2013-07-26
2013-07-20
Kasus Laptop Yang Aneh
Nggak tahan gelisah, akhirnya keluar kamar,
bikin minum, ngerokok, nyalain laptop, buka Twitter,
dan nge-tweet curhat nggak jelas ini.
—@bayukacrut
bikin minum, ngerokok, nyalain laptop, buka Twitter,
dan nge-tweet curhat nggak jelas ini.
—@bayukacrut
Ini pengalaman pribadi yang ingin saya bagikan kepada kalian, agar lebih
berhati-hati dalam berurusan dengan laptop, agar tidak mengalami
masalah misterius—dan menjengkelkan—seperti yang saya alami waktu itu.
Sebenarnya, saya ingin sekali menyebutkan merek laptop bermasalah yang menjadi pangkal cerita ini, juga nama toko tempat saya membelinya. Namun, saya telah mengirim e-mail permintaan klarifikasi kepada perusahaan laptop bersangkutan, dan mereka telah menjawab serta berusaha memberikan penjelasan sehubungan dengan laptop saya yang bermasalah—meski penjelasan mereka belum tuntas. Karenanya, untuk menghargai itikad baik itu, saya tidak akan menyebut identitas apa pun dalam catatan ini.
....
....
Sebenarnya, saya ingin sekali menyebutkan merek laptop bermasalah yang menjadi pangkal cerita ini, juga nama toko tempat saya membelinya. Namun, saya telah mengirim e-mail permintaan klarifikasi kepada perusahaan laptop bersangkutan, dan mereka telah menjawab serta berusaha memberikan penjelasan sehubungan dengan laptop saya yang bermasalah—meski penjelasan mereka belum tuntas. Karenanya, untuk menghargai itikad baik itu, saya tidak akan menyebut identitas apa pun dalam catatan ini.
....
....
Sekitar enam tahun yang lalu, pada
Agustus 2007, saya membeli laptop baru, dengan garansi satu tahun.
Semenjak membelinya, laptop itu baik-baik saja, dan saya pun senang
menggunakannya. Sampai kemudian, pada bulan April 2008, laptop itu
mulai mengalami masalah. Setiap kali saya mengetik, huruf yang keluar di
layar tidak sesuai dengan tombol yang saya tekan.
Saya cukup tahu, masalah itu ditimbulkan oleh keyboard. Karena masih garansi, saya pun membawa laptop itu ke toko tempat saya membelinya. Pihak toko menerima laptop itu, dan dua hari kemudian laptop saya dinyatakan sudah beres. Saya pun mengambilnya kembali, membawa laptop ke rumah, dan sejak itulah saya merasa ada yang tidak beres.
Sejak itu, saya merasakan kinerja laptop saya berbeda. Jika dulu booting-nya sangat cepat, sekarang jadi lambat. Jika dulu loading programnya bisa dibilang seketika, sekarang tidak secepat sebelumnya. Perbedaan itu sangat terasa, khususnya bagi saya yang telah terbiasa bekerja dengan laptop.
Tapi masalah rupanya belum selesai. Dua hari setelah itu, laptop itu kembali menunjukkan masalah yang sama. Setiap kali saya mengetik, huruf yang muncul tidak sesuai dengan tombol yang saya tekan. Lagi-lagi keyboard-nya yang eror. Maka saya pun kembali membawa laptop itu ke toko tempat saya membelinya.
Ketika sampai di toko, saya ditanya masalahnya apa lagi. Saya jelaskan, masalahnya sama seperti kemarin, yakni keyboard yang eror, dan kinerja laptop yang entah kenapa sekarang jadi lambat. Pihak toko menerima laptop itu, dan kali ini saya harus menunggu sampai satu bulan lebih. Saya serahkan pada 2 Mei 2008, dan laptop itu baru bisa saya terima pada 12 Juni 2008.
Pada waktu saya coba, keyboard-nya sudah beres. Tapi booting-nya masih lambat seperti semula, dan loading programnya juga tidak secepat dulu. Yang lebih menjengkelkan lagi, laptop saya telah diinstal ulang, kemudian di dalamnya dibenamkan aneka macam software dan berbagai macam game yang tidak saya minta, bahkan tidak saya butuhkan.
Perlu saya jelaskan di sini, laptop yang saya beli ini bukan laptop murahan. Dalam sebuah survai di majalah komputer, laptop ini menempati peringkat kedua sebagai laptop terawet, dan karena itu pula saya tertarik membelinya. Dalam satu iklan live-nya, perusahaan laptop ini bahkan mengundang artis terkenal untuk menginjak-injak laptop tersebut, untuk menunjukkan betapa hebatnya kualitas laptop itu. Oh, well, sekarang kalian mulai paham laptop apa yang saya maksudkan.
Dan sekarang laptop yang diklaim hebat dan awet itu ternyata tidak sehebat iklannya. Sejak itu pula, saya mulai malas menggunakan laptop itu, karena rasanya seperti menggunakan barang murahan yang tak berkualitas. Satu-satunya alasan mengapa orang mau membayar mahal untuk sebuah mainan, karena mainan itu asyik dimainkan. Saya telah membayar mahal laptop itu, tapi ternyata kualitasnya sangat menjengkelkan, tidak sesuai dengan harganya.
Sampai suatu hari, karena terpaksa, saya kembali menggunakan laptop itu untuk mengetik sesuatu, dan masalah keparat yang sama terulang kembali. Keyboard-nya eror lagi! Huruf yang muncul di layar berbeda lagi dengan tombol keyboard yang saya tekan. Demi Tuhan, laptop macam apa sebenarnya yang saya beli ini?
Jadi, pada 22 Juni 2008 , saya pun dengan dongkol kembali membawa laptop itu ke toko tempat membelinya, dan meminta agar dibereskan lagi. Dengan dongkol pula saya komplain kepada petugas servis di sana, kenapa masalah keyboard itu terus terulang lagi. Petugas servis di toko menawari, apakah laptop saya akan ditinggal, atau ditunggu. Saya memilih untuk menunggu.
Petugas servis di toko bertanya, apakah masalahnya cuma pada keyboard, atau juga pada harddisk-nya. Pertanyaan itu seperti menyiramkan bensin ke api. Karena masih memendam kedongkolan, saya pun langsung menjawab dengan jengkel, “Masalah laptop saya cuma di keyboard, jadi tolong jangan sentuh sedikit pun harddisk-nya!”
Kemudian, masih dengan jengkel, saya bertanya kepadanya, kenapa kinerja laptop saya bisa berubah, padahal masalahnya cuma pada keyboard? Petugas itu menjawab, bahwa pihak toko hanya memperantarai saja. Artinya, ketika laptop saya dibawa ke sana untuk dibetulkan, pihak toko membawanya ke layanan servis pusat perusahaan laptop tersebut. Praktisnya, dia ingin bilang, pihaknya (pihak toko) tidak tahu menahu mengenai masalah kinerja laptop saya.
Setelah itu, di hadapan saya, petugas servis di toko membetulkan keyboard laptop yang bermasalah itu. Ternyata sangat mudah, bahkan sepele. Yang ia lakukan hanya mencungkil tombol yang bermasalah, membersihkannya, kemudian memasangnya kembali. Waktu yang dibutuhkan hanya beberapa menit. Setelah itu saya diminta mencoba, dan saya lihat laptop itu sudah beres kembali. Setelah yakin laptop itu benar-benar sudah oke, saya pun membawanya pulang.
Sampai hari ini, laptop itu masih baik-baik saja.
Oke, sekarang kita lihat kembali kasus laptop ini dari awal, dan mari kita analisis untuk memperkirakan apa sebenarnya yang telah terjadi.
Ketika pertama kali laptop saya bermasalah, masalahnya hanya pada keyboard, sama sekali tidak berhubungan dengan harddisk atau mesin apa pun di dalam bodi laptop. Seperti kita lihat pada penjelasan di atas, cara membetulkan masalah itu sangat mudah, bahkan sepele, yaitu mencungkil bagian keyboard yang bermasalah, membersihkannya, kemudian memasangkannya lagi. Selesai. Tanpa bongkar mesin, tanpa instal ulang.
Pertanyaannya, ketika dulu pertama kali saya membawa laptop itu ke toko untuk dibereskan keyboard-nya, kenapa hasilnya berefek pada kinerja laptop? Saya bukan pakar laptop, tapi saya cukup tahu bahwa kinerja laptop (kecepatan booting dan loading) sama sekali tidak berhubungan dengan keyboard. Jadi, kalau laptop saya semula hanya bermasalah pada keyboard, kenapa efek perbaikannya bisa membuat kinerja laptop melambat?
Itu pertanyaan paling krusial menyangkut keanehan yang terjadi pada laptop saya. Pertanyaan lain, ketika saya membawa laptop itu kedua kalinya ke toko karena keyboard-nya bermasalah lagi, kenapa harddisk laptop saya diinstal ulang dan diisi aneka macam software serta game yang sama sekali tidak saya minta dan tidak saya butuhkan?
Petugas servis di toko tadi menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal itu, karena pengurusan servis laptop itu mereka serahkan pada layanan servis pusat, dan pihak toko hanya mengantarkan. Artinya, saya tidak bisa mempertanyakan apa pun kepadanya mengenai keadaan/perubahan laptop saya.
Karena butuh klarifikasi, saya pun mengirimkan e-mail kepada customer service perusahaan laptop tersebut, untuk meminta jawaban serta penjelasan tentang apa sebenarnya yang telah terjadi pada laptop saya. Sejak awal saya sudah menjelaskan kepada si customer service, bahwa saya akan menuliskan masalah ini di blog, sehingga jawaban apa pun yang diberikannya akan saya gunakan dalam catatan yang saya tulis.
Customer service perusahaan laptop itu butuh waktu lama sekali untuk menjawab e-mail saya, dan jawabannya tidak terlalu memuaskan. Dalam beberapa kali komunikasi via e-mail, mereka memberikan jawaban dan penjelasan yang serba singkat. Di akhir komunikasi, customer service itu menjanjikan, “Saat ini kami masih menunggu informasi lebih detail lagi dari pihak Xxxxx Xxx” (pihak yang menangani laptop saya). Namun, sampai saya menulis catatan ini, mereka belum menghubungi lagi.
Jadi, kawan-kawan, menurut kalian, kira-kira apa yang telah terjadi dengan laptop saya?
Sekarang saya akan menceritakan kasus yang sama anehnya menyangkut laptop, yang pernah menimpa salah satu kawan saya. Satu tahun sebelum saya membeli laptop yang saya ceritakan di atas, Farid—teman saya—membeli sebuah laptop baru (mereknya beda dengan laptop yang saya beli, dan toko tempatnya membeli juga beda).
Setelah membeli laptop tersebut, Farid merasakan baterai laptopnya bermasalah. Dalam brosur, baterai laptop itu disebutkan bisa bertahan hingga empat jam, sementara baterai laptop yang dibeli Farid hanya mampu bertahan maksimal satu jam. Farid pun berkesimpulan baterai laptopnya bermasalah.
Sebenarnya, Farid punya famili yang memiliki usaha servis laptop. Namun, karena laptopnya masih bergaransi, Farid pun membawa laptopnya ke toko tempat ia membeli untuk mengadukan masalah baterainya. Petugas di toko meminta laptop itu ditinggal, dengan alasan mereka perlu memeriksa baterai laptop tersebut. Maka Farid pun meninggalkan laptopnya di sana.
Satu minggu kemudian, laptop Farid sudah beres, baterainya telah diganti. Farid pun membawa pulang laptop itu, dan tidak ada masalah. Baterainya sudah beres, dan bisa bertahan hingga empat jam sebagaimana yang tertera di brosurnya.
Sampai suatu malam, Farid bekerja menggunakan laptop itu di kamarnya. Seusai kerja, karena mengantuk, Farid mematikan laptopnya, kemudian menaruh laptop itu di lantai kamar, tepat di bawah tempat tidurnya.
Saat terbangun keesokan harinya, Farid tidak ingat dia meletakkan laptop di sana. Jadi, dalam keadaan masih mengantuk, dia pun spontan menjejakkan kakinya di lantai kamar, dan tanpa sadar menginjak laptopnya. Hanya butuh waktu beberapa detik bagi Farid untuk mendengar suara “kraaaak!” yang sangat menyakitkan, dan seketika itu juga Farid menyadari dia telah menghancurkan laptopnya.
