Banyak orang percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, selain rezeki dan
usia. Dalam tiga hal itu—jodoh, mati, dan rezeki—konon manusia harus
percaya pada ketentuan Tuhan, karena memang manusia tak bisa menentukan
apalagi memastikan.
Dalam rezeki, misalnya, kita bisa banting
tulang dan berpanas-hujan, bekerja siang malam. Tapi jika memang belum
rezeki, tetap saja uang susah didapatkan. Di lain waktu, kita sedang
enak-enakan di rumah, tiba-tiba rezeki datang sendiri dalam bentuk tak
terduga. Rezeki itu misteri, karenanya manusia pun percaya rezeki ada di
tangan Tuhan. Tugas kita mencarinya, dan Tuhan yang menentukan.
Begitu pula usia dan kematian. Kita tak pernah tahu berapa umur kita di dunia ini, dan kapan atau di mana akan mati.
Kadang
ada orang yang tiba-tiba mati tanpa sakit sama sekali. Ada pula yang
sudah sakit bertahun-tahun tapi tetap bertahan hidup. Lainnya lagi jatuh
sakit dan telah diupayakan berobat kemana-mana, menghabiskan banyak
biaya, melibatkan dokter-dokter tingkat dunia, tapi tetap tak tertolong.
Usia dan kematian menjadi ketentuan Tuhan, dan manusia tak berdaya
dalam ketentuan itu. Kalau waktunya mati, berusaha bagaimana pun tetap
saja mati.
Lalu jodoh. Bisakah kita yakin siapa yang kelak akan
menjadi jodoh kita? Saya tidak bisa. Dan sepertinya masing-masing orang
juga tidak memiliki kemampuan untuk memastikan siapa yang akan menjadi
jodohnya. Ada orang yang telah pacaran bertahun-tahun, dan tampaknya
mereka akan bersama hingga menikah. Tapi kemudian putus di tengah jalan.
Lalu kita menyimpulkan, “Yah, memang belum jodoh.”
Di lain
waktu, kita mendengar ada orang yang tidak pernah keluar rumah, lalu
sekalinya keluar menemukan orang yang tepat, lalu pacaran, lalu nyebar
undangan pernikahan, lalu teman-temannya kaget bukan kepalang. Dan kita
pun tersenyum sambil berucap, “Yah, jodoh memang aneh dan misterius.”
Karena
aneh dan misterius itulah kita menganggap jodoh sebagai hal yang tak
pasti, dan karenanya kita menggantungkan pada ketentuan Tuhan. Kita
meyakini, jika memang Tuhan tidak berkehendak, dua manusia yang telah
bersama bertahun-tahun sekalipun bisa terpisah. Sebaliknya, jika Tuhan
memang berkehendak, orang yang terpisah bermil-mil jauhnya bisa berjumpa
dan menikah. Seperti kata pepatah, asam di gunung dan garam di laut pun
bisa bertemu jika memang berjodoh.
Jadi, dalam hal
jodoh—sebagaimana dalam rezeki dan usia—manusia hanya bisa berusaha,
namun tidak bisa memastikan. Kita hanya bisa mencari pacar, mencari
jodoh, mencari pasangan, namun ketentuan tetap di tangan Tuhan.
Nah,
di dalam upaya pencarian itu, kita biasanya tidak hanya menggantungkan
sepenuhnya pada takdir Tuhan, namun juga memasang setumpuk kriteria yang
kita inginkan—dari penampilan fisik, tingkat usia, latar belakang,
hingga pandangan hidup. Meski kita percaya jodoh ada di tangan Tuhan,
namun kita tetap selektif.
Di antara kriteria yang biasa kita
gunakan untuk memilih jodoh, kesamaan agama adalah satu di antaranya.
Tidak sedikit di antara kita yang memandang perbedaan agama antar
suami-istri bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Misalnya
bagaimana menentukan agama bagi anak-anak kelak. Memang ada pasangan
yang “nekat” kawin meski beda agama, namun lebih banyak yang tidak.
Mungkin,
kita yang termasuk generasi masa kini bisa berpandangan cukup liberal,
misalnya tidak terlalu merisaukan perbedaan agama untuk sebuah
perkawinan. Artinya, jika pacar kita beda agama, bisa jadi kita tidak
terlalu merisaukan dan tetap akan menikah dengannya. Tapi bagaimana
dengan orang tua kita? Mereka belum tentu seliberal kita, dan belum
tentu merestui pernikahan kita jika calon pasangan beda agama. Di negeri
ini, kesamaan agama bahkan menempati peringkat atas dalam hal memilih
jodoh.
Selain itu, sebagai orang yang hidup dengan menganut
budaya ketimuran, kita pun membutuhkan restu orang tua dalam perkawinan
yang kita jalani—baik restu formal maupun informal. Kita tentu
menginginkan orang tua dan keluarga bisa menerima pasangan kita,
menjadikan suami atau istri kita sebagai bagian dari mereka. Dan untuk
diterima itu, kesamaan agama sering kali menjadi salah satu syarat.
Banyak
teman yang menyatakan bahwa penerimaan keluarga adalah hal penting
dalam memilih pasangan. Meski kita merasa cocok dengan pasangan yang
kita pilih sekali pun, rasanya belum paripurna jika keluarga—khususnya
orang tua kita—tidak bisa menerima kehadirannya. Dan saya pun setuju.
Jika kelak saya menikah, saya tentu ingin orang tua dan keluarga bisa
menerima pasangan saya, sebagaimana saya ingin keluarga pasangan
menerima saya.
Dan untuk bisa diterima itu, sepertinya, saya
harus memenuhi kriteria yang ditetapkan orang tua, yang salah satunya
adalah persamaan agama. Semodern atau bahkan seliberal apa pun diri
saya, tetap saja saya memiliki keluarga dan orang tua yang harus
dihormati. Artinya, jika suatu hari menemukan seseorang yang saya anggap
jodoh, namun ternyata berbeda agama, saya harus memikirkan kembali, dan
memikirkan kembali, dan memikirkan kembali, untuk menikahinya.
