tidak perlu repot, dan mereka mengira penduduk komplek itu yang melakukannya. 

Jadi, para penduduk mengira para petugas kebersihan yang membersihkan komplek mereka hingga sangat bersih, sementara petugas kebersihan mengira orang-orang di komplek itu sangat rajin membersihkan lingkungannya. Tidak ada yang tahu, seorang perempuan tua melakukan hal itu saat orang-orang lain sedang terlelap—tanpa pamrih, tanpa tendensi, bahkan tanpa ingin diketahui. 

Namun, karena penduduk di komplek itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, muncul rumor macam-macam akibat suara-suara aneh yang sering mereka dengar waktu dini hari. Suara-suara aneh itu cukup membuat warga ketakutan, hingga mereka tidak ada yang berani keluar. Sampai kemudian, rumor itu terdengar seorang wartawan, yang lalu berniat menyelidikinya.

Si wartawan mendatangi komplek tersebut, berjaga di suatu tempat tersembunyi, untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana. Pada pukul 2 dini hari, sesosok perempuan tua muncul dengan sapu dan gerobak. Ia menyapu dan membersihkan komplek perumahan itu, mengumpulkannya dengan rapi, hingga petugas kebersihan tinggal mengangkutnya saat mereka datang di pagi hari. 

Si wartawan pun kemudian memahami bahwa “suara-suara aneh” yang didengar warga setiap dini hari adalah gesekan sapu dan gerobak si perempuan tua, dan rupanya dialah yang selama ini telah membersihkan komplek itu tanpa diketahui siapa pun. Si wartawan berniat menulis kisah itu di korannya. Si perempuan tua mengizinkan, namun dia tidak ingin identitasnya diungkap di koran.

Sekarang, jika kita bertanya kenapa perempuan tua itu mau bangun di tengah malam, lalu menyapu komplek perumahannya hingga bersih, kita tidak akan menemukan jawaban apa pun, selain karena dia memang ingin melakukannya! Dia tidak ingin mendapatkan uang, tidak berharap jabatan atau penghargaan, dia bahkan melakukannya ketika orang-orang lain sedang terlelap, hingga tidak ada yang tahu dialah yang melakukan. Dia hanya melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya. Semudah itu, sesederhana itu.

Dan itulah yang disebut manusia. Ketika kebaikan dilakukan semata karena itu baik, tanpa berharap pujian, penghargaan, ataupun pamrih agar terkenal. 

Kenapa kita sepertinya tidak bisa menerima konsep sederhana tapi mulia semacam itu...? Kenapa kita harus selalu berpikir apa keuntungan yang kita dapatkan jika melakukan sesuatu? Lebih ironis lagi, mengapa kita selalu curiga pada orang lain yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya?

Karena itulah, Pak Pra sampai marah ketika ada mahasiswanya yang mempertanyakan apa motivasinya ketika dia menyepi dan bertirakat di masa mudanya. Pak Pra tidak hanya marah karena keikhlasannya dipertanyakan, tetapi juga karena muak menyaksikan generasi abad ini telah begitu berjarak dengan ketulusan, asing dengan keikhlasan. Segalanya dengan pamrih, dengan tendensi—dari berharap imbalan uang, sampai ingin masuk koran dan terkenal. 

Kita telah berubah menjadi rayap-rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri. Kita sudah malih rupa menjadi lintah-lintah yang mengisap nurani kita sendiri. Proses itu mungkin berlangsung pelan, diam-diam, tanpa disadari. Tetapi peradaban dan gaya hidup yang kita jalani terus mengubah identitas dan nurani kita, hingga pelan-pelan kita tidak lagi menjadi manusia. Kita mulai asing dengan ketulusan, mulai berjarak dengan keikhlasan, hingga apa pun yang kita lakukan selalu dilandasi pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi.

Di tengah-tengah rusaknya Gotham City yang dicengkeram pemerintahan korup dan masyarakat bobrok, seorang milyuner bernama Bruce Wayne mengenakan jubah dan topengnya untuk menjadi Batman. Di belantara New York yang disesaki gedung-gedung tinggi pencakar langit yang individualis dan materialistis, seorang pemuda miskin bernama Peter Parker mengenakan kostum untuk menyembunyikan identitasnya, dan menjadi Spiderman.