Kantuknya hilang seketika. Dengan sangat menyesal, Farid mendapati casing laptopnya retak, dan LCD-nya hancur. Itu kerusakan yang tidak termasuk dalam garansi. Untuk membereskan laptop itu, Farid pun membawa ke tempat familinya yang punya usaha servis laptop. Dan di sanalah kemudian sesuatu yang sangat aneh mulai terkuak.
Ketika laptop Farid mulai dibongkar untuk dibereskan, famili Farid mendapati harddisk dan beberapa onderdil laptop itu sudah tidak orisinal. Farid terkejut mendapati hal itu, karena seingatnya laptop miliknya belum pernah dibongkar sama sekali. Satu-satunya waktu ketika laptop itu terlepas darinya hanya ketika ia serahkan ke pihak toko untuk diganti baterainya, tak lama setelah ia membeli.
Jadi, bagaimana bisa mesin laptop milik Farid sudah tidak orisinal, padahal itu laptop baru, yang bahkan baru beberapa bulan ia beli? Farid mencoba menanyakan hal itu pada toko tempatnya membeli, tapi pihak toko tidak memberi jawaban memuaskan. Yang jelas, satu fakta telah terkuak di sini, yaitu ada oknum—entah oknum di toko atau oknum di layanan servis perusahaan laptop tersebut—yang telah mengganti mesin laptop milik Farid, ketika laptop itu dibawa ke sana untuk diganti baterainya.
Nah, ketika saya mengalami kasus aneh sehubungan dengan laptop (sebagaimana yang saya ceritakan di atas), mau tak mau ingatan saya tertuju pada kasus yang menimpa Farid. Kasus yang sama misteriusnya—kasus tentang laptop mahal yang ternyata menyimpan misteri di dalamnya.
In the end, sebagian dari kalian pasti memiliki laptop. Terlepas dari masalah yang saya ceritakan, saya harap kisah ini bisa kalian ambil hikmahnya.
Saya cukup tahu, masalah itu ditimbulkan oleh keyboard. Karena masih garansi, saya pun membawa laptop itu ke toko tempat saya membelinya. Pihak toko menerima laptop itu, dan dua hari kemudian laptop saya dinyatakan sudah beres. Saya pun mengambilnya kembali, membawa laptop ke rumah, dan sejak itulah saya merasa ada yang tidak beres.
Sejak itu, saya merasakan kinerja laptop saya berbeda. Jika dulu booting-nya sangat cepat, sekarang jadi lambat. Jika dulu loading programnya bisa dibilang seketika, sekarang tidak secepat sebelumnya. Perbedaan itu sangat terasa, khususnya bagi saya yang telah terbiasa bekerja dengan laptop.
Tapi masalah rupanya belum selesai. Dua hari setelah itu, laptop itu kembali menunjukkan masalah yang sama. Setiap kali saya mengetik, huruf yang muncul tidak sesuai dengan tombol yang saya tekan. Lagi-lagi keyboard-nya yang eror. Maka saya pun kembali membawa laptop itu ke toko tempat saya membelinya.
Ketika sampai di toko, saya ditanya masalahnya apa lagi. Saya jelaskan, masalahnya sama seperti kemarin, yakni keyboard yang eror, dan kinerja laptop yang entah kenapa sekarang jadi lambat. Pihak toko menerima laptop itu, dan kali ini saya harus menunggu sampai satu bulan lebih. Saya serahkan pada 2 Mei 2008, dan laptop itu baru bisa saya terima pada 12 Juni 2008.
Pada waktu saya coba, keyboard-nya sudah beres. Tapi booting-nya masih lambat seperti semula, dan loading programnya juga tidak secepat dulu. Yang lebih menjengkelkan lagi, laptop saya telah diinstal ulang, kemudian di dalamnya dibenamkan aneka macam software dan berbagai macam game yang tidak saya minta, bahkan tidak saya butuhkan.
Perlu saya jelaskan di sini, laptop yang saya beli ini bukan laptop murahan. Dalam sebuah survai di majalah komputer, laptop ini menempati peringkat kedua sebagai laptop terawet, dan karena itu pula saya tertarik membelinya. Dalam satu iklan live-nya, perusahaan laptop ini bahkan mengundang artis terkenal untuk menginjak-injak laptop tersebut, untuk menunjukkan betapa hebatnya kualitas laptop itu. Oh, well, sekarang kalian mulai paham laptop apa yang saya maksudkan.
Dan sekarang laptop yang diklaim hebat dan awet itu ternyata tidak sehebat iklannya. Sejak itu pula, saya mulai malas menggunakan laptop itu, karena rasanya seperti menggunakan barang murahan yang tak berkualitas. Satu-satunya alasan mengapa orang mau membayar mahal untuk sebuah mainan, karena mainan itu asyik dimainkan. Saya telah membayar mahal laptop itu, tapi ternyata kualitasnya sangat menjengkelkan, tidak sesuai dengan harganya.
Sampai suatu hari, karena terpaksa, saya kembali menggunakan laptop itu untuk mengetik sesuatu, dan masalah keparat yang sama terulang kembali. Keyboard-nya eror lagi! Huruf yang muncul di layar berbeda lagi dengan tombol keyboard yang saya tekan. Demi Tuhan, laptop macam apa sebenarnya yang saya beli ini?
Jadi, pada 22 Juni 2008 , saya pun dengan dongkol kembali membawa laptop itu ke toko tempat membelinya, dan meminta agar dibereskan lagi. Dengan dongkol pula saya komplain kepada petugas servis di sana, kenapa masalah keyboard itu terus terulang lagi. Petugas servis di toko menawari, apakah laptop saya akan ditinggal, atau ditunggu. Saya memilih untuk menunggu.
Petugas servis di toko bertanya, apakah masalahnya cuma pada keyboard, atau juga pada harddisk-nya. Pertanyaan itu seperti menyiramkan bensin ke api. Karena masih memendam kedongkolan, saya pun langsung menjawab dengan jengkel, “Masalah laptop saya cuma di keyboard, jadi tolong jangan sentuh sedikit pun harddisk-nya!”
Kemudian, masih dengan jengkel, saya bertanya kepadanya, kenapa kinerja laptop saya bisa berubah, padahal masalahnya cuma pada keyboard? Petugas itu menjawab, bahwa pihak toko hanya memperantarai saja. Artinya, ketika laptop saya dibawa ke sana untuk dibetulkan, pihak toko membawanya ke layanan servis pusat perusahaan laptop tersebut. Praktisnya, dia ingin bilang, pihaknya (pihak toko) tidak tahu menahu mengenai masalah kinerja laptop saya.
Setelah itu, di hadapan saya, petugas servis di toko membetulkan keyboard laptop yang bermasalah itu. Ternyata sangat mudah, bahkan sepele. Yang ia lakukan hanya mencungkil tombol yang bermasalah, membersihkannya, kemudian memasangnya kembali. Waktu yang dibutuhkan hanya beberapa menit. Setelah itu saya diminta mencoba, dan saya lihat laptop itu sudah beres kembali. Setelah yakin laptop itu benar-benar sudah oke, saya pun membawanya pulang.
Sampai hari ini, laptop itu masih baik-baik saja.
Oke, sekarang kita lihat kembali kasus laptop ini dari awal, dan mari kita analisis untuk memperkirakan apa sebenarnya yang telah terjadi.
Ketika pertama kali laptop saya bermasalah, masalahnya hanya pada keyboard, sama sekali tidak berhubungan dengan harddisk atau mesin apa pun di dalam bodi laptop. Seperti kita lihat pada penjelasan di atas, cara membetulkan masalah itu sangat mudah, bahkan sepele, yaitu mencungkil bagian keyboard yang bermasalah, membersihkannya, kemudian memasangkannya lagi. Selesai. Tanpa bongkar mesin, tanpa instal ulang.
Pertanyaannya, ketika dulu pertama kali saya membawa laptop itu ke toko untuk dibereskan keyboard-nya, kenapa hasilnya berefek pada kinerja laptop? Saya bukan pakar laptop, tapi saya cukup tahu bahwa kinerja laptop (kecepatan booting dan loading) sama sekali tidak berhubungan dengan keyboard. Jadi, kalau laptop saya semula hanya bermasalah pada keyboard, kenapa efek perbaikannya bisa membuat kinerja laptop melambat?
Itu pertanyaan paling krusial menyangkut keanehan yang terjadi pada laptop saya. Pertanyaan lain, ketika saya membawa laptop itu kedua kalinya ke toko karena keyboard-nya bermasalah lagi, kenapa harddisk laptop saya diinstal ulang dan diisi aneka macam software serta game yang sama sekali tidak saya minta dan tidak saya butuhkan?
Petugas servis di toko tadi menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal itu, karena pengurusan servis laptop itu mereka serahkan pada layanan servis pusat, dan pihak toko hanya mengantarkan. Artinya, saya tidak bisa mempertanyakan apa pun kepadanya mengenai keadaan/perubahan laptop saya.
Karena butuh klarifikasi, saya pun mengirimkan e-mail kepada customer service perusahaan laptop tersebut, untuk meminta jawaban serta penjelasan tentang apa sebenarnya yang telah terjadi pada laptop saya. Sejak awal saya sudah menjelaskan kepada si customer service, bahwa saya akan menuliskan masalah ini di blog, sehingga jawaban apa pun yang diberikannya akan saya gunakan dalam catatan yang saya tulis.
Customer service perusahaan laptop itu butuh waktu lama sekali untuk menjawab e-mail saya, dan jawabannya tidak terlalu memuaskan. Dalam beberapa kali komunikasi via e-mail, mereka memberikan jawaban dan penjelasan yang serba singkat. Di akhir komunikasi, customer service itu menjanjikan, “Saat ini kami masih menunggu informasi lebih detail lagi dari pihak Xxxxx Xxx” (pihak yang menangani laptop saya). Namun, sampai saya menulis catatan ini, mereka belum menghubungi lagi.
Jadi, kawan-kawan, menurut kalian, kira-kira apa yang telah terjadi dengan laptop saya?
Sekarang saya akan menceritakan kasus yang sama anehnya menyangkut laptop, yang pernah menimpa salah satu kawan saya. Satu tahun sebelum saya membeli laptop yang saya ceritakan di atas, Farid—teman saya—membeli sebuah laptop baru (mereknya beda dengan laptop yang saya beli, dan toko tempatnya membeli juga beda).
Setelah membeli laptop tersebut, Farid merasakan baterai laptopnya bermasalah. Dalam brosur, baterai laptop itu disebutkan bisa bertahan hingga empat jam, sementara baterai laptop yang dibeli Farid hanya mampu bertahan maksimal satu jam. Farid pun berkesimpulan baterai laptopnya bermasalah.
Sebenarnya, Farid punya famili yang memiliki usaha servis laptop. Namun, karena laptopnya masih bergaransi, Farid pun membawa laptopnya ke toko tempat ia membeli untuk mengadukan masalah baterainya. Petugas di toko meminta laptop itu ditinggal, dengan alasan mereka perlu memeriksa baterai laptop tersebut. Maka Farid pun meninggalkan laptopnya di sana.
Satu minggu kemudian, laptop Farid sudah beres, baterainya telah diganti. Farid pun membawa pulang laptop itu, dan tidak ada masalah. Baterainya sudah beres, dan bisa bertahan hingga empat jam sebagaimana yang tertera di brosurnya.
Sampai suatu malam, Farid bekerja menggunakan laptop itu di kamarnya. Seusai kerja, karena mengantuk, Farid mematikan laptopnya, kemudian menaruh laptop itu di lantai kamar, tepat di bawah tempat tidurnya.
Saat terbangun keesokan harinya, Farid tidak ingat dia meletakkan laptop di sana. Jadi, dalam keadaan masih mengantuk, dia pun spontan menjejakkan kakinya di lantai kamar, dan tanpa sadar menginjak laptopnya. Hanya butuh waktu beberapa detik bagi Farid untuk mendengar suara “kraaaak!” yang sangat menyakitkan, dan seketika itu juga Farid menyadari dia telah menghancurkan laptopnya.