Cinta
dan agama, dalam budaya kita, sepertinya memang tidak ditakdirkan
seiring sejalan. Cinta dan agama, sepertinya, memang tidak berjodoh,
sehingga jika dua orang berbeda agama memutuskan untuk menikah, biasanya
timbul berbagai polemik. Jangankan di dunia nyata, bahkan dalam kisah
film pun cinta dan agama sering sulit mendapat restu.
Jadi, kita
percaya jodoh ada di tangan Tuhan. Tapi kita juga menentukan syarat
bahwa jodoh harus seagama. Di atas semua itu, jodoh tetap misteri,
karena kita tak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita. Pertanyaannya,
bagaimana kalau jodoh yang ditentukan Tuhan untuk kita ternyata berbeda
agama...?
Sebagai lajang, saya kadang membayangkan. Suatu hari
saya bertemu dengan seorang perempuan yang membuat saya jatuh cinta,
bahkan mabuk kepayang. Dia memenuhi semua kriteria yang saya inginkan,
dan lebih penting lagi dia menerima cinta saya, serta bersedia diajak
menikah. Saya meyakini dialah jodoh saya, karena bersamanya saya merasa
tenang, tenteram, dan bahagia. Saya bersyukur menemukannya, sebagaimana
dia bahagia bersama saya.
Tapi kemudian kami tahu, ternyata kami
berbeda agama. Sebesar apa pun cinta saya kepadanya, seyakin apa pun dia
jodoh saya, orang tua kami belum tentu setuju dan memberi restu, dan
keluarga pun belum tentu bisa menerima pernikahan kami. Bagi keluarga
saya maupun keluarga perempuan itu, syarat penting untuk pernikahan
adalah kesamaan keyakinan. Keluarga saya tidak bisa menerimanya, dan
keluarganya juga tidak bisa menerima saya.
Jalan tengah yang
kompromistis mungkin salah satu di antara kami pindah keyakinan, agar
agama kami sama. Tapi kami sama-sama idealis, dan lebih memilih berpisah
daripada pindah agama. Maka dua orang yang telah yakin sama-sama
berjodoh pun kemudian berpisah karena perbedaan keyakinan.
Setelah
itu—masih dalam bayangan saya—di hari-hari selanjutnya saya tidak bisa
jatuh cinta lagi. Saya masih terus teringat pada perempuan itu, tetap
jatuh cinta kepadanya, dan tak pernah mampu jatuh cinta kepada perempuan
lain. Saya ingin jatuh cinta lagi, saya ingin menemukan perempuan yang
akan menjadi pendamping saya sampai mati, namun takdir tak juga
mempertemukan jodoh yang tepat. Hingga kemudian saya mati, saya tetap
melajang.
Sampai di sini, bayangan saya mulai nakal. Saya
membayangkan, di akhirat kelak, Tuhan bertanya kepada saya, “Hei,
Hamba-Ku, kenapa kau melajang seumur hidup?”
“Tuhan,”
saya menjawab, “sebenarnya saya ingin menikah dengan perempuan yang
telah Kau-ciptakan. Dulu, saat masih hidup di dunia, saya pernah bertemu
dengan seorang hamba-Mu yang membuat saya jatuh cinta. Saya ingin
menikah dengannya, ingin menjadikannya pendamping seumur hidup. Kami
sama-sama jatuh cinta dan yakin berjodoh. Tapi kemudian kami memilih
berpisah, karena perbedaan agama. Sejak itu saya tak pernah bisa jatuh
cinta lagi, hingga tetap melajang ketika mati.”
“Kau percaya jodoh ada di tangan-Ku?”
“Tentu saya percaya, Tuhan.”
Dan
Tuhan menegaskan, “Kau percaya jodoh adalah ketentuan-Ku. Tapi ketika
Ku-berikan jodoh untukmu, kau menolak karena perbedaan agama. Jadi, apa
arti kepercayaan dan imanmu kepada-Ku?”
Saya tak mampu menjawab. Bahkan setelah bertahun-tahun memikirkannya pun, saya tetap tak mampu menjawab.
2013-04-21
Gila
Saya bertanya pada seorang gila, “Kenapa kau gila?”
Orang gila itu menjawab, “Karena, kalau dipikir-pikir, semua hal tidak masuk akal.”
Dia benar.
Mungkin saya juga gila.
Orang gila itu menjawab, “Karena, kalau dipikir-pikir, semua hal tidak masuk akal.”
Dia benar.
Mungkin saya juga gila.
SBY Main Twitter, dan Boediono Mengirim Mention
SBY, atau Susilo Bambang Yudhoyono, bikin akun Twitter pribadi, dengan
username @SBYudhoyono. Tweet pertamanya berbunyi, “Halo Indonesia. Saya
bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan
inspirasi. Salam kenal. *SBY*”
Orang pertama yang di-follow SBY di Twitter adalah wakilnya dalam pemerintahan, yaitu Boediono, yang username-nya @boediono. Sesaat setelah di-follow SBY, Boediono mengirim mention, “Bapak @SBYudhoyono terima kasih sudah memfollow akun saya. Senang dapat berbagi aspirasi dengan Bapak & seluruh saudara sebangsa setanah air.”
Sebagai pengguna Twitter yang baik, SBY membalas mention itu, “@boediono terima kasih Pak Boed. Salam untuk keluarga. *SBY*”
Terlepas dari nada basa-basi formalnya, percakapan itu sebenarnya sangat manis dan baik-baik saja. Tidak ada yang salah dalam percakapan itu. Namun, karena percakapan itu dilakukan dua orang penting—presiden dan wakil presiden Indonesia—maka percakapan yang baik dan wajar itu pun mengundang komentar macam-macam. Apalagi, di Twitter, semua orang bisa mengirim komentar untuk siapa pun dengan mudah.
