Aku berpikir, maka Tuhan ada.
—Descartes
Aku makan siomay, maka Tuhan ada.
—Bayu Kacrut
—Descartes
Aku makan siomay, maka Tuhan ada.
—Bayu Kacrut
Saya
suka siomay. Ralat. Saya sangat sukaaaaaa siomay. Untungnya, di kota tempat tinggal saya banyak penjual siomay. Dari yang paling enak sampai yang
enaaaaaaak sekali. Di antara yang tergolong “paling enak” adalah siomay yang ada di jalan Kaliurang (bukan promosi). So, setiap kali ada kesempatan, saya selalu menyempatkan diri mampir ke sana.
Warung siomay tersebut sangat sederhana, jauh dari kesan wah atau mewah untuk ukuran warung makan, dan di bagian depannya tertulis, “Siomay Kang Cepot”. Saya sempat tanya kepada pelayannya, kenapa dinamakan Siomay Kang Cepot, kenapa tidak Siomay Mbah Marijan, Siomay Jakal, Siomay Makmur Jaya atau Siomay Jogja Berhati Nyaman??..Dia menjawab, Si Cepot itu adalah nama dari si empunya yang memiliki warung tersebut. Dan konon dia orang Bandung. Tapi menurut pengamatan saya, kebanyakan dari pelayan-pelayannya adalah orang Jawa Tengah. Ohh well,,kenapa saya harus bahas membahas domisili?!. Sejujurnya, saya tidak tahu apakah siomay memang berasal dari Bandung. Tapi yang jelas, entah kenapa, segala hal yang khas Bandung selalu terasa nikmat bagi saya, di antaranya siomay khas Bandung, dan batagor khas Bandung. Kadang-kadang saya jadi kepikiran untuk punya pacar orang Bandung.
Oke, yang terakhir itu ngelantur dan tidak benar.
Di warung siomay itu, saya selalu memesan versi jumbo. Dan segelas es teh atau es jeruk. Biasanya, sepulang dari sana, kenyang dan nikmatnya mampu bertahan hingga lama. Siomay, bagi saya, adalah salah satu karunia alam semesta.
Pernah, suatu sore, saya mampir ke warung siomay tersebut, dan memesan siomay seperti biasa. Ketika sedang enak-enaknya menikmati siomay, datang tiga cewek remaja—sepertinya mereka mahasiswi semester awal, kalau dilihat dari tas ransel unyu yang mereka bawa. Lalu mereka duduk di salah satu meja.
Saya tidak terlalu mempedulikan mereka, dan terus asyik menyantap siomay. Tapi kemudian saya mendengar bisik-bisik ketiga cewek unyu itu.
“Ssstt,” bisik salah satu dari mereka, “ini kok ada ya makanan enaknya kaya gini.huft aku sampai gak bisa menjelaskan betapa nikmatnya makanan ini.”
“husstt jangan -gumunan- lah” jawab cewek satunya.
Lalu cewek yang satunya lagi menyahut dengan suara yang juga berbisik, “Ya emang enak sihh, lha itu buktinya -mas-nya buuuuanyyakkk banget makannya.” (sambil melirik ke arah saya).
Warung siomay tersebut sangat sederhana, jauh dari kesan wah atau mewah untuk ukuran warung makan, dan di bagian depannya tertulis, “Siomay Kang Cepot”. Saya sempat tanya kepada pelayannya, kenapa dinamakan Siomay Kang Cepot, kenapa tidak Siomay Mbah Marijan, Siomay Jakal, Siomay Makmur Jaya atau Siomay Jogja Berhati Nyaman??..Dia menjawab, Si Cepot itu adalah nama dari si empunya yang memiliki warung tersebut. Dan konon dia orang Bandung. Tapi menurut pengamatan saya, kebanyakan dari pelayan-pelayannya adalah orang Jawa Tengah. Ohh well,,kenapa saya harus bahas membahas domisili?!. Sejujurnya, saya tidak tahu apakah siomay memang berasal dari Bandung. Tapi yang jelas, entah kenapa, segala hal yang khas Bandung selalu terasa nikmat bagi saya, di antaranya siomay khas Bandung, dan batagor khas Bandung. Kadang-kadang saya jadi kepikiran untuk punya pacar orang Bandung.
Oke, yang terakhir itu ngelantur dan tidak benar.
Di warung siomay itu, saya selalu memesan versi jumbo. Dan segelas es teh atau es jeruk. Biasanya, sepulang dari sana, kenyang dan nikmatnya mampu bertahan hingga lama. Siomay, bagi saya, adalah salah satu karunia alam semesta.