Kantuknya hilang seketika. Dengan sangat menyesal, Farid mendapati casing laptopnya retak, dan LCD-nya hancur. Itu kerusakan yang tidak termasuk dalam garansi. Untuk membereskan laptop itu, Farid pun membawa ke tempat familinya yang punya usaha servis laptop. Dan di sanalah kemudian sesuatu yang sangat aneh mulai terkuak.
Ketika laptop Farid mulai dibongkar untuk dibereskan, famili Farid mendapati harddisk dan beberapa onderdil laptop itu sudah tidak orisinal. Farid terkejut mendapati hal itu, karena seingatnya laptop miliknya belum pernah dibongkar sama sekali. Satu-satunya waktu ketika laptop itu terlepas darinya hanya ketika ia serahkan ke pihak toko untuk diganti baterainya, tak lama setelah ia membeli.
Jadi, bagaimana bisa mesin laptop milik Farid sudah tidak orisinal, padahal itu laptop baru, yang bahkan baru beberapa bulan ia beli? Farid mencoba menanyakan hal itu pada toko tempatnya membeli, tapi pihak toko tidak memberi jawaban memuaskan. Yang jelas, satu fakta telah terkuak di sini, yaitu ada oknum—entah oknum di toko atau oknum di layanan servis perusahaan laptop tersebut—yang telah mengganti mesin laptop milik Farid, ketika laptop itu dibawa ke sana untuk diganti baterainya.
Nah, ketika saya mengalami kasus aneh sehubungan dengan laptop (sebagaimana yang saya ceritakan di atas), mau tak mau ingatan saya tertuju pada kasus yang menimpa Farid. Kasus yang sama misteriusnya—kasus tentang laptop mahal yang ternyata menyimpan misteri di dalamnya.
In the end, sebagian dari kalian pasti memiliki laptop. Terlepas dari masalah yang saya ceritakan, saya harap kisah ini bisa kalian ambil hikmahnya.
2013-07-13
By The Way...
Yang paling mengerikan bukan kesalahan atau kekeliruan.
Yang mengerikan adalah kedangkalan dalam memahami kebenaran—pikiran yang dangkal sehingga mudah menyalahkan.
Yang mengerikan adalah kedangkalan dalam memahami kebenaran—pikiran yang dangkal sehingga mudah menyalahkan.
Gibran, Sang Lajang
Rahasiakanlah dirimu, Cintaku.
—Kahlil Gibran
Kahlil
Gibran seorang pria romantis, meski dia tak menikah sampai mati.
Sepanjang hidupnya, ada tiga wanita yang sangat dicintai Gibran, yaitu
Wardah al-Hani, Mary Hasskel, dan May Ziadah.
Dengan ketiga wanita itu, Gibran menjalin hubungan yang unik, sekaligus misterius. Di antara ketiganya pula, publik hanya mengenal Mary Hasskel—sedang keberadaan Wardah al-Hani dan May Ziadah tak pernah terungkap ke publik, hingga akhir hayat Gibran.
Nama Wardah al-Hani pertama kali dikenal publik ketika Gibran menuliskannya dalam sebuah prosa. Meski Gibran tidak pernah menyatakan bahwa Wardah al-Hani adalah tokoh nyata, tetapi penggambaran Gibran atas wanita itu dalam kisahnya membuat para pembacanya meyakini kalau wanita itu benar-benar ada.
Lebih dari itu, para pemuja Gibran bahkan meyakini bahwa Wardah al-Hani inilah cinta pertama Gibran—cinta dengan akhir sad ending yang kelak menjadikan Gibran seperti tak bisa jatuh cinta lagi. Sampai akhir hayatnya, Gibran tak pernah mengkonfirmasi keberadaan atau siapa sesungguhnya Wardah al-Hani, tetapi publik pecintanya tetap yakin bahwa dia wanita yang menjadi cinta pertama Gibran.
Yang kedua, May Ziadah, adalah wanita yang mampu membuat Gibran jatuh cinta, tetapi publik juga tak pernah tahu siapa sesungguhnya wanita ini. Jangankan orang lain, bahkan Gibran sendiri tidak tahu seperti apa wanita itu.
Awal hubungan Gibran dengan May Ziadah adalah ketika May mengirim surat kepada Gibran, karena terpesona dengan karya-karya Gibran. Karena isi surat May yang istimewa, Gibran pun membalasnya—dan setelah itu keduanya rajin berkirim surat, sampai beberapa tahun. Di dalam surat-surat itulah, keduanya saling menyatakan cinta, dan Gibran bahkan menyebut surat-surat May sebagai “nyala api biru di hatiku”.
Ketika Gibran wafat, keluarganya menemukan tumpukan surat-surat itu, lalu berusaha melacak ke alamat May Ziadah. Surat-surat Gibran di tempat May Ziadah juga masih terkumpul rapi—dan kemudian surat-surat keduanya dikodifikasi dan diterbitkan. Dalam edisi bahasa Inggris, kumpulan surat-surat cinta keduanya diterbitkan dalam buku berjudul “Beloved Prophet”.
Tetapi sampai surat-surat itu dibukukan pun, sosok May Ziadah tak pernah dilihat atau diketahui publik—sehingga keberadaannya sama misteriusnya dengan sosok Wardah al-Hani yang diyakini sebagai cinta pertama Gibran.
Wanita ketiga, Mary Hasskel, adalah satu-satunya cinta Gibran yang dikenal dan diketahui sosoknya oleh publik. Hasskel adalah wanita Amerika yang bisa dibilang ikut mempengaruhi kehidupan Gibran dan karya-karyanya. Hasskel pula yang berjasa besar dalam memperkenalkan Kahlil Gibran ke publik dunia melalui lukisan-lukisannya.
Ketika pertama kali mereka bertemu, Gibran masih seorang pemuda miskin. Pekerjaannya sebagai pelukis dan penulis waktu itu belum memberikan uang yang cukup untuknya, sehingga hidupnya pun pas-pasan. Hasskel meyakini bakat Gibran—khususnya dalam seni lukis—dan Hasskel pun membiayai acara-acara pameran lukisan untuk Gibran.
Melalui pameran-pameran yang diselenggarakan Hasskel, Gibran dapat menjual lukisan-lukisan karyanya dan berhasil mengumpulkan cukup banyak uang. Setelah itulah Gibran kemudian bisa menulis dengan tenang karena hidupnya sudah cukup nyaman—dan dari situ pula ia kemudian melahirkan karya-karya besar semacam “The Prophet” yang mengguncangkan dunia.
Bagi Gibran sendiri, Mary Hasskel adalah wanita tempatnya mendapatkan kasih sayang. Secara usia, Hasskel lebih tua dibanding Gibran, dan sepertinya Gibran menjadikan keberadaan Hasskel lebih dari seorang kekasih yang dicintai, tetapi juga sebagai kakak atau ibu yang ia hormati. Hasskel mengetahui kenyataan itu, dan ia pun menjalankan perannya dengan baik—meski dalam hati ia menyimpan perasaan cinta kepada Gibran.
Suatu malam, Mary Hasskel berbincang secara intim dengan Kahlil Gibran, dan mereka membicarakan tentang cinta dan pernikahan.
“Kahlil,” ujar Mary Hasskel, “selama bersamamu, aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang dekat denganmu.”
“Oh, Mary,” sahut Gibran, “kaulah yang paling dekat denganku.”
“Maksudku, tidakkah kau ingin menikah dengan seseorang—menjalani hidup berkeluarga sebagaimana laki-laki umumnya?”
Gibran tersenyum. Setelah mengisap rokoknya, dia berkata, “Aku ini seorang seniman, Mary. Hidupku hanya untuk menulis dan melukis. Kau tahu, kerjaku tidak bisa dibatasi waktu atau memiliki jadwal tetap seperti orang-orang lain. Jika memiliki istri dan keluarga, aku khawatir akan sering menelantarkan mereka karena aku akan lebih mencurahkan pikiran dan hatiku untuk pekerjaanku daripada untuknya.”
“Kahlil, kau terlalu jahat pada dirimu sendiri. Kau tentunya tak seburuk itu.”
“Kau baik sekali, Mary. Tetapi aku lebih suka menahan naluri manusiaku daripada harus menyakiti perasaan istriku, atau anak-anakku. Setelah menikah dan berkeluarga, aku tentunya harus membagi diriku—hati, jiwa, pikiran—untuk istri dan anak-anakku. Rasanya aku tidak mampu melakukannya, karena bahkan aku merasa masih kekurangan waktu untuk mengurusi diriku sendiri.”
“Kau tahu, Kahlil, perspektif orang biasanya akan berubah setelah melakukannya. Maksudku, kau berpikir seperti itu karena kau masih melajang. Tetapi, setelah menikah dan berkeluarga, kau pun akan tahu bahwa ternyata kau bisa membagi perhatianmu untuk mereka.”
Gibran terdiam. Mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Setelah itu dia berbisik, “Aku boleh menceritakan sesuatu?”
“Aku mendengarkan.”
“Dulu, aku memiliki kawan-kawan dan sahabat yang hebat. Mereka orang-orang istimewa dengan pikiran dan hati yang sama istimewanya. Mereka memiliki impian, visi, serta cakrawala tak terbatas. Kau tahu siapa mereka—nama mereka terlalu terkenal untuk diabaikan. Lalu suatu hari mereka berpikir untuk menikah dan berkeluarga—dengan pola pikir seperti yang tadi kaukatakan kepadaku. Dengan sepenuh keyakinan, mereka pun menikah dan yakin akan dapat membagi dirinya untuk keluarganya, juga untuk visi yang dicintainya…”
Gibran menyedot asap rokoknya kembali, lalu melanjutkan, “Tapi kemudian hidup dan visi mereka selesai ketika pernikahan itu terjadi. Orang-orang yang dulu kukenal hebat dan istimewa itu berubah menjadi orang-orang biasa yang kini sibuk dengan dunia kecilnya—istri dan anak-anaknya dan kebutuhan hidup mereka—hingga lupa sama sekali pada visi serta impian besar mereka sebelumnya. Mereka bukan lagi orang hebat yang dulu kukenali—mereka kini adalah seorang suami dan ayah yang kehabisan waktu untuk mencari nafkah dan mengurusi keluarganya. Dunia tidak berubah, Mary, tetapi merekalah yang berubah.”
“Kahlil, tidak semuanya seperti itu, kan?”
“Mungkin tidak—tapi sayangnya semua yang kukenal mengalami hal sama seperti itu. Tentu saja aku tidak menyalahkan mereka—karena hidup masing-masing orang adalah pilihan yang diambilnya. Hanya saja, aku khawatir akan mengalami hal sama. Jika aku menikah, aku khawatir akan terlalu mencintai keluargaku hingga meninggalkan visi dan impianku. Dan jika aku masih mencintai visi serta impianku, aku khawatir akan menelantarkan keluargaku.”
Melihat wajah Gibran yang keruh, Mary menyentuh tangan Gibran lalu menggenggamnya. Dan dengan berbisik, Gibran menyatakan, “Itulah kenapa aku tetap mempertahankan kesendirianku. Aku mencintai kesunyian ini, dan aku ingin tetap jatuh cinta kepada keheningan…”
….
….
Sampai akhir hayatnya, Kahlil Gibran tetap melajang. Dia tidak memiliki istri dan anak-anak, tetapi dia meninggalkan anak-anak ruhani yang luar biasa, serta berjuta-juta orang yang mencintai dan mengaguminya. Karya-karyanya menjadi anak-anak yang abadi, dan jutaan orang yang mencintai karyanya menjadi mempelai di jiwanya.
Hari ini, saya telah membaca “The Prophet” dan “The Madman” yang ditulis Gibran, lebih dari empat puluh kali—dan saya tak pernah berhenti terpesona oleh isinya. Hari ini pun saya membayangkan, kalau saja Gibran menikah dan berkeluarga, mungkin dia tak akan punya waktu melahirkan karya-karya besar itu, karena sudah terlalu sibuk mencintai istri dan anak-anaknya.