Dari banyaknya komentar (mention) untuk kedua orang di atas, salah satu komentar berbunyi, “Kaya kagak ketemu setaun aje.”
Saya bisa membayangkan maksud si pengomentar itu. Mungkin, dalam bayangannya, Pak SBY dan Pak Boediono kan presiden dan wakil presiden. Kedua orang itu tentunya bertemu setiap hari, saling sapa setiap waktu, bahkan bisa jadi bekerja dalam satu ruang kantor yang sama. Tapi kenapa di Twitter harus pakai basa-basi “salam untuk keluarga” segala, seolah jarang ketemu?
Kultur di Indonesia memang belum terbiasa membedakan antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Akibatnya, kita sering menyamakan keduanya meski sebenarnya jauh berbeda. Seperti ketika SBY mulai dolanan Twitter, kita beranggapan bahwa SBY bermain Twitter sebagai presiden. Padahal, ketika sedang di Twitter, SBY bukan lagi presiden, tapi sebagai pribadi—seorang lelaki, seorang ayah, seorang suami.
Presiden adalah jabatan struktural. Jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Jika ingin diperluas, jabatan struktural juga memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun. Selain presiden, jabatan semacam gubernur, walikota, bupati, sampai camat dan lurah, juga termasuk jabatan struktural.
Berbeda dengan jabatan struktural, adalah jabatan nonstruktural. Jika jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, serta memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun, maka jabatan nonstruktural adalah kebalikannya. Jabatan nonstruktural adalah jabatan yang diberikan keluarga atau masyarakatnya secara sukarela.
Contoh mudah jabatan nonstruktural adalah sebutan yang kita berikan kepada lelaki yang menjadi ayah kita, atau sebutan yang kita berikan kepada wanita yang menjadi ibu kita. “Ayah” dan “Ibu” adalah jabatan nonstruktural. Itu jabatan yang secara otomatis dimiliki lelaki atau wanita yang memiliki anak.
Dalam jabatan mereka sebagai ayah dan ibu, keduanya tidak memiliki jam kerja yang pasti (sering kali sampai 24 jam tanpa henti), mereka tidak digaji (bahkan konon mereka sudah bahagia ketika melihat anak-anaknya dapat hidup dengan baik), mereka tidak punya hari libur (bahkan sering sampai kurang tidur), tidak ada jangka waktu menjabat (jabatan itu mereka sandang sampai mati), dan tidak ada dana pensiun (karena jabatannya memang tak pernah selesai).
Ciri-ciri jabatan nonstruktural—sebagaimana yang dijelaskan di atas—tentu berbeda dengan jabatan struktural semacam presiden, wakil presiden, gubernur, walikota, bupati, camat, sampai lurah dan kepala dusun. Karena sistem jabatannya berbeda, maka jam kerja mereka pun berbeda. Karena itu pula, penyebutan jabatan struktural hanya berlaku ketika mereka sedang bekerja. Begitu jam kerja mereka selesai, atau sedang tidak bekerja, jabatan mereka pun ditanggalkan.
Ketika SBY sedang bekerja di kantornya, atau sedang memimpin rapat dalam pemerintahannya, maka SBY adalah seorang presiden. Itu jabatan struktural yang dimilikinya. Tetapi, ketika SBY sedang bersenda gurau dengan keluarganya, atau sedang asyik nulis tweet di Twitter di luar jam kerjanya, maka SBY bukan lagi presiden. Dia seorang lelaki, seorang suami, seorang ayah, atau setidaknya seorang teman bagi orang lainnya.
Karena itu pula, tweet pertama yang ditulis SBY di Twitter berbunyi, “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY*”
Coba perhatikan kalimat itu. SBY menyapa Indonesia—khususnya para pengguna Twitter yang tinggal di Indonesia. Namun, dalam tweet itu, SBY juga menyertakan kata, “Salam kenal.” Padahal, kalau kita pikir, memangnya siapa bocah Indonesia yang tidak kenal SBY? Wong dia presiden Indonesia.
Tetapi, SBY tentu menyadari, bahwa di Twitter dia “orang biasa”, bukan lagi presiden. Dia membuat akun Twitter sebagai pribadi, dan menulis tweet sebagai seorang suami, seorang ayah, atau seorang teman. Karena menyadari dirinya masih “anak baru” di Twitter, SBY pun tak lupa menyatakan “Salam kenal.” Melalui tweet itu, SBY sebenarnya telah menunjukkan bahwa dia bukan presiden ketika sedang bermain Twitter.
Karenanya, ketika Boediono mengirim mention, SBY pun membalasnya sebagai seorang teman kepada temannya, bukan sebagai presiden kepada wakilnya. Dalam jabatan mereka sebagai presiden dan wakil, mungkin keduanya biasa ketemu, biasa bercakap, dan biasa saling sapa. Tapi mungkin keduanya terlalu sibuk mikir kerja, sampai tak ingat masing-masingnya punya keluarga. Ketika di Twitter, SBY baru ingat keluarga temannya, dan titip salam untuk mereka.
Tidak ada yang salah dengan percakapan SBY dan Boediono. Hanya saja, kita yang mungkin belum terbiasa membedakan jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Kita belum terbiasa memahami bahwa jabatan struktural hanya berlaku pada jam kerja, dan jabatan itu ditanggalkan ketika jam kerja berakhir. Yang kadang ironis, ada pejabat struktural yang masih saja merasa menyandang jabatannya ketika sedang tidak bekerja.
Jadi, ketika seorang presiden atau gubernur atau bupati dan semacamnya sedang bekerja, mereka adalah presiden, gubernur, bupati, dan semacamnya. Karenanya, kita pun menyebut mereka “Pak Presiden”, “Pak Gubernur”, “Pak Bupati”, atau semacamnya. Tetapi ketika mereka sedang asyik bercanda dengan keluarganya di rumah di luar jam kerja, mereka bukan lagi presiden, bukan lagi gubernur, bukan lagi bupati. Maka kita pun menyebut mereka dengan namanya.