Pernah, suatu sore, saya mampir ke warung siomay tersebut, dan memesan siomay seperti biasa. Ketika sedang enak-enaknya menikmati siomay, datang tiga cewek remaja—sepertinya mereka mahasiswi semester awal, kalau dilihat dari tas ransel unyu yang mereka bawa. Lalu mereka duduk di salah satu meja.
Saya tidak terlalu mempedulikan mereka, dan terus asyik menyantap siomay. Tapi kemudian saya mendengar bisik-bisik ketiga cewek unyu itu.
“Ssstt,” bisik salah satu dari mereka, “ini kok ada ya makanan enaknya kaya gini.huft aku sampai gak bisa menjelaskan betapa nikmatnya makanan ini.”
“husstt jangan -gumunan- lah” jawab cewek satunya.
Lalu cewek yang satunya lagi menyahut dengan suara yang juga berbisik, “Ya emang enak sihh, lha itu buktinya -mas-nya buuuuanyyakkk banget makannya.” (sambil melirik ke arah saya).
Lalu ketiganya
menatap ke arah saya. Dan tiba-tiba siomay dalam mulut terasa seperti
batu bata. Ini salah satu hal yang saya benci dalam hidup—menjadi
perhatian ketika sedang tidak ingin diperhatikan. Kau tahu, saat-saat
makan—khususnya makan siomay—adalah saat-saat sakral karena kita ingin
menikmatinya sepenuh hati tanpa gangguan. Dan diperhatikan tiga cewek
ketika sedang makan siomay adalah hal terakhir yang tidak saya inginkan.
Lalu terdengar suara bisikan lagi, dari cewek kedua, “ehh orangnya -merasa- lho”
“Iya!” bisik temannya. “Kita terlalu kencang mungkin bisik-bisiknya.”
Dan si cewek satunya lagi menyahut, “Tapi… emang banyak banget ya dia makan siomaynya?”
Detik itu saya tersedak, dan rasanya ingin berteriak, “MEMANGNYA KENAPA KALAU SAYA MAKAN SIOMAY DALAM JUMLAH BANYAK…???”
Mungkin cewek-cewek itu tidak paham, bahwa siomay bagi saya bukan hanya jajan favorit, tetapi juga sarana yang nikmat dalam memahami eksistensi Tuhan. Oh, well, mungkin ini terdengar aneh, atau absurd, atau bahkan bombastis. Tetapi saya benar-benar menyadari keberadaan Tuhan ketika sedang makan siomay.
Jadi, kalau hari ini saya ditanya, “Hei, bay, apakah kau percaya Tuhan ada?”
Saya dengan yakin akan menjawab, “Ya, saya percaya Tuhan ada!”
Dan jika pertanyaannya disambung, “Apa buktinya Tuhan benar-benar ada?”
Maka saya pun akan menjelaskan, “Buktinya saya suka siomay!”
Oke, saya tahu, detik ini dunia pasti berteriak, “APA HUBUNGANNYA, COBA?”
Sejujurnya saya tidak tahu apa hubungan Tuhan dengan siomay. Atau bagaimana memfilsafatkan siomay agar membuka jalan pada pemahaman atas kepercayaan adanya Tuhan. Tetapi yang jelas, saya meyakini keberadaan Tuhan, dan keyakinan itu selalu menguat setiap kali saya makan siomay.
Mungkin memang tidak ada hubungannya—bagi orang lain. Tapi bagi saya ada hubungannya.
Rene Descartes meyakini keberadaan Tuhan dengan berpikir secara mendalam. Albert Einstein menemukan Tuhan dalam kerumitan rumus fisika. Jalaluddin Rumi menemukan Tuhan dalam tarian yang membuatnya ekstase. Rabi’ah al-Adawiyah menemukan Tuhan dalam kekhuysukan dzikir di kesunyian. Mother Theresa menemukan Tuhan dalam kasih dan pengabdian pada sesamanya. Jadi apa salahnya kalau saya menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang makan siomay…?
Masing-masing orang menemukan keyakinannya terhadap Tuhan dalam jalannya sendiri-sendiri, karena bahkan definisi Tuhan pun kadang memiliki perbedaan arti. Ada orang yang meyakini keberadaan Tuhan dalam keheningan, tapi ada pula yang justru menemukannya dalam keramaian. Ada yang menemukan kebesaran dan keagungan Tuhan ketika bersatu dengan alam, ada pula yang menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang menikmati makanan.