Hidup adalah soal pilihan. Menikah atau melajang adalah hak setiap orang. Tetapi, saya meyakini, dunia patut berterima kasih atas pilihan yang diambil Kahlil Gibran.
Dengan ketiga wanita itu, Gibran menjalin hubungan yang unik, sekaligus misterius. Di antara ketiganya pula, publik hanya mengenal Mary Hasskel—sedang keberadaan Wardah al-Hani dan May Ziadah tak pernah terungkap ke publik, hingga akhir hayat Gibran.
Nama Wardah al-Hani pertama kali dikenal publik ketika Gibran menuliskannya dalam sebuah prosa. Meski Gibran tidak pernah menyatakan bahwa Wardah al-Hani adalah tokoh nyata, tetapi penggambaran Gibran atas wanita itu dalam kisahnya membuat para pembacanya meyakini kalau wanita itu benar-benar ada.
Lebih dari itu, para pemuja Gibran bahkan meyakini bahwa Wardah al-Hani inilah cinta pertama Gibran—cinta dengan akhir sad ending yang kelak menjadikan Gibran seperti tak bisa jatuh cinta lagi. Sampai akhir hayatnya, Gibran tak pernah mengkonfirmasi keberadaan atau siapa sesungguhnya Wardah al-Hani, tetapi publik pecintanya tetap yakin bahwa dia wanita yang menjadi cinta pertama Gibran.
Yang kedua, May Ziadah, adalah wanita yang mampu membuat Gibran jatuh cinta, tetapi publik juga tak pernah tahu siapa sesungguhnya wanita ini. Jangankan orang lain, bahkan Gibran sendiri tidak tahu seperti apa wanita itu.
Awal hubungan Gibran dengan May Ziadah adalah ketika May mengirim surat kepada Gibran, karena terpesona dengan karya-karya Gibran. Karena isi surat May yang istimewa, Gibran pun membalasnya—dan setelah itu keduanya rajin berkirim surat, sampai beberapa tahun. Di dalam surat-surat itulah, keduanya saling menyatakan cinta, dan Gibran bahkan menyebut surat-surat May sebagai “nyala api biru di hatiku”.
Ketika Gibran wafat, keluarganya menemukan tumpukan surat-surat itu, lalu berusaha melacak ke alamat May Ziadah. Surat-surat Gibran di tempat May Ziadah juga masih terkumpul rapi—dan kemudian surat-surat keduanya dikodifikasi dan diterbitkan. Dalam edisi bahasa Inggris, kumpulan surat-surat cinta keduanya diterbitkan dalam buku berjudul “Beloved Prophet”.
Tetapi sampai surat-surat itu dibukukan pun, sosok May Ziadah tak pernah dilihat atau diketahui publik—sehingga keberadaannya sama misteriusnya dengan sosok Wardah al-Hani yang diyakini sebagai cinta pertama Gibran.
Wanita ketiga, Mary Hasskel, adalah satu-satunya cinta Gibran yang dikenal dan diketahui sosoknya oleh publik. Hasskel adalah wanita Amerika yang bisa dibilang ikut mempengaruhi kehidupan Gibran dan karya-karyanya. Hasskel pula yang berjasa besar dalam memperkenalkan Kahlil Gibran ke publik dunia melalui lukisan-lukisannya.
Ketika pertama kali mereka bertemu, Gibran masih seorang pemuda miskin. Pekerjaannya sebagai pelukis dan penulis waktu itu belum memberikan uang yang cukup untuknya, sehingga hidupnya pun pas-pasan. Hasskel meyakini bakat Gibran—khususnya dalam seni lukis—dan Hasskel pun membiayai acara-acara pameran lukisan untuk Gibran.
Melalui pameran-pameran yang diselenggarakan Hasskel, Gibran dapat menjual lukisan-lukisan karyanya dan berhasil mengumpulkan cukup banyak uang. Setelah itulah Gibran kemudian bisa menulis dengan tenang karena hidupnya sudah cukup nyaman—dan dari situ pula ia kemudian melahirkan karya-karya besar semacam “The Prophet” yang mengguncangkan dunia.
Bagi Gibran sendiri, Mary Hasskel adalah wanita tempatnya mendapatkan kasih sayang. Secara usia, Hasskel lebih tua dibanding Gibran, dan sepertinya Gibran menjadikan keberadaan Hasskel lebih dari seorang kekasih yang dicintai, tetapi juga sebagai kakak atau ibu yang ia hormati. Hasskel mengetahui kenyataan itu, dan ia pun menjalankan perannya dengan baik—meski dalam hati ia menyimpan perasaan cinta kepada Gibran.
Suatu malam, Mary Hasskel berbincang secara intim dengan Kahlil Gibran, dan mereka membicarakan tentang cinta dan pernikahan.
“Kahlil,” ujar Mary Hasskel, “selama bersamamu, aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang dekat denganmu.”
“Oh, Mary,” sahut Gibran, “kaulah yang paling dekat denganku.”
“Maksudku, tidakkah kau ingin menikah dengan seseorang—menjalani hidup berkeluarga sebagaimana laki-laki umumnya?”
Gibran tersenyum. Setelah mengisap rokoknya, dia berkata, “Aku ini seorang seniman, Mary. Hidupku hanya untuk menulis dan melukis. Kau tahu, kerjaku tidak bisa dibatasi waktu atau memiliki jadwal tetap seperti orang-orang lain. Jika memiliki istri dan keluarga, aku khawatir akan sering menelantarkan mereka karena aku akan lebih mencurahkan pikiran dan hatiku untuk pekerjaanku daripada untuknya.”
“Kahlil, kau terlalu jahat pada dirimu sendiri. Kau tentunya tak seburuk itu.”
“Kau baik sekali, Mary. Tetapi aku lebih suka menahan naluri manusiaku daripada harus menyakiti perasaan istriku, atau anak-anakku. Setelah menikah dan berkeluarga, aku tentunya harus membagi diriku—hati, jiwa, pikiran—untuk istri dan anak-anakku. Rasanya aku tidak mampu melakukannya, karena bahkan aku merasa masih kekurangan waktu untuk mengurusi diriku sendiri.”
“Kau tahu, Kahlil, perspektif orang biasanya akan berubah setelah melakukannya. Maksudku, kau berpikir seperti itu karena kau masih melajang. Tetapi, setelah menikah dan berkeluarga, kau pun akan tahu bahwa ternyata kau bisa membagi perhatianmu untuk mereka.”
Gibran terdiam. Mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Setelah itu dia berbisik, “Aku boleh menceritakan sesuatu?”
“Aku mendengarkan.”
“Dulu, aku memiliki kawan-kawan dan sahabat yang hebat. Mereka orang-orang istimewa dengan pikiran dan hati yang sama istimewanya. Mereka memiliki impian, visi, serta cakrawala tak terbatas. Kau tahu siapa mereka—nama mereka terlalu terkenal untuk diabaikan. Lalu suatu hari mereka berpikir untuk menikah dan berkeluarga—dengan pola pikir seperti yang tadi kaukatakan kepadaku. Dengan sepenuh keyakinan, mereka pun menikah dan yakin akan dapat membagi dirinya untuk keluarganya, juga untuk visi yang dicintainya…”
Gibran menyedot asap rokoknya kembali, lalu melanjutkan, “Tapi kemudian hidup dan visi mereka selesai ketika pernikahan itu terjadi. Orang-orang yang dulu kukenal hebat dan istimewa itu berubah menjadi orang-orang biasa yang kini sibuk dengan dunia kecilnya—istri dan anak-anaknya dan kebutuhan hidup mereka—hingga lupa sama sekali pada visi serta impian besar mereka sebelumnya. Mereka bukan lagi orang hebat yang dulu kukenali—mereka kini adalah seorang suami dan ayah yang kehabisan waktu untuk mencari nafkah dan mengurusi keluarganya. Dunia tidak berubah, Mary, tetapi merekalah yang berubah.”
“Kahlil, tidak semuanya seperti itu, kan?”
“Mungkin tidak—tapi sayangnya semua yang kukenal mengalami hal sama seperti itu. Tentu saja aku tidak menyalahkan mereka—karena hidup masing-masing orang adalah pilihan yang diambilnya. Hanya saja, aku khawatir akan mengalami hal sama. Jika aku menikah, aku khawatir akan terlalu mencintai keluargaku hingga meninggalkan visi dan impianku. Dan jika aku masih mencintai visi serta impianku, aku khawatir akan menelantarkan keluargaku.”
Melihat wajah Gibran yang keruh, Mary menyentuh tangan Gibran lalu menggenggamnya. Dan dengan berbisik, Gibran menyatakan, “Itulah kenapa aku tetap mempertahankan kesendirianku. Aku mencintai kesunyian ini, dan aku ingin tetap jatuh cinta kepada keheningan…”
….
….
Sampai akhir hayatnya, Kahlil Gibran tetap melajang. Dia tidak memiliki istri dan anak-anak, tetapi dia meninggalkan anak-anak ruhani yang luar biasa, serta berjuta-juta orang yang mencintai dan mengaguminya. Karya-karyanya menjadi anak-anak yang abadi, dan jutaan orang yang mencintai karyanya menjadi mempelai di jiwanya.
Hari ini, saya telah membaca “The Prophet” dan “The Madman” yang ditulis Gibran, lebih dari empat puluh kali—dan saya tak pernah berhenti terpesona oleh isinya. Hari ini pun saya membayangkan, kalau saja Gibran menikah dan berkeluarga, mungkin dia tak akan punya waktu melahirkan karya-karya besar itu, karena sudah terlalu sibuk mencintai istri dan anak-anaknya.
Hidup adalah soal pilihan. Menikah atau melajang adalah hak setiap orang. Tetapi, saya meyakini, dunia patut berterima kasih atas pilihan yang diambil Kahlil Gibran.
Tukang Sapu Terbaik di Dunia
Kau bekerja agar bisa tetap melangkah seirama dengan jiwa Bumi.
Ketika kau bekerja, kau memenuhi sebagian mimpi Bumi yang tertinggi,
yang ditetapkan untukmu saat mimpi itu dilahirkan.
—Kahlil Gibran, The Prophet
Ketika kau bekerja, kau memenuhi sebagian mimpi Bumi yang tertinggi,
yang ditetapkan untukmu saat mimpi itu dilahirkan.
—Kahlil Gibran, The Prophet
Di Surabaya, ada makam dan masjid Sunan Ampel. Tempat itu tidak hanya
menyimpan sejarah Islam di tanah Jawa, namun juga menyimpan kisah-kisah
menarik, bahkan menakjubkan, yang mungkin sulit dipercaya.
Enam ratus tahun yang lalu, pada abad ke-15, Sunan Ampel masih hidup, dan memiliki beberapa murid. Salah satu muridnya bernama Sonhaji, atau yang biasa disebut Mbah Sonhaji. Orang ini juga punya sebutan populer di masanya, yaitu Mbah Bolong. Nama populer itu memiliki latar kisah yang sangat menakjubkan.
Ceritanya, Sunan Ampel berencana membangun masjid, dan Sonhaji diserahi tugas yang sangat penting, yaitu mengatur lokasi pengimaman. Dalam tugas itu, Sonhaji harus memastikan arah kiblat pengimaman masjid benar-benar tepat menghadap Ka’bah, dan tidak boleh melenceng satu milimeter derajat pun.
Itu tugas yang sangat sulit. Sebegitu sulitnya, hingga banyak orang meragukan kemampuan Sonhaji dalam melaksanakan tugas tersebut. Tapi Sonhaji seorang yang penuh tanggung jawab, dan dia tak peduli orang lain meragukan kemampuannya. Tanpa banyak ribut, dia menjalankan tugasnya dengan baik, dan berusaha benar-benar agar pekerjaan yang diserahkan kepadanya dilakukan dengan sempurna.
Ketika akhirnya masjid itu selesai dibangun, arah kiblat pengimaman pun dibuat sesuai arahan Sonhaji. Tetapi, orang-orang tetap belum yakin arah kiblat telah sesuai perintah Sunan Ampel, yaitu tepat menghadap Ka’bah. Orang-orang saling kasak-kusuk, dan meremehkan. Apa benar arah kiblat itu telah tepat menghadap Ka’bah?