Ketika SBY sedang memimpin rapat di kantor pemerintahan, dia adalah “Pak Presiden”. Tetapi, ketika SBY sedang menulis tweet di Twitter, dia adalah “Pak SBY”. Ketika Jokowi sedang sibuk bekerja di kantornya, dia adalah “Pak Gubernur”. Tetapi ketika Jokowi sedang makan soto bersama keluarganya di malam Minggu, dia adalah “Pak Jokowi”. Jabatan struktural memiliki jam kerja yang jelas, dan sebutan untuk jabatan mereka pun hanya berlaku pada waktu jam kerja, atau ketika mereka sedang bekerja.
Berbeda halnya dengan jabatan nonstruktural. Karena tidak memiliki jam kerja yang pasti, dan jabatan itu disandang sampai seumur hidup, maka kita pun tetap menyebut jabatan mereka di mana pun, dan kapan pun. Wanita yang kita panggil “Ibu” tetap memiliki dan menyandang jabatan itu meski di mana pun, di waktu kapan pun. Di rumah, dia seorang “Ibu”. Di pasar, dia tetap “Ibu”. Bahkan umpama dia juga bermain Twitter, kita tetap memanggilnya “Ibu”.
Selain ayah dan ibu, ulama juga termasuk jabatan nonstruktural, karena sebutan ulama diberikan masyarakat sebagai penghargaan kepada seseorang, dan jabatan itu tidak memiliki jam kerja serta batas waktu, apalagi gaji dan dana pensiun. Karena ulama bukan jabatan nonstruktural, maka kita pun tetap memanggilnya dengan jabatannya tanpa batas ruang dan waktu. So, ketika Gus Mus membuat akun di Twitter, Gus Mus tetap ulama, dan kita tetap memanggilnya “Pak Kyai”, atau semacamnya.
Ada perbedaan yang jelas antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Namun, kultur budaya kita yang mungkin belum terbiasa memahami dan menggunakannya. Karenanya, kita akan berterima kasih, jika Pak SBY atau pejabat lainnya mulai memasyarakatkan hal itu melalui Twitter. Agar rakyat Republik Twitter ini bisa lebih memahami kapan pemimpinnya menjadi presiden yang memimpin negara, dan kapan menjadi orang biasa yang ramah disapa.
Orang pertama yang di-follow SBY di Twitter adalah wakilnya dalam pemerintahan, yaitu Boediono, yang username-nya @boediono. Sesaat setelah di-follow SBY, Boediono mengirim mention, “Bapak @SBYudhoyono terima kasih sudah memfollow akun saya. Senang dapat berbagi aspirasi dengan Bapak & seluruh saudara sebangsa setanah air.”
Sebagai pengguna Twitter yang baik, SBY membalas mention itu, “@boediono terima kasih Pak Boed. Salam untuk keluarga. *SBY*”
Terlepas dari nada basa-basi formalnya, percakapan itu sebenarnya sangat manis dan baik-baik saja. Tidak ada yang salah dalam percakapan itu. Namun, karena percakapan itu dilakukan dua orang penting—presiden dan wakil presiden Indonesia—maka percakapan yang baik dan wajar itu pun mengundang komentar macam-macam. Apalagi, di Twitter, semua orang bisa mengirim komentar untuk siapa pun dengan mudah.
Dari banyaknya komentar (mention) untuk kedua orang di atas, salah satu komentar berbunyi, “Kaya kagak ketemu setaun aje.”
Saya bisa membayangkan maksud si pengomentar itu. Mungkin, dalam bayangannya, Pak SBY dan Pak Boediono kan presiden dan wakil presiden. Kedua orang itu tentunya bertemu setiap hari, saling sapa setiap waktu, bahkan bisa jadi bekerja dalam satu ruang kantor yang sama. Tapi kenapa di Twitter harus pakai basa-basi “salam untuk keluarga” segala, seolah jarang ketemu?
Kultur di Indonesia memang belum terbiasa membedakan antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Akibatnya, kita sering menyamakan keduanya meski sebenarnya jauh berbeda. Seperti ketika SBY mulai dolanan Twitter, kita beranggapan bahwa SBY bermain Twitter sebagai presiden. Padahal, ketika sedang di Twitter, SBY bukan lagi presiden, tapi sebagai pribadi—seorang lelaki, seorang ayah, seorang suami.
Presiden adalah jabatan struktural. Jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Jika ingin diperluas, jabatan struktural juga memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun. Selain presiden, jabatan semacam gubernur, walikota, bupati, sampai camat dan lurah, juga termasuk jabatan struktural.
Berbeda dengan jabatan struktural, adalah jabatan nonstruktural. Jika jabatan struktural adalah jabatan hirarkis yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, serta memiliki jam kerja yang jelas, gaji, hari libur, jangka waktu menjabat, sampai kemungkinan dana pensiun, maka jabatan nonstruktural adalah kebalikannya. Jabatan nonstruktural adalah jabatan yang diberikan keluarga atau masyarakatnya secara sukarela.
Contoh mudah jabatan nonstruktural adalah sebutan yang kita berikan kepada lelaki yang menjadi ayah kita, atau sebutan yang kita berikan kepada wanita yang menjadi ibu kita. “Ayah” dan “Ibu” adalah jabatan nonstruktural. Itu jabatan yang secara otomatis dimiliki lelaki atau wanita yang memiliki anak.
Dalam jabatan mereka sebagai ayah dan ibu, keduanya tidak memiliki jam kerja yang pasti (sering kali sampai 24 jam tanpa henti), mereka tidak digaji (bahkan konon mereka sudah bahagia ketika melihat anak-anaknya dapat hidup dengan baik), mereka tidak punya hari libur (bahkan sering sampai kurang tidur), tidak ada jangka waktu menjabat (jabatan itu mereka sandang sampai mati), dan tidak ada dana pensiun (karena jabatannya memang tak pernah selesai).