Tetapi yang jelas, khususnya bagi saya, jauh lebih mudah untuk meyakini bahwa Tuhan ada daripada meyakini Tuhan tidak ada. Begitu pentingnya fakta ini, sampai-sampai saya merasa perlu mengulanginya. Jauh lebih mudah meyakini Tuhan ada, daripada meyakini Tuhan tidak ada.
Begitu pula, jauh lebih mudah membuktikan keberadaan Tuhan, daripada membuktikan ketiadaan Tuhan. So, orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan pastilah orang yang sangat-sangat genius… atau orang yang sangat-sangat tolol. Dalam hal ini, kebetulan, saya tidak termasuk keduanya. Karena itu, saya percaya keberadaan Tuhan. Dan kepercayaan itu semakin menguat ketika sedang makan siomay.
Tidak usah tanya apa alasan atau hubungannya, karena ini masalah privat kepercayaan hamba kepada Tuhannya. Saya yakin Tuhan tidak akan murka ketika saya mengingat-Nya pada waktu makan siomay, jadi tidak ada alasan bagi sesama manusia untuk menghujat saya.
Saya setuju dengan pendapat teman saya yang mengatakan, “Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia adalah bukan Tuhan. Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan, dan Tuhan sama sekali tidak dapat diangan-angankan atau dipikirkan manusia.”, bahwa sebenarnya Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia bukanlah Tuhan, karena memang Tuhan tidak bisa dipikirkan, dibayangkan, atau dikhayalkan. Karena itu pula, para alim dan orang bijak sering kali mengingatkan, “Jangan memikirkan Tuhan, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya.”
Ketika makan siomay, saya tidak memikirkan Tuhan. Ketika makan siomay, saya merasakan nikmat di lidah, kunyahan dalam mulut. Ketika merasakan nikmat itu, saya lebih mudah memikirkan banyak hal yang hebat dan luar biasa dalam alam semesta. Ketika menemukan kehebatan bahkan keagungan alam semesta, keyakinan saya pada eksistensi Tuhan pun bertambah. So, saya menemukan eksistensi Tuhan ketika makan siomay.
Saya tidak tahu Tuhan itu seperti apa atau seperti siapa. Tapi saya meyakini eksistensi-Nya, keberadaan-Nya. Dalam hal keyakinan terhadap eksistensi Tuhan—tentu kita sepakat—masing-masing orang memiliki caranya sendiri.
Karena itu, saya benar-benar tidak habis pikir ketika ada segerombolan orang yang merasa memiliki hak mutlak atas Tuhan, dan kemudian mudah mengamuk, menyalahkan, dan mengkafir-kafirkan orang lain, hanya karena perbedaan dalam cara memaknai eksistensi Tuhan.
Orang-orang yang suka menyalahkan dan mengkafir-kafirkan orang lain itu mungkin menganggap Tuhan hanya miliknya, bahwa Tuhan hanya berpihak pada mereka, bahwa Tuhan harus ditemukan dan dipercayai melalui cara mereka. Bagi saya itu sangat naif, bahkan konyol. Orang-orang seperti mereka, menurut saya, mungkin perlu sering-sering makan siomay.
Lalu terdengar suara bisikan lagi, dari cewek kedua, “ehh orangnya -merasa- lho”
“Iya!” bisik temannya. “Kita terlalu kencang mungkin bisik-bisiknya.”
Dan si cewek satunya lagi menyahut, “Tapi… emang banyak banget ya dia makan siomaynya?”
Detik itu saya tersedak, dan rasanya ingin berteriak, “MEMANGNYA KENAPA KALAU SAYA MAKAN SIOMAY DALAM JUMLAH BANYAK…???”
Mungkin cewek-cewek itu tidak paham, bahwa siomay bagi saya bukan hanya jajan favorit, tetapi juga sarana yang nikmat dalam memahami eksistensi Tuhan. Oh, well, mungkin ini terdengar aneh, atau absurd, atau bahkan bombastis. Tetapi saya benar-benar menyadari keberadaan Tuhan ketika sedang makan siomay.
Jadi, kalau hari ini saya ditanya, “Hei, bay, apakah kau percaya Tuhan ada?”
Saya dengan yakin akan menjawab, “Ya, saya percaya Tuhan ada!”
Dan jika pertanyaannya disambung, “Apa buktinya Tuhan benar-benar ada?”
Maka saya pun akan menjelaskan, “Buktinya saya suka siomay!”
Oke, saya tahu, detik ini dunia pasti berteriak, “APA HUBUNGANNYA, COBA?”