Menjawab kasak-kusuk itu, Sonhaji tidak buang-buang waktu menjawab atau menghabiskan energi sia-sia untuk berdebat. Yang ia lakukan adalah mengajak orang-orang yang tak percaya itu ke tempat pengimaman masjid, kemudian ia melubangi dinding pengimaman yang ada di sana. Setelah itu, ia mempersilakan orang-orang yang tak percaya untuk melihat ke dalam lubang.
Ajaib. Orang-orang itu bisa melihat Ka’bah melalui lubang di dinding pengimaman masjid! Padahal, Ka’bah ada di Makkah, dan masjid tempat mereka mengintip ada di Surabaya! Sejak itulah, Mbah Sonhaji mendapat julukan Mbah Bolong, yakni orang yang membolongi (melubangi) dinding masjid untuk mengintip Ka’bah. Sekarang, makam Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong bisa ditemukan di depan Masjid Agung Sunan Ampel di Surabaya.
Kisah tentang Mbah Bolong mungkin mencengangkan bagi kita. Tapi ada kisah lain yang lebih mencengangkan, menyangkut murid Sunan Ampel yang lain. Namanya Soleh, atau yang biasa disebut Mbah Soleh. Jika Mbah Bolong bisa melubangi dinding masjid untuk mengintip Ka’bah yang ada di Makkah, Mbah Soleh bisa hidup sembilan kali, mati sembilan kali, dan memiliki sembilan makam.
Semasa hidupnya, Mbah Soleh ditugaskan Sunan Ampel untuk menjaga kebersihan masjid. Mbah Soleh melaksanakan pekerjaan itu dengan baik, bahkan sempurna. Jika dia menyapu, hasilnya bukan hanya bersih, tapi bersih sekali. Pada masa itu, orang-orang kadang shalat di masjid tanpa membawa sajadah. Tapi mereka tidak khawatir kotor, karena lantai dan halaman masjid telah bersih tanpa debu setitik pun.
Tidak ada orang lain yang mampu menyapu dengan bersih melebihi Mbah Soleh. Dia adalah manusia yang menyadari bahwa pekerjaan—apa pun pekerjaannya—adalah tugas agung yang dibebankan alam semesta ke pundaknya. Melakukan pekerjaan dengan baik adalah tugas mulia yang bisa dilakukan setiap manusia. Dan karena dia diserahi tugas menyapu, maka dia pun memastikan diri menjadi tukang sapu terbaik di dunia.
Sampai kemudian Mbah Soleh meninggal. Kematiannya mengundang tangis banyak orang. Semasa hidupnya, orang-orang tahu Mbah Soleh adalah orang yang mengabdikan dirinya pada pekerjaan, orang yang melakukan tugasnya dengan ikhlas, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer atau merasa bangga. Sebagai penghormatan untuknya, Mbah Soleh pun dimakamkan di depan masjid.
Setelah Mbah Soleh tiada, masjid mulai tak sebersih sebelumnya. Memang ada orang-orang yang menggantikan tugas Mbah Soleh menyapu masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Seiring bergantinya hari, masjid yang semula sangat bersih mulai kotor. Debu ada di mana-mana, lumut mulai tumbuh di dinding, dan kadang sampah berserakan.
Sunan Ampel prihatin menyaksikan hal itu. Hingga suatu hari, di depan murid-murid yang lain, Sunan Ampel berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”
Keesokan harinya, orang-orang menyaksikan Mbah Soleh sudah sibuk menyapu masjid—seperti dulu, seperti biasa, seperti tak ada yang berubah. Oh, well, seperti dia tak pernah mati sebelumnya. Seperti hari-hari yang lalu, Mbah Soleh tekun menyapu dan membersihkan seluruh bagian masjid, tanpa ribut-ribut, tanpa banyak bicara. Dan masjid yang semula kotor pun kembali bersih, sangat bersih, seperti biasa.
Dan waktu-waktu berlalu. Sampai suatu hari, Mbah Soleh meninggal dunia. Masyarakat kembali menangisinya, Sunan Ampel kembali berduka. Orang-orang pun kemudian menguburkan jasad Mbah Soleh di depan masjid, tepat di samping makamnya yang dulu. Maka dua makam pun berdampingan—semuanya milik Mbah Soleh.
Sepeninggal Mbah Soleh, kondisi masjid mulai tak sebersih semula. Debu mulai berdatangan, daun-daun berserakan, lumut mulai tumbuh. Beberapa orang ditugasi menyapu dan membersihkan masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Sampai suatu hari, Sunan Ampel yang prihatin kembali berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”
Keesokan harinya, Mbah Soleh tampak asyik menyapu dan membersihkan masjid—seperti biasa, seperti dulu, seperti tak pernah mati sebelumnya. Lalu masjid kembali bersih. Tidak ada tukang sapu di dunia ini yang lebih hebat dibanding Mbah Soleh, dan orang-orang kembali nyaman beribadah di sana tanpa khawatir kotor meski tanpa alas sajadah.
Dan waktu-waktu berlalu. Kemudian Mbah Soleh kembali meninggal dunia. Orang-orang menangisinya, dan mereka memakamkan jasad Mbah Soleh di samping kedua makamnya yang terdahulu. Lalu kisah berulang. Masjid kembali kotor. Sunan Ampel prihatin, dan kembali berbisik membayangkan Mbah Soleh masih hidup, dan keesokan harinya Mbah Soleh sudah muncul kembali dengan sapunya di masjid.
Kisah itu berulang hingga sembilan kali. Selama sembilan kali Mbah Soleh hidup, menjadi tukang sapu di masjid, dan sembilan kali pula orang itu meninggal dunia, ditangisi masyarakatnya, dan dimakamkan sembilan kali.
Pada kehidupannya yang kesembilan, tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Tidak lama setelah sang Sunan wafat, Mbah Soleh menyusulnya. Karena itu pula, Mbah Soleh memiliki sembilan makam yang berjajar. Sembilan makam itu masih ada hingga saat ini, dan bisa kita temukan di sebelah timur Masjid Sunan Ampel di Surabaya.
Dua kisah di atas mungkin terdengar ajaib bagi kita yang hidup di masa kini. Namun—terlepas kisah itu fakta atau hanya legenda—bagi saya kedua kisah itu menyimpan pesan luhur yang layak kita ikuti, yakni, “Cintailah pekerjaanmu.”
Mbah Sonhaji maupun Mbah Soleh adalah cermin orang-orang yang melakukan pekerjaannya dengan baik—sebegitu baiknya, hingga bisa dibilang tak ada orang lain yang mampu melakukan pekerjaan sebaik mereka melakukannya.
Ketika diminta Sunan Ampel agar meluruskan arah kiblat masjid dengan tepat, Mbah Sonhaji melakukan tugas itu dengan baik dan tepat—sebegitu baik dan tepat, hingga orang bisa mengintip Ka’bah yang letaknya bermil-mil jauhnya dari dinding masjid yang dilubangi.
Begitu pun Mbah Soleh. Ketika ditugaskan menyapu masjid, dia melakukan tugas itu dengan sepenuh hati. Sebegitu penuhnya ia mencurahkan hatinya pada pekerjaan, hingga alam semesta memberinya kesempatan hidup sembilan kali untuk melakukan dan meneruskan pekerjaannya.
Pekerjaan adalah hak mulia yang bisa diambil manusia. Apa pun pekerjaan yang dipilih, itulah tugas yang dibebankan alam semesta kepada masing-masing kita, yang di dalamnya terdapat tanggung jawab untuk mengerjakan sebaik-baiknya. Tidak ada pekerjaan yang lebih baik atau lebih buruk, lebih hebat atau lebih hina, karena ukuran menyangkut pekerjaan hanya ada pada sebaik apa kita mengerjakannya.
Dunia menangisi kematian seorang tukang sapu yang baik, sebagaimana dunia menangisi kematian seorang presiden yang baik
Enam ratus tahun yang lalu, pada abad ke-15, Sunan Ampel masih hidup, dan memiliki beberapa murid. Salah satu muridnya bernama Sonhaji, atau yang biasa disebut Mbah Sonhaji. Orang ini juga punya sebutan populer di masanya, yaitu Mbah Bolong. Nama populer itu memiliki latar kisah yang sangat menakjubkan.
Ceritanya, Sunan Ampel berencana membangun masjid, dan Sonhaji diserahi tugas yang sangat penting, yaitu mengatur lokasi pengimaman. Dalam tugas itu, Sonhaji harus memastikan arah kiblat pengimaman masjid benar-benar tepat menghadap Ka’bah, dan tidak boleh melenceng satu milimeter derajat pun.
Itu tugas yang sangat sulit. Sebegitu sulitnya, hingga banyak orang meragukan kemampuan Sonhaji dalam melaksanakan tugas tersebut. Tapi Sonhaji seorang yang penuh tanggung jawab, dan dia tak peduli orang lain meragukan kemampuannya. Tanpa banyak ribut, dia menjalankan tugasnya dengan baik, dan berusaha benar-benar agar pekerjaan yang diserahkan kepadanya dilakukan dengan sempurna.
Ketika akhirnya masjid itu selesai dibangun, arah kiblat pengimaman pun dibuat sesuai arahan Sonhaji. Tetapi, orang-orang tetap belum yakin arah kiblat telah sesuai perintah Sunan Ampel, yaitu tepat menghadap Ka’bah. Orang-orang saling kasak-kusuk, dan meremehkan. Apa benar arah kiblat itu telah tepat menghadap Ka’bah?
Menjawab kasak-kusuk itu, Sonhaji tidak buang-buang waktu menjawab atau menghabiskan energi sia-sia untuk berdebat. Yang ia lakukan adalah mengajak orang-orang yang tak percaya itu ke tempat pengimaman masjid, kemudian ia melubangi dinding pengimaman yang ada di sana. Setelah itu, ia mempersilakan orang-orang yang tak percaya untuk melihat ke dalam lubang.
Ajaib. Orang-orang itu bisa melihat Ka’bah melalui lubang di dinding pengimaman masjid! Padahal, Ka’bah ada di Makkah, dan masjid tempat mereka mengintip ada di Surabaya! Sejak itulah, Mbah Sonhaji mendapat julukan Mbah Bolong, yakni orang yang membolongi (melubangi) dinding masjid untuk mengintip Ka’bah. Sekarang, makam Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong bisa ditemukan di depan Masjid Agung Sunan Ampel di Surabaya.
Kisah tentang Mbah Bolong mungkin mencengangkan bagi kita. Tapi ada kisah lain yang lebih mencengangkan, menyangkut murid Sunan Ampel yang lain. Namanya Soleh, atau yang biasa disebut Mbah Soleh. Jika Mbah Bolong bisa melubangi dinding masjid untuk mengintip Ka’bah yang ada di Makkah, Mbah Soleh bisa hidup sembilan kali, mati sembilan kali, dan memiliki sembilan makam.
Semasa hidupnya, Mbah Soleh ditugaskan Sunan Ampel untuk menjaga kebersihan masjid. Mbah Soleh melaksanakan pekerjaan itu dengan baik, bahkan sempurna. Jika dia menyapu, hasilnya bukan hanya bersih, tapi bersih sekali. Pada masa itu, orang-orang kadang shalat di masjid tanpa membawa sajadah. Tapi mereka tidak khawatir kotor, karena lantai dan halaman masjid telah bersih tanpa debu setitik pun.
Tidak ada orang lain yang mampu menyapu dengan bersih melebihi Mbah Soleh. Dia adalah manusia yang menyadari bahwa pekerjaan—apa pun pekerjaannya—adalah tugas agung yang dibebankan alam semesta ke pundaknya. Melakukan pekerjaan dengan baik adalah tugas mulia yang bisa dilakukan setiap manusia. Dan karena dia diserahi tugas menyapu, maka dia pun memastikan diri menjadi tukang sapu terbaik di dunia.
Sampai kemudian Mbah Soleh meninggal. Kematiannya mengundang tangis banyak orang. Semasa hidupnya, orang-orang tahu Mbah Soleh adalah orang yang mengabdikan dirinya pada pekerjaan, orang yang melakukan tugasnya dengan ikhlas, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer atau merasa bangga. Sebagai penghormatan untuknya, Mbah Soleh pun dimakamkan di depan masjid.