Ciri-ciri jabatan nonstruktural—sebagaimana yang dijelaskan di atas—tentu berbeda dengan jabatan struktural semacam presiden, wakil presiden, gubernur, walikota, bupati, camat, sampai lurah dan kepala dusun. Karena sistem jabatannya berbeda, maka jam kerja mereka pun berbeda. Karena itu pula, penyebutan jabatan struktural hanya berlaku ketika mereka sedang bekerja. Begitu jam kerja mereka selesai, atau sedang tidak bekerja, jabatan mereka pun ditanggalkan.
Ketika SBY sedang bekerja di kantornya, atau sedang memimpin rapat dalam pemerintahannya, maka SBY adalah seorang presiden. Itu jabatan struktural yang dimilikinya. Tetapi, ketika SBY sedang bersenda gurau dengan keluarganya, atau sedang asyik nulis tweet di Twitter di luar jam kerjanya, maka SBY bukan lagi presiden. Dia seorang lelaki, seorang suami, seorang ayah, atau setidaknya seorang teman bagi orang lainnya.
Karena itu pula, tweet pertama yang ditulis SBY di Twitter berbunyi, “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY*”
Coba perhatikan kalimat itu. SBY menyapa Indonesia—khususnya para pengguna Twitter yang tinggal di Indonesia. Namun, dalam tweet itu, SBY juga menyertakan kata, “Salam kenal.” Padahal, kalau kita pikir, memangnya siapa bocah Indonesia yang tidak kenal SBY? Wong dia presiden Indonesia.
Tetapi, SBY tentu menyadari, bahwa di Twitter dia “orang biasa”, bukan lagi presiden. Dia membuat akun Twitter sebagai pribadi, dan menulis tweet sebagai seorang suami, seorang ayah, atau seorang teman. Karena menyadari dirinya masih “anak baru” di Twitter, SBY pun tak lupa menyatakan “Salam kenal.” Melalui tweet itu, SBY sebenarnya telah menunjukkan bahwa dia bukan presiden ketika sedang bermain Twitter.
Karenanya, ketika Boediono mengirim mention, SBY pun membalasnya sebagai seorang teman kepada temannya, bukan sebagai presiden kepada wakilnya. Dalam jabatan mereka sebagai presiden dan wakil, mungkin keduanya biasa ketemu, biasa bercakap, dan biasa saling sapa. Tapi mungkin keduanya terlalu sibuk mikir kerja, sampai tak ingat masing-masingnya punya keluarga. Ketika di Twitter, SBY baru ingat keluarga temannya, dan titip salam untuk mereka.
Tidak ada yang salah dengan percakapan SBY dan Boediono. Hanya saja, kita yang mungkin belum terbiasa membedakan jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Kita belum terbiasa memahami bahwa jabatan struktural hanya berlaku pada jam kerja, dan jabatan itu ditanggalkan ketika jam kerja berakhir. Yang kadang ironis, ada pejabat struktural yang masih saja merasa menyandang jabatannya ketika sedang tidak bekerja.
Jadi, ketika seorang presiden atau gubernur atau bupati dan semacamnya sedang bekerja, mereka adalah presiden, gubernur, bupati, dan semacamnya. Karenanya, kita pun menyebut mereka “Pak Presiden”, “Pak Gubernur”, “Pak Bupati”, atau semacamnya. Tetapi ketika mereka sedang asyik bercanda dengan keluarganya di rumah di luar jam kerja, mereka bukan lagi presiden, bukan lagi gubernur, bukan lagi bupati. Maka kita pun menyebut mereka dengan namanya.
Ketika SBY sedang memimpin rapat di kantor pemerintahan, dia adalah “Pak Presiden”. Tetapi, ketika SBY sedang menulis tweet di Twitter, dia adalah “Pak SBY”. Ketika Jokowi sedang sibuk bekerja di kantornya, dia adalah “Pak Gubernur”. Tetapi ketika Jokowi sedang makan soto bersama keluarganya di malam Minggu, dia adalah “Pak Jokowi”. Jabatan struktural memiliki jam kerja yang jelas, dan sebutan untuk jabatan mereka pun hanya berlaku pada waktu jam kerja, atau ketika mereka sedang bekerja.
Berbeda halnya dengan jabatan nonstruktural. Karena tidak memiliki jam kerja yang pasti, dan jabatan itu disandang sampai seumur hidup, maka kita pun tetap menyebut jabatan mereka di mana pun, dan kapan pun. Wanita yang kita panggil “Ibu” tetap memiliki dan menyandang jabatan itu meski di mana pun, di waktu kapan pun. Di rumah, dia seorang “Ibu”. Di pasar, dia tetap “Ibu”. Bahkan umpama dia juga bermain Twitter, kita tetap memanggilnya “Ibu”.
Selain ayah dan ibu, ulama juga termasuk jabatan nonstruktural, karena sebutan ulama diberikan masyarakat sebagai penghargaan kepada seseorang, dan jabatan itu tidak memiliki jam kerja serta batas waktu, apalagi gaji dan dana pensiun. Karena ulama bukan jabatan nonstruktural, maka kita pun tetap memanggilnya dengan jabatannya tanpa batas ruang dan waktu. So, ketika Gus Mus membuat akun di Twitter, Gus Mus tetap ulama, dan kita tetap memanggilnya “Pak Kyai”, atau semacamnya.
Ada perbedaan yang jelas antara jabatan struktural dan jabatan nonstruktural. Namun, kultur budaya kita yang mungkin belum terbiasa memahami dan menggunakannya. Karenanya, kita akan berterima kasih, jika Pak SBY atau pejabat lainnya mulai memasyarakatkan hal itu melalui Twitter. Agar rakyat Republik Twitter ini bisa lebih memahami kapan pemimpinnya menjadi presiden yang memimpin negara, dan kapan menjadi orang biasa yang ramah disapa.
