Ketika kita masih kecil, dan belum sekolah, masyarakat bertanya,
“Kapan mau sekolah?” Lalu kita pun merasa dituntut untuk bersekolah.
—1
Ketika kita dewasa, dan sudah kuliah, masyarakat bertanya-tanya,
“Kapan lulus?” Lalu kita pun merasa dituntut untuk cepat wisuda.
—2
Setelah lulus kuliah dan wisuda, masyarakat masih bertanya-tanya,
“Kapan kerja?” Maka kita pun mencari kerja untuk menyelamatkan muka.
—3
Setelah cukup mapan bekerja, masyarakat kembali bertanya,
“Kapan kawin?” Lalu kita pun panik demi segera menemukan pendamping.
—4
Setelah kita kawin, masyarakat masih usil, dan kali ini bertanya,
“Kapan punya anak?” Maka kita pun ngebut bikin anak.
—5
Setelah kita punya satu anak, masyarakat masih nyinyir, dan bertanya,
“Kapan nambah anak?” Demi dianggap layak, kita pun nambah anak.
—6
Kemudian, anak-anak kita akan menghadapi pertanyaan sama dari
masyarakat, “Kapan sekolah?”, “Kapan lulus?”, “Kapan kawin?” dan seterusnya.
—7
Hidup, bagi sebagian orang, adalah siklus pertanyaan sialan berbunyi “kapan”
yang berulang dan membosankan, menjerat dan menyakitkan.
—8
Aku curiga, pertanyaan “kapan” adalah pertanyaan para tawanan,
pertanyaan iri hati/kecemburuan, atau pertanyaan demi dianggap normal.
—9
Seperti orang yang terkurung dalam penjara, mereka akan bertanya-tanya,
“Kapan aku bisa bebas?” atau “Kapan aku bisa keluar dari sini?”
—10
Masyarakat yang nyinyir menanyakan “kapan” adalah masyarakat
yang terkurung dalam penjara yang dibangunnya sendiri.
—11
Karena mereka tidak bisa keluar dari penjaranya sendiri,
mereka pun tidak berpikir “kapan” mereka akan keluar.
—12
Sebaliknya, mereka justru berharap orang lain juga terkurung
dan terpenjara seperti dirinya, dan cara yang mereka gunakan
adalah dengan menanyakan “kapan”.
—13
Dalam konteks sosial, “kapan” sering kali menjadi pertanyaan racun,
karena ia meracuni pikiran dan hidup si penerima pertanyaan.
—14
Ada banyak hal yang sebenarnya akan berlangsung baik dan bagus,
tapi menjadi rusak karena orang teracuni pertanyaan “kapan”.
—15
Misalnya, orang yang belum nikah karena belum menemukan jodoh yang
tepat. Karena dibombardir pertanyaan “kapan”, orang itu pun...
—16
...buru-buru menikah dengan siapa pun yang kebetulan mau menikah
dengannya. Demi membungkam pertanyaan “kapan”.
—17
Gara-gara pertanyaan “kapan”, ada banyak orang yang menikah
karena terpaksa, dengan orang yang belum tentu dicintai dan mencintainya.
—18
Ada pula pasangan yang belum punya anak, karena alasan ekonomi belum
menunjang. Tapi masyarakat nyinyir bertanya, “Kapan punya anak?”
—19
Lalu pasangan itu pun terpaksa melahirkan anak karena perasaan tak enak,
dan demi membungkam pertanyaan “kapan” dari masyarakatnya.
—20
Dan seorang anak pun lahir gara-gara pertanyaan “kapan”.
Ia lahir tanpa persiapan yang menunjang, dan bisa jadi akan hidup telantar.
—21
Dan masyarakat belum puas sebelum bertanya, “Kapan nambah anak?”
Banyak pasangan terpaksa nambah anak hanya karena tak enak pada “kapan”.
—22
Ada jutaan anak telantar di dunia ini, dan bisa jadi sebagian karena mereka
dilahirkan akibat pertanyaan sialan berbunyi “kapan”.
—23
Pernahkah masyarakat bertanya-tanya akibat serta implikasi
dari pertanyaan “kapan” yang sering mereka lontarkan?
—24
Lebih penting lagi, apakah masyarakat mau ikut bertanggung jawab
atas akibat buruk yang ditimbulkan pertanyaan “kapan” mereka?
—25
Di antara banyaknya anak telantar, orang stres, kemiskinan, dan
keluarga kacau, bisa jadi sebagian diakibatkan oleh pertanyaan “kapan”.
—26
Manusia dilahirkan dengan jiwa bebas dan merdeka, tapi dijerat, dijebak,
dan dipenjara oleh masyarakatnya dengan pertanyaan “kapan”.
—27
Dan akhirnya, hei Masyarakat, kapan kalian akan belajar menutup mulut
untuk tidak lagi menyemburkan pertanyaan sialan berbunyi “Kapan?”
—28