Setelah Mbah Soleh tiada, masjid mulai tak sebersih sebelumnya. Memang ada orang-orang yang menggantikan tugas Mbah Soleh menyapu masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Seiring bergantinya hari, masjid yang semula sangat bersih mulai kotor. Debu ada di mana-mana, lumut mulai tumbuh di dinding, dan kadang sampah berserakan.
Sunan Ampel prihatin menyaksikan hal itu. Hingga suatu hari, di depan murid-murid yang lain, Sunan Ampel berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”
Keesokan harinya, orang-orang menyaksikan Mbah Soleh sudah sibuk menyapu masjid—seperti dulu, seperti biasa, seperti tak ada yang berubah. Oh, well, seperti dia tak pernah mati sebelumnya. Seperti hari-hari yang lalu, Mbah Soleh tekun menyapu dan membersihkan seluruh bagian masjid, tanpa ribut-ribut, tanpa banyak bicara. Dan masjid yang semula kotor pun kembali bersih, sangat bersih, seperti biasa.
Dan waktu-waktu berlalu. Sampai suatu hari, Mbah Soleh meninggal dunia. Masyarakat kembali menangisinya, Sunan Ampel kembali berduka. Orang-orang pun kemudian menguburkan jasad Mbah Soleh di depan masjid, tepat di samping makamnya yang dulu. Maka dua makam pun berdampingan—semuanya milik Mbah Soleh.
Sepeninggal Mbah Soleh, kondisi masjid mulai tak sebersih semula. Debu mulai berdatangan, daun-daun berserakan, lumut mulai tumbuh. Beberapa orang ditugasi menyapu dan membersihkan masjid, tapi hasilnya tak pernah sebersih Mbah Soleh. Sampai suatu hari, Sunan Ampel yang prihatin kembali berbisik, “Kalau saja Soleh masih hidup, masjid ini pasti selalu bersih seperti dulu.”
Keesokan harinya, Mbah Soleh tampak asyik menyapu dan membersihkan masjid—seperti biasa, seperti dulu, seperti tak pernah mati sebelumnya. Lalu masjid kembali bersih. Tidak ada tukang sapu di dunia ini yang lebih hebat dibanding Mbah Soleh, dan orang-orang kembali nyaman beribadah di sana tanpa khawatir kotor meski tanpa alas sajadah.
Dan waktu-waktu berlalu. Kemudian Mbah Soleh kembali meninggal dunia. Orang-orang menangisinya, dan mereka memakamkan jasad Mbah Soleh di samping kedua makamnya yang terdahulu. Lalu kisah berulang. Masjid kembali kotor. Sunan Ampel prihatin, dan kembali berbisik membayangkan Mbah Soleh masih hidup, dan keesokan harinya Mbah Soleh sudah muncul kembali dengan sapunya di masjid.
Kisah itu berulang hingga sembilan kali. Selama sembilan kali Mbah Soleh hidup, menjadi tukang sapu di masjid, dan sembilan kali pula orang itu meninggal dunia, ditangisi masyarakatnya, dan dimakamkan sembilan kali.
Pada kehidupannya yang kesembilan, tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Tidak lama setelah sang Sunan wafat, Mbah Soleh menyusulnya. Karena itu pula, Mbah Soleh memiliki sembilan makam yang berjajar. Sembilan makam itu masih ada hingga saat ini, dan bisa kita temukan di sebelah timur Masjid Sunan Ampel di Surabaya.
Dua kisah di atas mungkin terdengar ajaib bagi kita yang hidup di masa kini. Namun—terlepas kisah itu fakta atau hanya legenda—bagi saya kedua kisah itu menyimpan pesan luhur yang layak kita ikuti, yakni, “Cintailah pekerjaanmu.”
Mbah Sonhaji maupun Mbah Soleh adalah cermin orang-orang yang melakukan pekerjaannya dengan baik—sebegitu baiknya, hingga bisa dibilang tak ada orang lain yang mampu melakukan pekerjaan sebaik mereka melakukannya.
Ketika diminta Sunan Ampel agar meluruskan arah kiblat masjid dengan tepat, Mbah Sonhaji melakukan tugas itu dengan baik dan tepat—sebegitu baik dan tepat, hingga orang bisa mengintip Ka’bah yang letaknya bermil-mil jauhnya dari dinding masjid yang dilubangi.
Begitu pun Mbah Soleh. Ketika ditugaskan menyapu masjid, dia melakukan tugas itu dengan sepenuh hati. Sebegitu penuhnya ia mencurahkan hatinya pada pekerjaan, hingga alam semesta memberinya kesempatan hidup sembilan kali untuk melakukan dan meneruskan pekerjaannya.
Pekerjaan adalah hak mulia yang bisa diambil manusia. Apa pun pekerjaan yang dipilih, itulah tugas yang dibebankan alam semesta kepada masing-masing kita, yang di dalamnya terdapat tanggung jawab untuk mengerjakan sebaik-baiknya. Tidak ada pekerjaan yang lebih baik atau lebih buruk, lebih hebat atau lebih hina, karena ukuran menyangkut pekerjaan hanya ada pada sebaik apa kita mengerjakannya.
Dunia menangisi kematian seorang tukang sapu yang baik, sebagaimana dunia menangisi kematian seorang presiden yang baik
2013-07-09
Saya Memang Bocah
“Hei, kacrut,” ujar seorang teman, “kenapa kamu mencintai wanita dewasa?”
“Karena Batman juga begitu,” jawab saya mantap.
“Kenapa kamu rajin belajar?”
“Karena Spiderman begitu.”
“Kenapa kamu jadi jurnalis?”
“Karena Superman begitu.”
“Kenapa kamu suka minum klorofil?”
“Karena Iron Man begitu.”
“Kenapa kamu kadang-kadang sinis?”
“Karena Magneto begitu.”
....
....
Oh, well, saya memang bocah.
“Karena Batman juga begitu,” jawab saya mantap.
“Kenapa kamu rajin belajar?”
“Karena Spiderman begitu.”
“Kenapa kamu jadi jurnalis?”
“Karena Superman begitu.”
“Kenapa kamu suka minum klorofil?”
“Karena Iron Man begitu.”
“Kenapa kamu kadang-kadang sinis?”
“Karena Magneto begitu.”
....
....
Oh, well, saya memang bocah.
Surga Ada di Rumah
Yang dicari orang-orang di luar itu, apa sih? Berdesakan,
berjubelan, bising... Enakan di rumah, hangat, nyaman, hening.
—@bayukacrut
Well, tempo hari saya menonton film yang saya beli dari penjual lapak DVD
langganan. Judulnya Black Water. Sepertinya itu bukan film bioskop, dan
filmnya juga tak bisa dibilang bagus. Yang membuat saya tertarik membeli
film itu karena di sampul filmnya terdapat keterangan kalau film itu
berdasarkan kisah nyata (true story).
Ceritanya tentang penyerangan buaya pada manusia. Jadi, Adam, Grace, dan Lee, berlibur ke Australia. Adam dan Grace adalah pasangan suami istri, sementara Lee adalah adik Grace. Mereka memutuskan untuk menikmati pemandangan sungai Backwater Barry, di wilayah Australia Utara. Maka mereka pun menemui seorang pemilik perahu untuk tour tersebut. Si pemilik perahu, bernama Jim, menemani mereka, dan perahu itu pun melaju dengan tenang di sepanjang sungai Backwater.
Di tengah perjalanan, seperti yang direncanakan, mereka memancing. Tapi kemudian sesuatu yang tak terbayangkan terjadi. Sesosok buaya sangat besar muncul, dan menggoncangkan perahu mereka. Perahu itu terbalik, orang-orang yang ada di atasnya segera terjatuh ke air, dan buaya mengerikan itu menyerang. Jim, si pemilik perahu, terbunuh oleh si buaya. Sementara Adam, Grace, dan Lee, berhasil menyelamatkan diri dan naik ke atas pohon.
Lalu ketegangan yang amat menjengkelkan pun dimulai.
Di atas pohon, ketiga orang itu memang selamat. Tapi mereka juga tak bisa ke mana-mana. Perahu mereka terbalik mengapung di atas sungai. Adam menyatakan satu-satunya jalan mereka untuk bisa pergi dari tempat itu adalah dengan perahu tersebut. Tetapi, jarak mereka dengan perahu yang terbalik itu cukup jauh. Untuk dapat menggunakan perahu, mereka harus turun ke air, dan itu artinya menantang maut karena si buaya masih berkeliaran.
Ketiga orang itu pun saling tegang dan sesekali bertengkar di atas pohon. Mereka tak bisa apa-apa, tak bisa ke mana-mana. Di atas pohon, mereka memang hidup. Tetapi mereka juga seperti ditahan di sana. Sementara mereka juga tak bisa berharap datang pertolongan, karena tidak ada orang lain yang tahu keberadaan mereka di sana. Jadi, seperti yang dibilang Adam, satu-satunya cara untuk pergi dari sana hanya menggunakan perahu mereka yang sekarang terapung dalam keadaan terbalik.
Adam berencana turun ke air dan berenang ke tempat perahu, tapi rencana itu ditentang Grace, istrinya. Akhirnya, setelah sedikit bertengkar, Adam meyakinkan Grace kalau ia akan selamat sampai perahu. Grace pun mengizinkan suaminya turun, lalu Adam masuk ke air dan berenang menuju perahu. Adam selamat sampai perahu, dan berhasil membalikkannya sehingga siap ditumpangi. Tetapi, belum sempat Adam naik ke atas perahu, buaya keparat itu muncul dan langsung memangsa Adam.
Grace dan Lee panik tak karuan menyaksikan Adam tewas dimangsa buaya. Mereka makin bingung, makin tegang, dan saya yang menyaksikan semua itu semakin merasa jengkel. Ya, saya jengkel, karena tak habis pikir dengan orang-orang yang suka keluyuran ke tempat-tempat semacam itu. Selama menyaksikan ketegangan mereka dalam film, berkali-kali saya membatin, “Memangnya siapa yang menyuruh kalian keluyuran ke sana, hah? Siapa? Siapa? Siapa…???”
Mungkin saya tidak memiliki jiwa petualang seperti Ryanni Djangkaru atau Trinity yang suka keluyuran ke tempat-tempat “eksotik”. Saya tak pernah bisa melihat apa asyiknya mempertaruhkan keselamatan hanya untuk melihat tempat-tempat semacam itu. Daripada keluyuran ke tempat-tempat tidak jelas seperti itu, saya lebih suka duduk nyaman di dalam rumah yang hangat, menyeduh kopi, mengunyah dark chocholate, merokok, sambil membaca buku.
Sebagai orang rumahan, saya tidak bisa menemukan tempat lain yang lebih menyenangkan dan mendamaikan selain di dalam rumah. Liburan bagi saya adalah duduk santai di atas sofa yang empuk dan nyaman sambil membaca buku yang bagus, atau meringkuk di atas springbed yang hangat ketika di luar sedang hujan. Tak perlu ke mana-mana, tak perlu capek keluyuran, juga tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk seekor buaya. Asal ada rokok, teh panas atau kopi, dan buku yang bagus, kenyamanan rumah sudah cukup bagi saya.
Sepertinya saya melantur.
Oke, kita lanjutkan cerita dalam film tadi. Setelah Adam tewas dimangsa buaya, Grace dan Lee pun memutar otak bagaimana caranya menyelamatkan diri. Tetapi, lagi-lagi, cara paling logis yang bisa ditempuh hanyalah dengan perahu itu. Kali ini perahu sudah tak terbalik, karena tadi sudah dibetulkan posisinya oleh Adam. Tetapi jarak mereka dari perahu masih jauh. Dan mereka tetap ngeri jika harus turun ke air lalu berenang ke perahu.
Akhirnya, karena tak ada jalan lain, mereka pun nekat. Grace dan Lee turun ke air, berenang perlahan-lahan, menuju ke perahu. Begitu mereka hampir menyentuh perahu, buaya keparat itu muncul lagi, tepat di depan mereka. Grace dan Lee kabur tunggang langgang menyelamatkan diri. Keduanya selamat, tapi kaki Grace tercabik oleh buaya, hingga luka dan berdarah.