2013-04-11
Masalah Mantan
Keajaiban Dunia ke-13: Tidak pernah punya
pacar, tapi punya banyak mantan. —Twitter, 8 Mei 2012
Sempat heran waktu tahu ada orang yang gak
pernah pacaran, tapi punya banyak mantan. —Twitter, 1 September 2012
Ternyata oh ternyata, istilah mantan sekarang telah
mengalami redefinisi, khususnya untuk sebagian orang. —Twitter, 1 September 2012
Jadi, dalam definisi sekarang, mantan adalah
“orang yang kamu cintai, tapi menolakmu.”
Atau, “orang yang kamu taksir, tapi gak jadian.” —Twitter, 1 September 2012
Karena itulah ada beberapa orang yang
kita tahu gak pernah pacaran dengan siapa pun,
tapi bisa punya banyak mantan. Uhuy! —Twitter, 1 September 2012
Karena itu pula, berarti Titi Kamal adalah mantanku.
Karena aku pernah naksir dia, tapi gak sempat
menyatakannya. Konyol banget, ya. —Twitter, 1 September 2012
Dan karena redefinisi konyol itu pula, satu orang
bisa punya puluhan mantan, meski mereka
bahkan kadang tak saling kenal. —Twitter, 1 September 2012
Meredefinisikan mantan, kupikir-pikir,
adalah cara beberapa orang menghibur diri sendiri.
Kedengarannya tragis memang, tapi juga konyol. —Twitter, 1 September 2012
Yang lebih tragis dan konyol lagi adalah
ketika kamu tahu namamu disebut sebagai mantan
oleh orang yang sebenarnya tidak kamu kenal. —Twitter, 1 September 2012
pacar, tapi punya banyak mantan. —Twitter, 8 Mei 2012
Sempat heran waktu tahu ada orang yang gak
pernah pacaran, tapi punya banyak mantan. —Twitter, 1 September 2012
Ternyata oh ternyata, istilah mantan sekarang telah
mengalami redefinisi, khususnya untuk sebagian orang. —Twitter, 1 September 2012
Jadi, dalam definisi sekarang, mantan adalah
“orang yang kamu cintai, tapi menolakmu.”
Atau, “orang yang kamu taksir, tapi gak jadian.” —Twitter, 1 September 2012
Karena itulah ada beberapa orang yang
kita tahu gak pernah pacaran dengan siapa pun,
tapi bisa punya banyak mantan. Uhuy! —Twitter, 1 September 2012
Karena itu pula, berarti Titi Kamal adalah mantanku.
Karena aku pernah naksir dia, tapi gak sempat
menyatakannya. Konyol banget, ya. —Twitter, 1 September 2012
Dan karena redefinisi konyol itu pula, satu orang
bisa punya puluhan mantan, meski mereka
bahkan kadang tak saling kenal. —Twitter, 1 September 2012
Meredefinisikan mantan, kupikir-pikir,
adalah cara beberapa orang menghibur diri sendiri.
Kedengarannya tragis memang, tapi juga konyol. —Twitter, 1 September 2012
Yang lebih tragis dan konyol lagi adalah
ketika kamu tahu namamu disebut sebagai mantan
oleh orang yang sebenarnya tidak kamu kenal. —Twitter, 1 September 2012
Beberapa Hal yang Perlu Kita Bicarakan Menyangkut Twitter (4)
Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
***
Ketika mendengar pernyataan terakhir itu, jujur saja saya tertawa. Orang bisa mudah menerbitkan buku kalau memiliki banyak follower…? Kedengarannya asyik sekali. Rupanya, di zaman ini, orang tidak membutuhkan proses belajar dan kecerdasan yang cukup untuk bisa menerbitkan buku. Hanya dengan jumlah follower banyak di Twitter, maka… sim salabim, penerbit akan dengan senang hati menerbitkan buku karyamu.
Benarkah memang seperti itu? Semula saya tidak percaya. Dengan logika yang waras, saya sulit menerima kenyataan bahwa ada orang bisa mudah menerbitkan buku kalau memiliki banyak follower. Menerbitkan buku tidak semudah kedengarannya. Tak peduli anak presiden sekalipun, orang tidak gampang menerbitkan buku kalau memang tidak punya kemampuan untuk itu. Apalagi hanya dengan modal banyak follower di Twitter.
Tetapi, beberapa orang kemudian menunjukkan bukti-buktinya. Mereka menyodorkan setumpuk nama yang saat ini telah menerbitkan buku, dan membandingkan jumlah follower mereka di Twitter. Beberapa nama yang mereka sodorkan itu memang “nama baru” dalam dunia penerbitan, dan sama sekali belum pernah menulis buku satu pun. Benarkah mereka sekarang menerbitkan buku karena banyaknya jumlah follower mereka di Twitter?
Dari buku-buku karya “selebtwit” yang pernah saya baca, beberapa di antaranya berisi kumpulan tweet mereka di Twitter, sementara beberapa lainnya murni karya penulisan—bisa novel, bisa pula catatan-catatan tertentu. Umumnya pula, di sampul buku-buku itu tertulis nama akun si penulis (yang biasanya diawali tanda @). Bagi saya itu lucu, karena kesannya “maksa banget” ingin mengenalkan akun Twitternya.
Sekali lagi, benarkah memang penerbit sekarang menjadikan jumlah follower seseorang sebagai pertimbangan mereka dalam menerbitkan buku?
Salah satu orang yang saya follow di Twitter adalah editor di sebuah penerbitan. Dalam salah satu tweet-nya, editor itu menjelaskan bahwa penerbitnya memang menerbitkan buku dari orang-orang yang disebut “selebtwit”. Tetapi, menurutnya, para “selebtwit” itu tidak serta-merta menerbitkan buku tanpa kualifikasi.
