Nurani itu seperti baja. Semakin digunakan, ia makin berkilat.
Didiamkan dan dilupakan, ia pun berkarat.
—bayukacrut
Didiamkan dan dilupakan, ia pun berkarat.
—bayukacrut
Saya masih kelas 3 SMP ketika peristiwa yang menyakitkan itu
terjadi. Minggu siang itu saya masih tertidur, karena malamnya ngobrol
dengan teman-teman hingga pagi. Tidur saya dibangunkan oleh dering telepon. Saat saya menerimanya, suara pacar saya segera menerpa telinga.
“Masih tidur, ya?” sapanya dengan halus, setelah mendengar suara saya yang mungkin lesu. “Kita jadi ketemuan?”
Malam
tadi saya tidak apel ke tempatnya, dan menjanjikan untuk bertemu Minggu
siang. Jadi, saat dia menelepon, saya pun segera menjawab, “Ya, habis
ini aku ke tempatmu.” Dan menambahkan, “I miss you.”
Lalu saya
pun segera bangkit dari tempat tidur, mandi, dan membuat teh hangat
dengan buru-buru. Setelah itu mengeluarkan motor, dan melaju cepat ke
rumah pacar. Ketika sedang ngebut di jalanan itulah, kecelakaan yang
naas terjadi.
Waktu itu saya melaju di jalan satu arah, dan tepat
berada di belakang bus yang melaju kencang. Speedometer di motor saya
menunjukkan kecepatan 110 kilometer per jam. Aspal tampak mulus, hingga
saya tidak sempat berpikir macam-macam. Sampai kemudian, sebuah lubang
menganga tiba-tiba muncul di depan, dan saya tidak mampu menghindar
akibat terkejut.
Bus yang ada di depan saya tidak terganggu
adanya lubang di jalan itu, karena posisi lubang ada di tengah badan
bus. Tapi motor saya tepat berada pada posisi lurus lubang tersebut, dan
saya tidak mampu menghentikan atau membelokkan motor karena sedang
melaju sangat cepat. Sekuat tenaga saya mengerem kecepatan untuk
mengurangi dampak yang akan terjadi, tapi tetap saja motor saya masih
melaju cepat ke arah lubang itu.
Akibatnya adalah bencana.
Lubang
di jalan itu cukup dalam. Ketika motor saya sampai ke lubang itu, ban
depan segera masuk ke dalam lubang, dan motor langsung terbanting ke
aspal. Karena mesin sedang melaju cepat, motor itu lalu menyeret tubuh
saya di atas aspal, mungkin sampai sepuluh meter, dan saya merasa
sedang syuting film action.
Saya ditolong beberapa orang yang
kebetulan ada di tempat itu, dengan tubuh berdarah-darah. Sekujur tubuh
terasa sakit, tapi yang paling terasa ada di bagian kaki. Lutut serasa
tak mau digerakkan. Terus terang, itu bukan kecelakaan pertama yang saya
alami. Dua tahun sebelumnya, saya mengalami kecelakaan yang jauh lebih
parah, sehingga cukup “berpengalaman” jika mengalami kejadian seperti
itu.
Motor saya tidak bisa dikendarai, bagian depannya hancur.
Sementara saya juga tidak bisa mengandalkan orang-orang di sana untuk
mengurus saya. Maka saya pun segera menelepon seorang teman, yang segera
datang membawa pick up. Motor saya diangkut ke rumah, dan saya mampir
ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Diagnosis awal, bagian tangan saya mengalami kerusakan parah, akibat terseret di aspal, selain
luka-luka di bagian lain. Kelak, saya butuh waktu satu tahun untuk bisa
sembuh seperti sedia kala.
Setiap kali mengingat peristiwa itu,
yang masih terasa menyakitkan bukan hanya ingatan bagaimana saya
menjalani hari-hari dengan tangan yang di gips, atau ketika
merasakan perih luka-luka yang lama sembuh. Yang paling terasa nyeri
dalam ingatan saya adalah fakta bahwa ternyata ada orang-orang yang
sengaja membiarkan lubang ada di jalan.
Ketika kecelakaan itu
terjadi, dan saya diangkat orang-orang ke pinggir jalan, beberapa orang
tersebut ada yang menceritakan bahwa saya bukan orang pertama yang
mengalami kecelakaan akibat lubang itu. Sebelum saya terjatuh akibat
lubang tersebut, telah ada beberapa pengendara motor lain yang mengalami
hal sama. Seseorang bahkan dengan antusias bercerita, “Tiga hari lalu
juga ada motor yang jatuh, Mas. Dua orang, boncengan. Malah lukanya
lebih parah dibanding situ.”