Lalu ketegangan yang menjengkelkan dimulai lagi.
Mereka kembali menyelamatkan diri dengan naik ke atas pohon. Mereka selamat, meski luka dan berdarah, tapi tak bisa ke mana-mana. Mungkin akan begitu terus sampai kiamat, pikir saya dengan jengkel. Dan lagi-lagi saya membatin, “Memangnya siapa yang menyuruh kalian keluyuran ke sana, hah? Siapa? Siapa? Siapa…???”
Saya pikir, kalau mau liburan, mbok tidak usah keluyuran ke tempat-tempat seperti itu. Apa salahnya sih, liburan ke tempat yang relatif aman? Oh, well, kadang-kadang saya juga liburan dengan pergi meninggalkan rumah. Tapi saya tidak sudi menghabiskan waktu liburan ke tempat-tempat semacam sungai yang dihuni buaya, atau hutan liar yang belum terjamah, atau ke gunung yang wingit. Daripada ke tempat-tempat semacam itu, saya lebih suka ke luar kota, shopping, dan menginap di hotel mewah!
Kadang-kadang, saya diajak teman pecinta alam untuk mendaki gunung, mengisi waktu liburan. Kadang-kadang pula saya menerima ajakan itu. Tetapi, sejujurnya, saya tak pernah bisa menikmati acara semacam itu. Di alam liar, kita tak bisa naik kendaraan, artinya harus jalan kaki. Tidak ada warung atau restoran, apalagi kafe, dan itu artinya makan minum kami sangat terbatas. Untuk makan, kami biasanya bikin mie rebus. Untuk minum, kami hanya mengandalkan air putih.
Bagi saya, liburan semacam itu sangat menyiksa dan menyusahkan. Dan, demi Tuhan, saya sudah bosan hidup susah, juga sama sekali tak berminat mengulanginya. Karenanya, selagi bisa menikmati ketenangan, saya akan menikmatinya. Selagi bisa menikmati hidup yang nyaman, saya akan menikmatinya. Daripada jauh-jauh ke gunung hanya untuk makan mie rebus dan minum air putih, saya lebih memilih tinggal di rumah dan menikmati kopi atau teh yang nikmat sambil membaca buku.
Ya, ya, selera orang memang berbeda. Ada yang suka tempat-tempat alami seperti hutan, sungai, atau gunung, ada pula yang seperti saya. Dan, sebenarnya, kalau dipikir-pikir, semuanya memang ada risikonya. Di alam liar, risikonya bisa diserang hewan buas. Di perkotaan, risikonya bisa kecelakaan di jalan raya sampai perampokan. Ada risikonya semua. Tetapi, saya pikir, di wilayah perkotaan ada kantor polisi, rumah sakit, atau setidaknya mudah ketemu orang lain jika perlu minta tolong. Lhah di hutan…???
Kalau kebetulan kita diserang macan di tengah hutan ketika sedang liburan, kira-kira mau minta tolong siapa? Tarzan…? Yang benar saja! Begitu pula kalau kita liburan di sungai, lalu diserang buaya ganas, kita mau minta tolong siapa? Kenyataannya, Grace dan Lee dalam film tadi tak bisa minta tolong siapa-siapa. Ketika seekor buaya besar menyerang mereka, kakak beradik itu hanya bisa panik, bingung, panik, bingung, panik, bingung, panik… mungkin begitu terus sampai kiamat.
Uh, sepertinya saya melantur lagi.
Di akhir film, Lee memang akhirnya berhasil menyelamatkan diri setelah membunuh si buaya dengan pistol yang ia temukan pada mayat Jim (si pemilik perahu). Tetapi, Grace meninggal di atas pohon, mungkin karena kehabisan darah, mungkin pula karena terlalu shock. Setelah si buaya terbunuh, Lee mengambil perahu dan membawa mayat kakaknya ke dalam perahu. Lalu mendayung perahu, pergi meninggalkan tempat itu.
Dan film pun selesai.
Bagi saya, film ini memberikan pelajaran yang sangat penting, yaitu, “Cintailah rumahmu”. Berbahagialah, dan nyamanlah tinggal di rumah. Tidak usah keluyuran ke mana-mana, apalagi ke tempat-tempat yang relatif berbahaya. Sepertinya itu pesan yang bagus sekali—khususnya bagi saya. Setelah menonton film ini, dan setelah menyaksikan orang-orang dimangsa buaya, saya makin suka tinggal di rumah.
Kalau boleh sedikit lebay, surga di dunia ini terdapat di dalam rumah. Tak perlu mencari ke tempat jauh.
Ceritanya tentang penyerangan buaya pada manusia. Jadi, Adam, Grace, dan Lee, berlibur ke Australia. Adam dan Grace adalah pasangan suami istri, sementara Lee adalah adik Grace. Mereka memutuskan untuk menikmati pemandangan sungai Backwater Barry, di wilayah Australia Utara. Maka mereka pun menemui seorang pemilik perahu untuk tour tersebut. Si pemilik perahu, bernama Jim, menemani mereka, dan perahu itu pun melaju dengan tenang di sepanjang sungai Backwater.
Di tengah perjalanan, seperti yang direncanakan, mereka memancing. Tapi kemudian sesuatu yang tak terbayangkan terjadi. Sesosok buaya sangat besar muncul, dan menggoncangkan perahu mereka. Perahu itu terbalik, orang-orang yang ada di atasnya segera terjatuh ke air, dan buaya mengerikan itu menyerang. Jim, si pemilik perahu, terbunuh oleh si buaya. Sementara Adam, Grace, dan Lee, berhasil menyelamatkan diri dan naik ke atas pohon.
Lalu ketegangan yang amat menjengkelkan pun dimulai.
Di atas pohon, ketiga orang itu memang selamat. Tapi mereka juga tak bisa ke mana-mana. Perahu mereka terbalik mengapung di atas sungai. Adam menyatakan satu-satunya jalan mereka untuk bisa pergi dari tempat itu adalah dengan perahu tersebut. Tetapi, jarak mereka dengan perahu yang terbalik itu cukup jauh. Untuk dapat menggunakan perahu, mereka harus turun ke air, dan itu artinya menantang maut karena si buaya masih berkeliaran.
Ketiga orang itu pun saling tegang dan sesekali bertengkar di atas pohon. Mereka tak bisa apa-apa, tak bisa ke mana-mana. Di atas pohon, mereka memang hidup. Tetapi mereka juga seperti ditahan di sana. Sementara mereka juga tak bisa berharap datang pertolongan, karena tidak ada orang lain yang tahu keberadaan mereka di sana. Jadi, seperti yang dibilang Adam, satu-satunya cara untuk pergi dari sana hanya menggunakan perahu mereka yang sekarang terapung dalam keadaan terbalik.
Adam berencana turun ke air dan berenang ke tempat perahu, tapi rencana itu ditentang Grace, istrinya. Akhirnya, setelah sedikit bertengkar, Adam meyakinkan Grace kalau ia akan selamat sampai perahu. Grace pun mengizinkan suaminya turun, lalu Adam masuk ke air dan berenang menuju perahu. Adam selamat sampai perahu, dan berhasil membalikkannya sehingga siap ditumpangi. Tetapi, belum sempat Adam naik ke atas perahu, buaya keparat itu muncul dan langsung memangsa Adam.
Grace dan Lee panik tak karuan menyaksikan Adam tewas dimangsa buaya. Mereka makin bingung, makin tegang, dan saya yang menyaksikan semua itu semakin merasa jengkel. Ya, saya jengkel, karena tak habis pikir dengan orang-orang yang suka keluyuran ke tempat-tempat semacam itu. Selama menyaksikan ketegangan mereka dalam film, berkali-kali saya membatin, “Memangnya siapa yang menyuruh kalian keluyuran ke sana, hah? Siapa? Siapa? Siapa…???”
Mungkin saya tidak memiliki jiwa petualang seperti Ryanni Djangkaru atau Trinity yang suka keluyuran ke tempat-tempat “eksotik”. Saya tak pernah bisa melihat apa asyiknya mempertaruhkan keselamatan hanya untuk melihat tempat-tempat semacam itu. Daripada keluyuran ke tempat-tempat tidak jelas seperti itu, saya lebih suka duduk nyaman di dalam rumah yang hangat, menyeduh kopi, mengunyah dark chocholate, merokok, sambil membaca buku.
Sebagai orang rumahan, saya tidak bisa menemukan tempat lain yang lebih menyenangkan dan mendamaikan selain di dalam rumah. Liburan bagi saya adalah duduk santai di atas sofa yang empuk dan nyaman sambil membaca buku yang bagus, atau meringkuk di atas springbed yang hangat ketika di luar sedang hujan. Tak perlu ke mana-mana, tak perlu capek keluyuran, juga tak perlu mempertaruhkan nyawa untuk seekor buaya. Asal ada rokok, teh panas atau kopi, dan buku yang bagus, kenyamanan rumah sudah cukup bagi saya.
Sepertinya saya melantur.
Oke, kita lanjutkan cerita dalam film tadi. Setelah Adam tewas dimangsa buaya, Grace dan Lee pun memutar otak bagaimana caranya menyelamatkan diri. Tetapi, lagi-lagi, cara paling logis yang bisa ditempuh hanyalah dengan perahu itu. Kali ini perahu sudah tak terbalik, karena tadi sudah dibetulkan posisinya oleh Adam. Tetapi jarak mereka dari perahu masih jauh. Dan mereka tetap ngeri jika harus turun ke air lalu berenang ke perahu.
Akhirnya, karena tak ada jalan lain, mereka pun nekat. Grace dan Lee turun ke air, berenang perlahan-lahan, menuju ke perahu. Begitu mereka hampir menyentuh perahu, buaya keparat itu muncul lagi, tepat di depan mereka. Grace dan Lee kabur tunggang langgang menyelamatkan diri. Keduanya selamat, tapi kaki Grace tercabik oleh buaya, hingga luka dan berdarah.
Lalu ketegangan yang menjengkelkan dimulai lagi.
Mereka kembali menyelamatkan diri dengan naik ke atas pohon. Mereka selamat, meski luka dan berdarah, tapi tak bisa ke mana-mana. Mungkin akan begitu terus sampai kiamat, pikir saya dengan jengkel. Dan lagi-lagi saya membatin, “Memangnya siapa yang menyuruh kalian keluyuran ke sana, hah? Siapa? Siapa? Siapa…???”
Saya pikir, kalau mau liburan, mbok tidak usah keluyuran ke tempat-tempat seperti itu. Apa salahnya sih, liburan ke tempat yang relatif aman? Oh, well, kadang-kadang saya juga liburan dengan pergi meninggalkan rumah. Tapi saya tidak sudi menghabiskan waktu liburan ke tempat-tempat semacam sungai yang dihuni buaya, atau hutan liar yang belum terjamah, atau ke gunung yang wingit. Daripada ke tempat-tempat semacam itu, saya lebih suka ke luar kota, shopping, dan menginap di hotel mewah!
Kadang-kadang, saya diajak teman pecinta alam untuk mendaki gunung, mengisi waktu liburan. Kadang-kadang pula saya menerima ajakan itu. Tetapi, sejujurnya, saya tak pernah bisa menikmati acara semacam itu. Di alam liar, kita tak bisa naik kendaraan, artinya harus jalan kaki. Tidak ada warung atau restoran, apalagi kafe, dan itu artinya makan minum kami sangat terbatas. Untuk makan, kami biasanya bikin mie rebus. Untuk minum, kami hanya mengandalkan air putih.
Bagi saya, liburan semacam itu sangat menyiksa dan menyusahkan. Dan, demi Tuhan, saya sudah bosan hidup susah, juga sama sekali tak berminat mengulanginya. Karenanya, selagi bisa menikmati ketenangan, saya akan menikmatinya. Selagi bisa menikmati hidup yang nyaman, saya akan menikmatinya. Daripada jauh-jauh ke gunung hanya untuk makan mie rebus dan minum air putih, saya lebih memilih tinggal di rumah dan menikmati kopi atau teh yang nikmat sambil membaca buku.