Ketika melakukan kebajikan dan perbuatan-perbuatan baik kepada sesama, Bruce Wayne maupun Peter Parker tidak mengharapkan uang atau imbalan, pun tidak ingin masuk televisi agar terkenal, tetapi semata karena ingin melakukannya—menyadari bahwa mereka harus melakukannya. Di mata saya, mereka bukan hanya pahlawan, bukan sekadar superhero. Mereka adalah manusia yang sedang mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia.

2015-01-05

Hidup Adalah Soal Pilihan

Begitu banyak pilihan dalam hidup, tidak hanya hitam dan putih. Ada hijau, abu-abu, biru, merah, kuning dan masih banyak lagi.
~Bayu

Hari ini saya memulai pekerjaan baru di suatu lembaga Pemerintahan setelah sebelumnya saya bekerja di salah satu ritel di daerah kota Jakarta. Sebelumnya banyak yang menilai bahwa keputusan saya kali ini sangat gegabah. Bagaimana tidak, saya resign dari pekerjaan lama sudah lebih satu bulan yang lalu dan mulai bekerja lagi di pekerjaan yang baru, hari ini. Dengan kata lain, saya sudah hampir satu bulan lebih menjadi pengangguran. Selain itu,  menurut mereka yang menganggap saya gegabah, oleh karena pekerjaan yang saya geluti kemarin merupakan pekerjaan yang santai dan sedang trend saat ini (yaitu berdagang). Selain itu menurut mereka, selain gaji pokok yang saya terima, saya juga akan mendapatkan uang sisihan apabila target dalam berdagang saya sudah memenuhi (uang insentif). Ouh well, mereka sebenarnya tidak tahu dan mengetahui apa yang saya hadapi di pekerjaan saya kemarin. Tapi biarlah, orang lain berkomentar dan kita yang menjalani. Itulah yang disebut sosial dan bermasyarakat. 

Menurut saya masalah pekerjaan adalah pilihan. Saya memilih dari posisi nyaman ke ~posisi yang kurang nyaman. Dari banyak teman yang saya kenal di pekerjaan lama, ke~ kurang atau belum kenal di pekerjaan baru. Dari yang deket dari pacar ke~ jauh dari pacar. Semuanya adalah masalah pilihan hidup. Ada yang memilih untuk pekerjaan menantang, karena mungkin dia senang akan tantangan. Ada yang memilih menjadi orang terkenal, karena mungkin dia ingin popularitas. Ada yang memilih hidup menyendiri, karena mungkin dia ingin tenang dari keramaian dunia. Jadi semua itu soal pilihan. Seperti halnya saya yang memilih pekerjaan baru yang menurut saya menantang, ada beberapa teman saya di bawah ini yang mungkin patut diceritakan soal pilihan hidupnya yang menurut saya nyeleneh. Mereka memilih untuk tidak terkenal disaat mereka memiliki potensi sebagai orang terkenal. Dan saya bangga mengenal mereka. Karena mereka orang terkenal yang tidak dikenal.

Yang pertama adalah Adityawarman (bukan nama sebenarnya). Dia adalah lelaki misterius, bagi sebagian orang. Dia sering menulis artikel berisi pemikiran-pemikirannya di media massa, juga menerbitkan beberapa buku. Di luar itu, dia bekerja di lembaga litbang milik suatu organisasi. Yang menjadikannya misterius, dia tidak pernah muncul ke hadapan publik, bahkan fotonya bisa dibilang tidak pernah ada di media mana pun. Padahal namanya populer untuk bidang ilmu yang digelutinya.

Saya mengenalnya secara pribadi. Dia lelaki yang baik, ramah, dan biasa menjalani hidup seperti umumnya orang lain. Di hari Minggu, saat orang-orang di kompleknya bekerja bakti, dia ikut kerja bakti. Di waktu senggang, dia mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di depan rumahnya sendiri. Sore hari, sehabis bekerja, dia kadang duduk merokok di teras rumah, membalas sapaan ramah para tetangga yang kebetulan lewat. Pendeknya, dia lelaki biasa, seperti umumnya orang kebanyakan.