Waktu itu saya sempat menyahut,
“Kenapa tidak ada yang mau menimbun lubang itu dengan batu atau tanah,
untuk mengurangi kecelakaan?”
Dan dia menyatakan, “Wah, itu sih bukan tugas kami.”
Jadi,
di dunia ini ada orang-orang yang menyaksikan kecelakaan terus terjadi
akibat sebuah lubang di jalan, dan mereka tidak mau berusaha mengatasi
hal itu karena berpikir itu bukan tugas mereka. Itu sangat terasa nyeri
bagi saya, khususnya karena saya salah satu korban akibat lubang
tersebut. Gara-gara lubang itu, saya harus menghabiskan waktu satu tahun
untuk merasakan sakit yang sebenarnya tidak perlu terjadi, kalau saja
ada orang yang mau peduli untuk menimbun lubang itu.
Tapi rupanya
mereka berpikir bahwa itu bukan urusan mereka. Karena mereka tidak
mengalami kecelakaan yang sama. Karena memperbaiki jalan yang rusak
bukan tugas mereka. Karena menyaksikan orang-orang terjatuh akibat
lubang itu tetap saja tidak mampu mengetuk nurani dan kepedulian mereka
terhadap sesama.
Salah satu kesalahan bahkan kerusakan pola pikir
manusia modern adalah mempertanyakan apa manfaat yang bisa diterimanya
jika melakukan sesuatu. Itu pula yang membedakan orang biasa dengan
pahlawan. Setiap kali melakukan sesuatu, orang biasa berpikir, “Apa
manfaatnya ini bagiku?” Sementara pahlawan berpikir, “Apa manfaatnya ini
bagi orang lain?”
Tanpa kita sadari, kita telah terdoktrin untuk
selalu, selalu, selalu, mempertanyakan apa manfaat yang akan kita
peroleh jika melakukan sesuatu. Sebegitu kuat doktrinasi itu, hingga
kita kadang-kadang kehilangan nurani dan kepedulian terhadap sesama.
Setiap kali akan berbuat sesuatu untuk dunia, kita berpikir, “Apa
manfaatnya ini bagiku?” Jika kita merasa mendapatkan manfaat, kita mau
melakukan. Jika tidak, kita pun enggan melakukannya.
Sekali lagi, itulah perbedaan pola pikir antara orang biasa dengan pahlawan.
Ketika Batman
mengenakan jubah dan topengnya, lalu memerangi kejahatan di Gotham
City, dia tidak berpikir apa manfaatnya bagi diri sendiri, tapi berpikir
apa manfaatnya bagi orang lain. Ketika Spiderman bergelantungan di atas
gedung-gedung tinggi demi mengejar penjahat, dia tidak berpikir apa
manfaatnya bagi diri sendiri, tapi apa manfaatnya bagi orang lain.
Ketika Superman
terbang ke sana kemari, menolong orang-orang yang membutuhkan, dia juga
tidak berpikir apa manfaatnya bagi diri sendiri, tapi apa manfaatnya
bagi orang lain.
Itulah yang membedakan pola pikir orang biasa
dengan pahlawan. Orang biasa berpikir manfaat bagi diri sendiri,
pahlawan berpikir manfaat bagi orang lain. Orang biasa berorientasi pada
keuntungan pribadi, pahlawan berorientasi pada kemaslahatan orang lain.
Tentu
saja kita bukan Batman, Spiderman atau Superman. Tetapi kita sama-sama
memiliki sesuatu yang mereka miliki. Yakni nurani. Yang membedakan, para
pahlawan menghidupkan nuraninya, sementara orang biasa cenderung
mematikan nuraninya sendiri. Para pahlawan memiliki kepedulian besar
pada sesamanya, orang biasa memiliki kepedulian besar bagi dirinya
sendiri. Para pahlawan berfokus memberi manfaat bagi orang lain, orang
biasa hanya memikirkan keuntungan diri sendiri.
Dalam perjalanan
hidup, ada banyak waktu ketika kita seharusnya berpikir apa manfaat bagi
orang lain, tapi justru berpikir apa manfaat bagi diri sendiri. Untuk
menjadi pahlawan, kita tidak perlu peralatan canggih seperti Batman,
tidak perlu bisa terbang seperti Superman, juga tidak perlu digigit
laba-laba ajaib seperti Spiderman. Ada banyak cara untuk menjadi
pahlawan. Salah satunya adalah menutup lubang di jalan, agar orang lain
bisa selamat dalam perjalanan.