Sejujurnya saya tidak tahu apa hubungan Tuhan dengan siomay. Atau bagaimana memfilsafatkan siomay agar membuka jalan pada pemahaman atas kepercayaan adanya Tuhan. Tetapi yang jelas, saya meyakini keberadaan Tuhan, dan keyakinan itu selalu menguat setiap kali saya makan siomay.
Mungkin memang tidak ada hubungannya—bagi orang lain. Tapi bagi saya ada hubungannya.
Rene Descartes meyakini keberadaan Tuhan dengan berpikir secara mendalam. Albert Einstein menemukan Tuhan dalam kerumitan rumus fisika. Jalaluddin Rumi menemukan Tuhan dalam tarian yang membuatnya ekstase. Rabi’ah al-Adawiyah menemukan Tuhan dalam kekhuysukan dzikir di kesunyian. Mother Theresa menemukan Tuhan dalam kasih dan pengabdian pada sesamanya. Jadi apa salahnya kalau saya menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang makan siomay…?
Masing-masing orang menemukan keyakinannya terhadap Tuhan dalam jalannya sendiri-sendiri, karena bahkan definisi Tuhan pun kadang memiliki perbedaan arti. Ada orang yang meyakini keberadaan Tuhan dalam keheningan, tapi ada pula yang justru menemukannya dalam keramaian. Ada yang menemukan kebesaran dan keagungan Tuhan ketika bersatu dengan alam, ada pula yang menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang menikmati makanan.
Tetapi yang jelas, khususnya bagi saya, jauh lebih mudah untuk meyakini bahwa Tuhan ada daripada meyakini Tuhan tidak ada. Begitu pentingnya fakta ini, sampai-sampai saya merasa perlu mengulanginya. Jauh lebih mudah meyakini Tuhan ada, daripada meyakini Tuhan tidak ada.
Begitu pula, jauh lebih mudah membuktikan keberadaan Tuhan, daripada membuktikan ketiadaan Tuhan. So, orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan pastilah orang yang sangat-sangat genius… atau orang yang sangat-sangat tolol. Dalam hal ini, kebetulan, saya tidak termasuk keduanya. Karena itu, saya percaya keberadaan Tuhan. Dan kepercayaan itu semakin menguat ketika sedang makan siomay.
Tidak usah tanya apa alasan atau hubungannya, karena ini masalah privat kepercayaan hamba kepada Tuhannya. Saya yakin Tuhan tidak akan murka ketika saya mengingat-Nya pada waktu makan siomay, jadi tidak ada alasan bagi sesama manusia untuk menghujat saya.
Saya setuju dengan pendapat teman saya yang mengatakan, “Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia adalah bukan Tuhan. Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan, dan Tuhan sama sekali tidak dapat diangan-angankan atau dipikirkan manusia.”, bahwa sebenarnya Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia bukanlah Tuhan, karena memang Tuhan tidak bisa dipikirkan, dibayangkan, atau dikhayalkan. Karena itu pula, para alim dan orang bijak sering kali mengingatkan, “Jangan memikirkan Tuhan, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya.”
Ketika makan siomay, saya tidak memikirkan Tuhan. Ketika makan siomay, saya merasakan nikmat di lidah, kunyahan dalam mulut. Ketika merasakan nikmat itu, saya lebih mudah memikirkan banyak hal yang hebat dan luar biasa dalam alam semesta. Ketika menemukan kehebatan bahkan keagungan alam semesta, keyakinan saya pada eksistensi Tuhan pun bertambah. So, saya menemukan eksistensi Tuhan ketika makan siomay.
Saya tidak tahu Tuhan itu seperti apa atau seperti siapa. Tapi saya meyakini eksistensi-Nya, keberadaan-Nya. Dalam hal keyakinan terhadap eksistensi Tuhan—tentu kita sepakat—masing-masing orang memiliki caranya sendiri.
Karena itu, saya benar-benar tidak habis pikir ketika ada segerombolan orang yang merasa memiliki hak mutlak atas Tuhan, dan kemudian mudah mengamuk, menyalahkan, dan mengkafir-kafirkan orang lain, hanya karena perbedaan dalam cara memaknai eksistensi Tuhan.
Orang-orang yang suka menyalahkan dan mengkafir-kafirkan orang lain itu mungkin menganggap Tuhan hanya miliknya, bahwa Tuhan hanya berpihak pada mereka, bahwa Tuhan harus ditemukan dan dipercayai melalui cara mereka. Bagi saya itu sangat naif, bahkan konyol. Orang-orang seperti mereka, menurut saya, mungkin perlu sering-sering makan siomay.