Suatu hari, seorang teman yang bekerja sebagai wartawan ingin menemuinya. Dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, lengkap dengan foto profil. Si wartawan telah mencoba mendatangi tempat kerja Adityawarman, namun dia diusir oleh sekuriti yang menjaga di sana. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali dia gagal. Kemudian, dia tahu kalau saya mengenal Adityawarman secara pribadi. Jadi dia menemui saya, dengan harapan saya mau menemaninya ke rumah Adityawarman langsung untuk mewawancarainya.


Sebagai teman, saya menemani wartawan itu berkunjung ke rumah Adityawarman, suatu malam. Adityawarman menerima kami dengan ramah, bahkan dia sendiri yang membuat dan mengantarkan minuman untuk kami. Setelah itu, dengan keramahan seorang tuan rumah, Adityawarman bercakap-cakap dengan kami, dengan senyum dan tawanya yang menyenangkan—khas orang kebanyakan.


Setelah cukup mengobrol basa-basi, si wartawan menyatakan tujuannya, bahwa dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, plus mendapatkan foto profil. Dengan suara datar, Adityawarman berkata, “Aku senang berteman dengan siapa pun, termasuk dengan wartawan, sepertimu. Tetapi, aku benar-benar tidak ingin, dan tidak berminat, masuk ke koranmu atau koran mana pun. Aku ingin menjalani kehidupan pribadiku seperti sekarang ini—menjadi orang biasa—dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusiknya.” 

Sebenarnya, saya sudah tahu hasilnya akan seperti itu. Dari dulu, Adityawarman memang tidak pernah mau diwawancarai koran, majalah, televisi, atau media apa pun. Dia tidak menyukai publisitas, khususnya menyangkut pribadi. Kenyataan itulah yang menjadikan sosoknya terkesan misterius bagi sebagian orang. Padahal, bagi orang-orang yang mengenalnya, dia sama sekali tidak misterius. Dia hanya orang biasa yang ingin tetap menjalani kehidupan sebagai orang biasa.   

“Popularitas itu candu,” kata Adityawarman suatu kali. “Sekali kau mendapat popularitas, kau tidak akan bisa melepasnya lagi, bahkan ingin terus menambah dosisnya.”

Saya setuju dengan tesis itu. Jika kita mau memperhatikan, jutaan orang di sekeliling kita melakukan segala upaya demi bisa terkenal. Di dunia maya, misalnya, mereka mengumbar kehidupan dan kesehariannya, memamerkan foto-foto dan aktivitasnya, bahkan sampai ada yang bertingkah konyol dan tak masuk akal demi bisa terkenal. Sementara yang sudah terkenal masih bertingkah aneh-aneh demi mendapat liputan media, disorot kamera, dan agar terus diperbicangkan. 

Popularitas itu candu. Sekali kau mendapatkannya, kau tidak akan bisa melepasnya, bahkan ingin terus menambah dosisnya. Dalam keadaan “sakaw”, orang rela melakukan apa pun demi mengatasi kecanduannya, demi bisa terus populer.

Yang kedua adalah Anita (bukan nama sebenarnya). Dia adalah penulis novel laris. Sejak awal, dia mengaku, dia hanya ingin menulis—sesuatu yang disukainya. Karenanya, ketika novelnya bestseller, dia hanya menganggapnya sebagai bonus. Tak jauh beda dengan Adityawarman, Anita juga menolak untuk tampil di depan publik. Di semua bukunya juga tidak ada foto apa pun. Bukan apa-apa, tetapi semata karena ingin tetap tak dikenal. Dia hanya ingin menulis, bukan ingin terkenal.

Bahkan saat novelnya difilmkan pun, Anita tetap menolak untuk muncul. Pada waktu itu, seperti umumnya penulis lain, Anita juga diburu reporter yang ingin mewawancarai sehubungan novelnya yang akan difilmkan. Tapi Anita tak pernah bersedia. Dia mewanti-wanti penerbitnya untuk tidak memberikan alamat atau nomor ponselnya kepada siapa pun, dan... puji Tuhan, penerbitnya bisa menjaga privasi Anita. 