Artinya, meski orang-orang itu memiliki banyak follower di Twitter, tapi penerbit juga mempertimbangkan isi atau karya mereka. Dalam bahasa yang lugas, tak peduli kau memiliki jutaan follower sekalipun, kau tidak bisa serta merta menerbitkan buku kalau kenyataannya tidak bisa menulis dengan baik.
Nah, argumentasi dari editor itu pula yang saya gunakan ketika bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sinis menyangkut topik ini. Orang-orang sinis itu menyatakan bahwa standar penerbitan sekarang benar-benar telah jeblok karena siapa pun bisa menerbitkan buku hanya dengan modal jumlah follower di Twitter. Saya katakan pada mereka, bahwa mereka telah keliru memahami, dan saya nyatakan argumentasi di atas.
Tetapi, mereka membalikkan argumentasi saya dengan mudah. Mereka bilang, “Sekarang begini saja. Mungkinkah penerbit mau repot-repot meminta si A (nama seorang selebtwit) untuk menerbitkan buku, jika si A tidak memiliki ratusan ribu follower? Memangnya dulu penerbit ke mana saja ketika si A baru memiliki sepuluh follower? Fakta bahwa ada penerbit mau repot-repot meminta si A agar menulis buku—meski kualitas tulisannya pas-pasan—dengan jelas menunjukkan kalau penerbit itu memandang penting jumlah follower si A.”
Argumentasi itu membuat saya bungkam.
Saya memang tahu, ada orang-orang yang diminta secara khusus oleh penerbit untuk menulis buku. Bukan karena orang itu terkenal pintar menulis (misalnya karena orang itu memiliki blog yang dibaca ribuan orang, atau aktif menulis di koran/majalah), tetapi karena orang itu memiliki banyak follower di Twitter. Itu fakta yang mungkin pahit, tapi memang ada, bahkan cukup banyak. Ketika menemukan fakta itu, mau tak mau saya juga berpikir bahwa penerbit memang mempertimbangkan jumlah follower seseorang ketika menerbitkan bukunya.
Di Twitter, beberapa orang yang sinis atas fenomena tersebut juga sering menyindir adanya penulis-penulis dadakan, yang menerbitkan buku karena jumlah follower mereka yang bejibun. Bahkan, beberapa yang sangat sinis pernah menulis tweet, “Lu belum bisa disebut selebtwit kalau belum nerbitin buku.”
Sepertinya, di zaman ini, Twitter memiliki pengaruh yang amat besar dalam kehidupan sebagian orang. Jika dulu seseorang hanya dicap “kurang gaul” kalau belum punya Twitter, sekarang situs yang disebut microblogging itu juga memainkan banyak peran dan kemungkinan, dari menjadi seleb dadakan, menghasilkan uang dengan menjadi buzzer, sampai menjadi penulis yang dapat menerbitkan buku.
Sebegitu pentingnya Twitter dan follower saat ini, sampai-sampai sebagian orang melakukan berbagai cara untuk mengiklankan akun Twitternya, meski dengan cara yang aneh, semisal dengan menggunakan nama akun Twitternya di sampul buku. Twitter, rupanya, bukan hanya sekadar tempat untuk sharing dan berkomunikasi atau menjalin pertemanan melalui internet, tapi juga telah berfungsi sebagai identitas yang amat penting.
Bahkan untuk orang yang tergolong sudah terkenal sekalipun, identitas Twitter rupanya masih diperlukan. Kenyataan itu saya ketahui ketika belum lama membaca sebuah majalah, dan di dalamnya terdapat wawancara dengan seseorang yang terkenal, yang memiliki jutaan follower di Twitter. Dalam wawancara di majalah itu, foto si orang terkenal dipampangkan, dan identitasnya di Twitter (username yang menggunakan tanda @) dicetak secara menonjol.
Kebetulan, saya mengenal redaktur majalah itu. Waktu kami bertemu dan bercakap-cakap, topik obrolan kami sampai pada wawancara tersebut. Dia menceritakan, bahwa penonjolan akun Twitter itu memang persyaratan yang diminta si orang terkenal. Jadi, orang terkenal wanna be itu mau diwawancarai, dengan syarat identitas atau akun Twitternya ditonjolkan.
Cerita itu membuat saya geleng-geleng kepala. Sebegitu pentingnyakah identitas Twitter?
Dan kalau seseorang yang telah memiliki jutaan follower saja masih repot-repot berusaha seperti itu, tampaknya tidak mengherankan jika orang yang follower-nya beberapa biji juga melakukan hal yang sama. Twitter, di zaman ini, sepertinya telah menjelma bagai udara yang dibutuhkan banyak orang. Fungsinya telah bergeser jauh, dari sekadar untuk berinteraksi di dunia maya, telah berubah menjadi kebutuhan yang nyaris primer.
Dan “pertunjukan” di Twitter memang bisa dibilang tak ada habisnya. Meski dibatasi 140 karakter, timeline selalu penuh fenomena baru, hal-hal baru, berita baru, bahkan kegilaan-kegilaan baru. Di Twitter, ada akun yang konon ditujukan untuk penyebaran fitnah. Ada akun yang—lagi-lagi konon—ditujukan untuk melakukan disinformasi, pembelokan informasi, membelokkan isu, atau hal lainnya.
Sedangkan yang lebih ringan, di Twitter juga muncul beragam karakter yang kadang-kadang aneh dan tak masuk akal. Hanya di Twitter ada orang yang ocehannya tidak jelas, tapi di-follow puluhan ribu orang, dan selalu dinantikan tweet-tweet-nya.
Hanya di Twitter pula ada cowok yang “nyepik” ribuan cewek dengan santai tanpa merasa malu atau risih. Dan, oh ya, di Twitter pun rupanya ada beberapa orang yang ingin menjadi “nabi” dengan cara menyerang keyakinan orang lain sambil memuja keyakinannya sendiri.