Ya, ya, selera orang memang berbeda. Ada yang suka tempat-tempat alami seperti hutan, sungai, atau gunung, ada pula yang seperti saya. Dan, sebenarnya, kalau dipikir-pikir, semuanya memang ada risikonya. Di alam liar, risikonya bisa diserang hewan buas. Di perkotaan, risikonya bisa kecelakaan di jalan raya sampai perampokan. Ada risikonya semua. Tetapi, saya pikir, di wilayah perkotaan ada kantor polisi, rumah sakit, atau setidaknya mudah ketemu orang lain jika perlu minta tolong. Lhah di hutan…???
Kalau kebetulan kita diserang macan di tengah hutan ketika sedang liburan, kira-kira mau minta tolong siapa? Tarzan…? Yang benar saja! Begitu pula kalau kita liburan di sungai, lalu diserang buaya ganas, kita mau minta tolong siapa? Kenyataannya, Grace dan Lee dalam film tadi tak bisa minta tolong siapa-siapa. Ketika seekor buaya besar menyerang mereka, kakak beradik itu hanya bisa panik, bingung, panik, bingung, panik, bingung, panik… mungkin begitu terus sampai kiamat.
Uh, sepertinya saya melantur lagi.
Di akhir film, Lee memang akhirnya berhasil menyelamatkan diri setelah membunuh si buaya dengan pistol yang ia temukan pada mayat Jim (si pemilik perahu). Tetapi, Grace meninggal di atas pohon, mungkin karena kehabisan darah, mungkin pula karena terlalu shock. Setelah si buaya terbunuh, Lee mengambil perahu dan membawa mayat kakaknya ke dalam perahu. Lalu mendayung perahu, pergi meninggalkan tempat itu.
Dan film pun selesai.
Bagi saya, film ini memberikan pelajaran yang sangat penting, yaitu, “Cintailah rumahmu”. Berbahagialah, dan nyamanlah tinggal di rumah. Tidak usah keluyuran ke mana-mana, apalagi ke tempat-tempat yang relatif berbahaya. Sepertinya itu pesan yang bagus sekali—khususnya bagi saya. Setelah menonton film ini, dan setelah menyaksikan orang-orang dimangsa buaya, saya makin suka tinggal di rumah.
Kalau boleh sedikit lebay, surga di dunia ini terdapat di dalam rumah. Tak perlu mencari ke tempat jauh.
Lubang di Jalan
Nurani itu seperti baja. Semakin digunakan, ia makin berkilat.
Didiamkan dan dilupakan, ia pun berkarat.
—bayukacrut
Didiamkan dan dilupakan, ia pun berkarat.
—bayukacrut
Saya masih kelas 3 SMP ketika peristiwa yang menyakitkan itu
terjadi. Minggu siang itu saya masih tertidur, karena malamnya ngobrol
dengan teman-teman hingga pagi. Tidur saya dibangunkan oleh dering telepon. Saat saya menerimanya, suara pacar saya segera menerpa telinga.
“Masih tidur, ya?” sapanya dengan halus, setelah mendengar suara saya yang mungkin lesu. “Kita jadi ketemuan?”
Malam
tadi saya tidak apel ke tempatnya, dan menjanjikan untuk bertemu Minggu
siang. Jadi, saat dia menelepon, saya pun segera menjawab, “Ya, habis
ini aku ke tempatmu.” Dan menambahkan, “I miss you.”
Lalu saya
pun segera bangkit dari tempat tidur, mandi, dan membuat teh hangat
dengan buru-buru. Setelah itu mengeluarkan motor, dan melaju cepat ke
rumah pacar. Ketika sedang ngebut di jalanan itulah, kecelakaan yang
naas terjadi.
Waktu itu saya melaju di jalan satu arah, dan tepat
berada di belakang bus yang melaju kencang. Speedometer di motor saya
menunjukkan kecepatan 110 kilometer per jam. Aspal tampak mulus, hingga
saya tidak sempat berpikir macam-macam. Sampai kemudian, sebuah lubang
menganga tiba-tiba muncul di depan, dan saya tidak mampu menghindar
akibat terkejut.
Bus yang ada di depan saya tidak terganggu
adanya lubang di jalan itu, karena posisi lubang ada di tengah badan
bus. Tapi motor saya tepat berada pada posisi lurus lubang tersebut, dan
saya tidak mampu menghentikan atau membelokkan motor karena sedang
melaju sangat cepat. Sekuat tenaga saya mengerem kecepatan untuk
mengurangi dampak yang akan terjadi, tapi tetap saja motor saya masih
melaju cepat ke arah lubang itu.
Akibatnya adalah bencana.
Lubang
di jalan itu cukup dalam. Ketika motor saya sampai ke lubang itu, ban
depan segera masuk ke dalam lubang, dan motor langsung terbanting ke
aspal. Karena mesin sedang melaju cepat, motor itu lalu menyeret tubuh
saya di atas aspal, mungkin sampai sepuluh meter, dan saya merasa
sedang syuting film action.
Saya ditolong beberapa orang yang
kebetulan ada di tempat itu, dengan tubuh berdarah-darah. Sekujur tubuh
terasa sakit, tapi yang paling terasa ada di bagian kaki. Lutut serasa
tak mau digerakkan. Terus terang, itu bukan kecelakaan pertama yang saya
alami. Dua tahun sebelumnya, saya mengalami kecelakaan yang jauh lebih
parah, sehingga cukup “berpengalaman” jika mengalami kejadian seperti
itu.
Motor saya tidak bisa dikendarai, bagian depannya hancur.
Sementara saya juga tidak bisa mengandalkan orang-orang di sana untuk
mengurus saya. Maka saya pun segera menelepon seorang teman, yang segera
datang membawa pick up. Motor saya diangkut ke rumah, dan saya mampir
ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Diagnosis awal, bagian tangan saya mengalami kerusakan parah, akibat terseret di aspal, selain
luka-luka di bagian lain. Kelak, saya butuh waktu satu tahun untuk bisa
sembuh seperti sedia kala.
Setiap kali mengingat peristiwa itu,
yang masih terasa menyakitkan bukan hanya ingatan bagaimana saya
menjalani hari-hari dengan tangan yang di gips, atau ketika
merasakan perih luka-luka yang lama sembuh. Yang paling terasa nyeri
dalam ingatan saya adalah fakta bahwa ternyata ada orang-orang yang
sengaja membiarkan lubang ada di jalan.
Ketika kecelakaan itu
terjadi, dan saya diangkat orang-orang ke pinggir jalan, beberapa orang
tersebut ada yang menceritakan bahwa saya bukan orang pertama yang
mengalami kecelakaan akibat lubang itu. Sebelum saya terjatuh akibat
lubang tersebut, telah ada beberapa pengendara motor lain yang mengalami
hal sama. Seseorang bahkan dengan antusias bercerita, “Tiga hari lalu
juga ada motor yang jatuh, Mas. Dua orang, boncengan. Malah lukanya
lebih parah dibanding situ.”
Waktu itu saya sempat menyahut,
“Kenapa tidak ada yang mau menimbun lubang itu dengan batu atau tanah,
untuk mengurangi kecelakaan?”
Dan dia menyatakan, “Wah, itu sih bukan tugas kami.”
Jadi,
di dunia ini ada orang-orang yang menyaksikan kecelakaan terus terjadi
akibat sebuah lubang di jalan, dan mereka tidak mau berusaha mengatasi
hal itu karena berpikir itu bukan tugas mereka. Itu sangat terasa nyeri
bagi saya, khususnya karena saya salah satu korban akibat lubang
tersebut. Gara-gara lubang itu, saya harus menghabiskan waktu satu tahun
untuk merasakan sakit yang sebenarnya tidak perlu terjadi, kalau saja
ada orang yang mau peduli untuk menimbun lubang itu.
Tapi rupanya
mereka berpikir bahwa itu bukan urusan mereka. Karena mereka tidak
mengalami kecelakaan yang sama. Karena memperbaiki jalan yang rusak
bukan tugas mereka. Karena menyaksikan orang-orang terjatuh akibat
lubang itu tetap saja tidak mampu mengetuk nurani dan kepedulian mereka
terhadap sesama.
Salah satu kesalahan bahkan kerusakan pola pikir
manusia modern adalah mempertanyakan apa manfaat yang bisa diterimanya
jika melakukan sesuatu. Itu pula yang membedakan orang biasa dengan
pahlawan. Setiap kali melakukan sesuatu, orang biasa berpikir, “Apa
manfaatnya ini bagiku?” Sementara pahlawan berpikir, “Apa manfaatnya ini
bagi orang lain?”
Tanpa kita sadari, kita telah terdoktrin untuk
selalu, selalu, selalu, mempertanyakan apa manfaat yang akan kita
peroleh jika melakukan sesuatu. Sebegitu kuat doktrinasi itu, hingga
kita kadang-kadang kehilangan nurani dan kepedulian terhadap sesama.
Setiap kali akan berbuat sesuatu untuk dunia, kita berpikir, “Apa
manfaatnya ini bagiku?” Jika kita merasa mendapatkan manfaat, kita mau
melakukan. Jika tidak, kita pun enggan melakukannya.
Sekali lagi, itulah perbedaan pola pikir antara orang biasa dengan pahlawan.
Ketika Batman
mengenakan jubah dan topengnya, lalu memerangi kejahatan di Gotham
City, dia tidak berpikir apa manfaatnya bagi diri sendiri, tapi berpikir
apa manfaatnya bagi orang lain. Ketika Spiderman bergelantungan di atas
gedung-gedung tinggi demi mengejar penjahat, dia tidak berpikir apa
manfaatnya bagi diri sendiri, tapi apa manfaatnya bagi orang lain.
Ketika Superman
terbang ke sana kemari, menolong orang-orang yang membutuhkan, dia juga
tidak berpikir apa manfaatnya bagi diri sendiri, tapi apa manfaatnya
bagi orang lain.
Itulah yang membedakan pola pikir orang biasa
dengan pahlawan. Orang biasa berpikir manfaat bagi diri sendiri,
pahlawan berpikir manfaat bagi orang lain. Orang biasa berorientasi pada
keuntungan pribadi, pahlawan berorientasi pada kemaslahatan orang lain.
Tentu
saja kita bukan Batman, Spiderman atau Superman. Tetapi kita sama-sama
memiliki sesuatu yang mereka miliki. Yakni nurani. Yang membedakan, para
pahlawan menghidupkan nuraninya, sementara orang biasa cenderung
mematikan nuraninya sendiri. Para pahlawan memiliki kepedulian besar
pada sesamanya, orang biasa memiliki kepedulian besar bagi dirinya
sendiri. Para pahlawan berfokus memberi manfaat bagi orang lain, orang
biasa hanya memikirkan keuntungan diri sendiri.
Dalam perjalanan
hidup, ada banyak waktu ketika kita seharusnya berpikir apa manfaat bagi
orang lain, tapi justru berpikir apa manfaat bagi diri sendiri. Untuk
menjadi pahlawan, kita tidak perlu peralatan canggih seperti Batman,
tidak perlu bisa terbang seperti Superman, juga tidak perlu digigit
laba-laba ajaib seperti Spiderman. Ada banyak cara untuk menjadi
pahlawan. Salah satunya adalah menutup lubang di jalan, agar orang lain
bisa selamat dalam perjalanan.
Sudah Lama Tidak Ngeblog
Sudah sekitar satu bulan lebih saya tidak pernah menulis di blog kesayangan saya ini. Ohh well, saya tidak lagi sibuk atau sudah tidak hobi menulis lagi. Tetapi jelas tidak ada yang tersirat dalam pikiran ini untuk lalu dituliskan di dalam blog ini. Maka dari itu selama satu bulan lebih, saya hanya sekedar melihat isi blog ini dan mereviewnya kembali tulisan-tulisan yang sudah lama saya buat. Oleh sebab itu saya akan kembali menulis disini, saya akan kembali mecurahkan apa yang tersirat dalam pikiran ini. okeeyyy yang terakhir mungkin terdengar sedikit lebay :)
Langganan:
Postingan (Atom)