Salah satu “adat” perfilman di Indonesia adalah menggelar syukuran untuk film yang akan dibuat. Novel Anita yang akan difilmkan juga menjalani “ritual” yang sama. Produser menggelar syukuran, dan biasanya pihak-pihak yang terlibat akan datang untuk ikut merayakan—dari penerbit, penulis, kru film, sampai para artis yang akan memerankan. Tetapi, bahkan dalam acara sepenting itu pun, Anita tetap tidak muncul, padahal dia seharusnya menjadi bintang utama. Jadi, ada beribu-ribu orang yang pernah membaca novel Anita, ada beribu-ribu orang yang telah menonton film yang diadaptasi dari novelnya, tapi beribu-ribu orang itu tidak pernah tahu seperti apa sosok Anita. Satu-satunya profil Anita hanya terdapat pada sebuah majalah kurang terkenal, yang berisi sekilas wawancara dengannya. Belakangan, Anita mengakui, dia mau diwawancarai majalah itu karena si reporter adalah temannya sendiri. “Aku tidak enak jika harus menolak,” dia menceritakan.

Dan seperti apakah sebenarnya sosok Anita?

Saya mengenalnya secara pribadi di kampus tempat saya kuliah dulu, dan di mata saya dia perempuan dengan wujud sempurna. Selebihnya, Anita adalah sosok biasa—bukan artis, bukan selebritas, bukan orang terkenal—hanya perempuan biasa seperti umumnya. Memang benar dia sangat cantik—sosok yang sangat layak untuk menjadi santapan kamera—tapi dia tidak menginginkan. Selfie dan pamer tidak termasuk bagian kesibukannya, karena dia memang tak ingin dikenal.

Kadang, ada orang menyangka Anita sosok yang sombong, atau terkesan eksklusif. Padahal tidak seperti itu kenyataannya. Dia memang menutup diri dari publik, semata karena memang tak ingin dikenal. Sebagai pribadi, dia sosok yang ramah dan asyik, tapi dia ingin dikenal sebagai Anita, sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai sosok terkenal atau semacamnya. Dia tidak menyukai publisitas mengenai dirinya.

Pernah, kami keluyuran di Malioboro, kemudian mampir ke kantin tempat lesehan di sekitaran Malioboro karena kelaparan. Di kantin, Anita dan saya berdesak-desakan dengan banyak orang yang juga akan makan siang. (Kalian yang tahu kondisi Malioboro pasti paham yang saya maksudkan). Hampir bisa dibilang tidak akan ada orang terkenal yang berani makan di sana, karena masing-masing orang saling berdekatan ketika makan. 

Karena kami bukan orang terkenal, kami pun enjoy makan di sana, berdampingan dan berhadapan dengan banyak orang yang juga sedang makan siang. Sehabis makan, saya nyaris tertawa geli. Perempuan yang bersama saya waktu itu adalah sosok yang namanya sangat terkenal, dikagumi banyak orang, yang novelnya dinikmati beribu-ribu pembaca di Indonesia. Tetapi, siang itu, dia duduk menemani saya makan dengan ekspresi santai, sementara orang-orang berlalu-lalang di sekitar kami tanpa mengenalnya sama sekali. 

....
....

Tidak semua orang ingin terkenal. Kenapa kenyataan yang sebenarnya sangat sederhana itu tampak sulit dipahami?. Sekali lagi, hidup ini adalah soal pilihan.

Dunia kita dibangun oleh berbagai hal yang berpasangan. Ada hitam, ada putih. Ada atas, ada bawah. Ada pintar, ada bodoh. Ada kaya, ada miskin. Ada luar, ada dalam. Bahkan ada materi, dan ada antimateri. Karenanya sangat wajar kalau ada orang yang ingin terkenal, dan ada pula orang yang tidak ingin terkenal. Jadi, kenapa kenyataan yang sangat sederhana itu sepertinya sulit dimengerti?

Kita, tampaknya, terlalu terbiasa dengan orang-orang yang ingin terkenal. Sebegitu terbiasa, hingga kita merasa asing saat mendapati ada orang yang sebaliknya. Kita mungkin telah terbiasa dengan orang-orang yang sibuk pamer apa pun dengan heboh. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit menerima ada orang yang memilih untuk menyepi dan menyisih. Kita mungkin terlalu terbiasa dengan aktivitas selfie, unjuk diri, dan hal-hal konyol para selebriti. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit memahami saat ada orang yang justru menjauh dari publikasi.

Sebagian orang ingin terkenal—tidak masalah, itu hak dan pilihan setiap orang. Namun, jangan lupa, sebagian orang yang lain juga memiliki hak yang sama, misalnya memilih untuk tidak dikenal. Karena sekali lagi, hidup ini adalah pilihan.