Banyak orang percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, selain rezeki dan
usia. Dalam tiga hal itu—jodoh, mati, dan rezeki—konon manusia harus
percaya pada ketentuan Tuhan, karena memang manusia tak bisa menentukan
apalagi memastikan.
Dalam rezeki, misalnya, kita bisa banting
tulang dan berpanas-hujan, bekerja siang malam. Tapi jika memang belum
rezeki, tetap saja uang susah didapatkan. Di lain waktu, kita sedang
enak-enakan di rumah, tiba-tiba rezeki datang sendiri dalam bentuk tak
terduga. Rezeki itu misteri, karenanya manusia pun percaya rezeki ada di
tangan Tuhan. Tugas kita mencarinya, dan Tuhan yang menentukan.
Begitu pula usia dan kematian. Kita tak pernah tahu berapa umur kita di dunia ini, dan kapan atau di mana akan mati.
Kadang
ada orang yang tiba-tiba mati tanpa sakit sama sekali. Ada pula yang
sudah sakit bertahun-tahun tapi tetap bertahan hidup. Lainnya lagi jatuh
sakit dan telah diupayakan berobat kemana-mana, menghabiskan banyak
biaya, melibatkan dokter-dokter tingkat dunia, tapi tetap tak tertolong.
Usia dan kematian menjadi ketentuan Tuhan, dan manusia tak berdaya
dalam ketentuan itu. Kalau waktunya mati, berusaha bagaimana pun tetap
saja mati.
Lalu jodoh. Bisakah kita yakin siapa yang kelak akan
menjadi jodoh kita? Saya tidak bisa. Dan sepertinya masing-masing orang
juga tidak memiliki kemampuan untuk memastikan siapa yang akan menjadi
jodohnya. Ada orang yang telah pacaran bertahun-tahun, dan tampaknya
mereka akan bersama hingga menikah. Tapi kemudian putus di tengah jalan.
Lalu kita menyimpulkan, “Yah, memang belum jodoh.”
Di lain
waktu, kita mendengar ada orang yang tidak pernah keluar rumah, lalu
sekalinya keluar menemukan orang yang tepat, lalu pacaran, lalu nyebar
undangan pernikahan, lalu teman-temannya kaget bukan kepalang. Dan kita
pun tersenyum sambil berucap, “Yah, jodoh memang aneh dan misterius.”
Karena
aneh dan misterius itulah kita menganggap jodoh sebagai hal yang tak
pasti, dan karenanya kita menggantungkan pada ketentuan Tuhan. Kita
meyakini, jika memang Tuhan tidak berkehendak, dua manusia yang telah
bersama bertahun-tahun sekalipun bisa terpisah. Sebaliknya, jika Tuhan
memang berkehendak, orang yang terpisah bermil-mil jauhnya bisa berjumpa
dan menikah. Seperti kata pepatah, asam di gunung dan garam di laut pun
bisa bertemu jika memang berjodoh.
Jadi, dalam hal
jodoh—sebagaimana dalam rezeki dan usia—manusia hanya bisa berusaha,
namun tidak bisa memastikan. Kita hanya bisa mencari pacar, mencari
jodoh, mencari pasangan, namun ketentuan tetap di tangan Tuhan.
Nah,
di dalam upaya pencarian itu, kita biasanya tidak hanya menggantungkan
sepenuhnya pada takdir Tuhan, namun juga memasang setumpuk kriteria yang
kita inginkan—dari penampilan fisik, tingkat usia, latar belakang,
hingga pandangan hidup. Meski kita percaya jodoh ada di tangan Tuhan,
namun kita tetap selektif.
Di antara kriteria yang biasa kita
gunakan untuk memilih jodoh, kesamaan agama adalah satu di antaranya.
Tidak sedikit di antara kita yang memandang perbedaan agama antar
suami-istri bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Misalnya
bagaimana menentukan agama bagi anak-anak kelak. Memang ada pasangan
yang “nekat” kawin meski beda agama, namun lebih banyak yang tidak.
Mungkin,
kita yang termasuk generasi masa kini bisa berpandangan cukup liberal,
misalnya tidak terlalu merisaukan perbedaan agama untuk sebuah
perkawinan. Artinya, jika pacar kita beda agama, bisa jadi kita tidak
terlalu merisaukan dan tetap akan menikah dengannya. Tapi bagaimana
dengan orang tua kita? Mereka belum tentu seliberal kita, dan belum
tentu merestui pernikahan kita jika calon pasangan beda agama. Di negeri
ini, kesamaan agama bahkan menempati peringkat atas dalam hal memilih
jodoh.
Selain itu, sebagai orang yang hidup dengan menganut
budaya ketimuran, kita pun membutuhkan restu orang tua dalam perkawinan
yang kita jalani—baik restu formal maupun informal. Kita tentu
menginginkan orang tua dan keluarga bisa menerima pasangan kita,
menjadikan suami atau istri kita sebagai bagian dari mereka. Dan untuk
diterima itu, kesamaan agama sering kali menjadi salah satu syarat.