Twitter telah mengjungkirbalikkan logika, bahkan kewarasan sebagian orang. Jika dulu orang berpedoman bahwa ucapan baik perlu didengarkan tak peduli siapa yang menyatakannya, maka di zaman ini pedoman bijak semacam itu sudah tak relevan.
Sekarang, di zaman Twitter, yang perlu didengarkan bukan ucapannya, melainkan siapa yang mengatakan. Banyak tweet bagus tapi diabaikan orang karena penulisnya bukan selebtwit. Sebaliknya, banyak tweet tak berguna dan tak punya manfaat apa-apa tapi didengarkan dengan khusyuk—di-mention, di-retweet, dan difavoritkan—banyak orang, karena penulisnya tergolong selebtwit. Kearifan bukan hal penting di Twitter, dan para berhala telah menjadi sesembahan follower.
“Aku berpikir, maka aku ada,” kata Descartes. Sayangnya, para pemuja Twitter tidak sepaham dengannya.
Beberapa Hal yang Perlu Kita Bicarakan Menyangkut Twitter (3)
Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
***
Di blog tersebut, dijelaskan secara panjang lebar mengenai cara memperbanyak follower, khususnya yang dilakukan oleh segelintir orang terkenal di Twitter. Ternyata, orang-orang yang memiliki jutaan follower di Twitter juga mendapatkan follower-nya dengan cara membeli. Dan, yang mengejutkan bagi saya, mereka membelinya secara resmi melalui Twitter!
Mungkin kedengarannya aneh. Konon, Twitter melarang jual-beli akun/follower. Tapi nyatanya mereka sendiri melakukan praktik jual beli follower.
Jadi, berdasarkan penjelasan di blog tersebut, seseorang bisa membeli follower melalui Twitter, setelah mengisi formulir yang disediakan oleh Twitter. Tinggal meng-klik tab “bussiness” di Twitter, pengguna akan diarahkan pada formulir tersebut, untuk kemudian diisi. Karena Twitter baru melayani pembeli di Amerika, maka pembeli yang ada di luar Amerika (misalnya di Indonesia) harus menggunakan alamat di Amerika.
Setelah formulir pembelian kita diterima, Twitter akan menindaklanjutinya. Setelah pembayaran dilakukan, maka Twitter akan memasang akun kita pada halaman awal pendaftaran, sehingga orang-orang yang baru membuat akun di Twitter akan mem-follow akun kita. Dengan cara seperti itu, jumlah follower kita pun akan meningkat pesat dalam waktu singkat, dan tidak ada orang yang curiga kalau sebenarnya kita membeli follower!
Hebat, pikir saya sambil geleng-geleng kepala, ketika membaca semua penjelasan itu.
Dulu, sewaktu mendaftar untuk membuat akun di Twitter, saya memang disodori setumpuk akun di Twitter, untuk saya follow. Twitter bahkan mempersyaratkan agar pendaftar baru mem-follow setidaknya 5 orang (akun) sebelum bisa mulai menggunakan Twitter. Dulu, saya pikir akun-akun yang disodorkan Twitter untuk saya follow itu karena akun-akun tersebut dianggap terkenal. Tapi rupanya itu akun-akun yang telah membayar Twitter untuk memperbanyak follower mereka!
Di blog itu juga dijelaskan siapa-siapa saja yang selama ini telah membeli follower melalui Twitter, sehingga jumlah follower mereka mencapai jutaan. Bukan hanya dari luar negeri, tetapi juga dari Indonesia. Di Indonesia, ada akun-akun yang (mungkin) terkenal, yang memiliki jutaan follower, dan nyaris semuanya hasil membeli melalui Twitter. Mereka terdiri dari artis, penulis, juga atlit. Saya tidak enak menyebutkan nama-namanya—silakan cari sendiri.
Jika penasaran dan ingin tahu siapa saja orang terkenal (dari Indonesia ataupun luar negeri) yang membeli follower melalui Twitter, lakukan saja cara mudah berikut ini.
Buatlah akun baru di Twitter. Pada waktu melakukan pendaftaran, secara otomatis Twitter akan menyodorkan setumpuk akun yang mereka minta/sarankan untuk di-follow. Nah, lihatlah siapa saja akun-akun yang disodorkan Twitter itu, dan kalian mungkin akan terkejut! Mereka itulah yang selama ini telah membayar Twitter untuk memperbanyak follower mereka dengan cara yang amat tersamar.
Ketika mengetahui kenyataan itu, saya juga benar-benar terkejut, karena tidak pernah mengira. Saya pikir mereka yang memiliki jutaan follower itu memang terkenal, atau memang tweet-nya disukai banyak orang. Ternyata hasil beli juga. Ketika sampai pada fakta ini, lagi-lagi saya ingin bertanya, reputasi macam apa yang bisa dinilai dari jumlah follower di Twitter?
Reputasi tidak bisa dibeli, follower bisa dibeli—bahkan secara resmi. Reputasi dibangun dari keahlian, kemampuan, bahkan bakat, juga kerja keras bertahun-tahun. Ia tak terbeli oleh uang, karena harganya tak ternilai. Ada perbedaan yang amat signifikan antara “reputasi” dan “popularitas”. Popularitas memang bisa dibeli, tapi reputasi tak terbeli. Popularitas bisa dimanipulasi, tapi tidak dengan reputasi. Menggunakan istilah kasar, kalau dasarnya tolol, orang tetap akan tahu kalau memang tolol.
Tetapi mungkin sekarang memang zaman Twitter. Sama seperti dulu zaman Friendster atau era Facebook, orang-orang sekarang sangat aktif di Twitter. Ketika kemudian jumlah follower ternyata bisa mendatangkan popularitas, bahkan uang, sebagian orang pun mati-matian memperbanyak follower dengan berbagai cara. Bahkan, yang paling aneh, konon katanya orang bisa mudah menerbitkan buku jika telah memiliki banyak follower.
Lanjut ke Sini.
Langganan:
Postingan (Atom)