Banyak
teman yang menyatakan bahwa penerimaan keluarga adalah hal penting
dalam memilih pasangan. Meski kita merasa cocok dengan pasangan yang
kita pilih sekali pun, rasanya belum paripurna jika keluarga—khususnya
orang tua kita—tidak bisa menerima kehadirannya. Dan saya pun setuju.
Jika kelak saya menikah, saya tentu ingin orang tua dan keluarga bisa
menerima pasangan saya, sebagaimana saya ingin keluarga pasangan
menerima saya.
Dan untuk bisa diterima itu, sepertinya, saya
harus memenuhi kriteria yang ditetapkan orang tua, yang salah satunya
adalah persamaan agama. Semodern atau bahkan seliberal apa pun diri
saya, tetap saja saya memiliki keluarga dan orang tua yang harus
dihormati. Artinya, jika suatu hari menemukan seseorang yang saya anggap
jodoh, namun ternyata berbeda agama, saya harus memikirkan kembali, dan
memikirkan kembali, dan memikirkan kembali, untuk menikahinya.
Cinta
dan agama, dalam budaya kita, sepertinya memang tidak ditakdirkan
seiring sejalan. Cinta dan agama, sepertinya, memang tidak berjodoh,
sehingga jika dua orang berbeda agama memutuskan untuk menikah, biasanya
timbul berbagai polemik. Jangankan di dunia nyata, bahkan dalam kisah
film pun cinta dan agama sering sulit mendapat restu.
Jadi, kita
percaya jodoh ada di tangan Tuhan. Tapi kita juga menentukan syarat
bahwa jodoh harus seagama. Di atas semua itu, jodoh tetap misteri,
karena kita tak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita. Pertanyaannya,
bagaimana kalau jodoh yang ditentukan Tuhan untuk kita ternyata berbeda
agama...?
Sebagai lajang, saya kadang membayangkan. Suatu hari
saya bertemu dengan seorang perempuan yang membuat saya jatuh cinta,
bahkan mabuk kepayang. Dia memenuhi semua kriteria yang saya inginkan,
dan lebih penting lagi dia menerima cinta saya, serta bersedia diajak
menikah. Saya meyakini dialah jodoh saya, karena bersamanya saya merasa
tenang, tenteram, dan bahagia. Saya bersyukur menemukannya, sebagaimana
dia bahagia bersama saya.
Tapi kemudian kami tahu, ternyata kami
berbeda agama. Sebesar apa pun cinta saya kepadanya, seyakin apa pun dia
jodoh saya, orang tua kami belum tentu setuju dan memberi restu, dan
keluarga pun belum tentu bisa menerima pernikahan kami. Bagi keluarga
saya maupun keluarga perempuan itu, syarat penting untuk pernikahan
adalah kesamaan keyakinan. Keluarga saya tidak bisa menerimanya, dan
keluarganya juga tidak bisa menerima saya.
Jalan tengah yang
kompromistis mungkin salah satu di antara kami pindah keyakinan, agar
agama kami sama. Tapi kami sama-sama idealis, dan lebih memilih berpisah
daripada pindah agama. Maka dua orang yang telah yakin sama-sama
berjodoh pun kemudian berpisah karena perbedaan keyakinan.
Setelah
itu—masih dalam bayangan saya—di hari-hari selanjutnya saya tidak bisa
jatuh cinta lagi. Saya masih terus teringat pada perempuan itu, tetap
jatuh cinta kepadanya, dan tak pernah mampu jatuh cinta kepada perempuan
lain. Saya ingin jatuh cinta lagi, saya ingin menemukan perempuan yang
akan menjadi pendamping saya sampai mati, namun takdir tak juga
mempertemukan jodoh yang tepat. Hingga kemudian saya mati, saya tetap
melajang.
Sampai di sini, bayangan saya mulai nakal. Saya
membayangkan, di akhirat kelak, Tuhan bertanya kepada saya, “Hei,
Hamba-Ku, kenapa kau melajang seumur hidup?”
“Tuhan,”
saya menjawab, “sebenarnya saya ingin menikah dengan perempuan yang
telah Kau-ciptakan. Dulu, saat masih hidup di dunia, saya pernah bertemu
dengan seorang hamba-Mu yang membuat saya jatuh cinta. Saya ingin
menikah dengannya, ingin menjadikannya pendamping seumur hidup. Kami
sama-sama jatuh cinta dan yakin berjodoh. Tapi kemudian kami memilih
berpisah, karena perbedaan agama. Sejak itu saya tak pernah bisa jatuh
cinta lagi, hingga tetap melajang ketika mati.”
“Kau percaya jodoh ada di tangan-Ku?”
“Tentu saya percaya, Tuhan.”
Dan
Tuhan menegaskan, “Kau percaya jodoh adalah ketentuan-Ku. Tapi ketika
Ku-berikan jodoh untukmu, kau menolak karena perbedaan agama. Jadi, apa
arti kepercayaan dan imanmu kepada-Ku?”
Saya tak mampu menjawab. Bahkan setelah bertahun-tahun memikirkannya pun, saya tetap tak mampu menjawab.