2012-06-23

Jadi Bagaimana Hubungan Raffi Dengan Yuni?

Salah satu berita asmara paling hangat di Indonesia akhir-akhir ini adalah hubungan yang dijalin Raffi Ahmad dengan Yuni Shara. Sebenarnya sih berita percintaan antar artis bukan hal istimewa, karena beberapa artis sepertinya memang suka gonta-ganti pacar agar infotainment selalu punya berita. Tapi hubungan percintaan antara Raffi dengan Yuni jadi terkesan istimewa, karena latar belakang usia mereka.

Yuni Shara lahir pada 3 Juni 1972, dengan nama Wahyu Setyaning Budi. Sementara Raffi Ahmad lahir pada 17 Februari 1987, dengan nama Raffi Faridz Ahmad. Tak usah pedulikan nama asli atau nama lahir mereka, tapi perhatikan perbedaan tanggal lahirnya. Selisih usia antara Yuni dengan Raffi sekitar 15 tahun—Yuni jauh lebih tua (well, atau lebih dewasa) dibanding Raffi.

Karena perbedaan usia yang terlampau jauh itu pulalah yang menjadikan banyak orang gatal membicarakan hubungan mereka—termasuk saya. Umumnya, seperti kita tahu, cowok menjalin hubungan dengan cewek yang usianya relatif lebih muda darinya, atau setidaknya yang seumuran. Yeah, kalaupun tua ceweknya, paling-paling lebih tua satu atau dua tahun.

Raffi Ahmad “melanggar” aturan itu. Dia menjalin hubungan dengan perempuan yang lima belas tahun lebih tua darinya. Tentu saja Raffi tidak salah, karena—setidaknya sejauh ini—belum ada peraturan pemerintah yang menyatakan cowok harus pacaran dengan cewek yang lebih muda. Lebih dari itu, Yuni Shara oke-oke saja jalan sama Raffi, jadi apa salahnya?

Jika kita melihat “track record” Raffi Ahmad, kita tahu dia sebelumnya pernah “jalan bareng” dengan Laudya Chintya Bella, Bunga Zainal, Ratna Galih, Tyas Mirasih, Velove Vexia, dan beberapa lain yang mungkin terlewat dari ingatan saya. Cewek-cewek yang barusan disebutkan itu rata-rata usianya seimbang dengan Raffi—kalau tidak lebih muda, ya seumuran. So, kenapa kemudian Raffi “banting setir” memilih Yuni Shara yang usianya jauh di atasnya?

Sejujurnya, saya tertarik memperhatikan hubungan Raffi dengan Yuni, karena... itu seperti cermin tempat saya melihat diri sendiri. Jauh di lubuk hati, sebenarnya saya juga lebih tertarik pada wanita-wanita dewasa. Ya, ya, mungkin saya berbakat jadi berondong yang budiman. Tetapi, kata Agnes Monica, “Cinta kadang-kadang tak kenal logika.”

Wanita dewasa, di mata saya, entah mengapa jauh lebih mempesona dibanding cewek yang baru lahir kemarin. (Ya iyalaaaaah!). Maksud saya, wanita dewasa yang telah matang sepertinya lebih menarik dibanding cewek ABG yang masih alay. Umpama buah, wanita dewasa tuh seperti buah yang benar-benar matang. Sementara cewek ABG adalah buah yang masih hijau. Jika buah matang rasanya manis, buah yang masih hijau kadang-kadang masih kecut.

Tentu saja bayangan saya bisa keliru. Bisa saja ada cewek ABG yang benar-benar sudah matang dan dewasa melampaui umurnya. Tapi kebanyakan cewek ABG yang pernah saya lihat rata-rata masih alay. Jangankan bisa bersikap dewasa, bahkan menulis dengan baik dan benar pun mereka belum mampu. Mereka sepertinya masih rancu membedakan huruf dan angka, sehingga sering kali mencampur-campurkan keduanya. C0NtohNy4 5Ep3rti 1nI.

Tentu ada pula orang dewasa (dalam hal ini wanita) yang tetap saja alay. Secara umur mungkin dia sudah dapat dibilang dewasa, tapi secara sikap—dan mungkin pikirannya—masih sangat alay. Margaret Thatcher, wanita yang menjadi Perdana Menteri Inggris terkenal itu, pernah bilang, “Menjadi wanita dewasa tidak perlu dikatakan. Orang akan tahu apakah kau wanita dewasa atau bukan.”

I love you, Mrs. Thatcher. Dia merangkum penjelasan psikologi yang membutuhkan berlembar-lembar makalah dalam sebuah kalimat yang simpel. Menjadi wanita dewasa tidak perlu dikatakan, orang akan melihat dari sikap dan perbuatan yang dilakukan. Tak peduli seseorang gembar-gembor sudah dewasa, tapi orang akan mencibir jika sikapnya masih norak dan kekanak-kanakan. Orang dewasa, dalam hal ini wanita dewasa, mampu bersikap elegan.

Elegan—itulah sesuatu yang hanya dimiliki wanita dewasa.

Dan di hadapan wanita dewasa yang elegan, oh well, saya sering merasa... meleleh. Dulu saya tidak tahu apa yang menjadikan saya punya pikiran atau perasaan seperti itu, tapi entah kenapa saya selalu “meleleh” setiap kali bertemu atau berhadapan dengan wanita yang seperti itu—dewasa, dan elegan.

Dalam teori psikoanalisisnya, Sigmund Freud menyatakan bahwa kecenderungan terhadap wanita yang secara usia lebih dewasa dapat digolongkan sebagai oedipus complex. Itu, menurut Freud, adalah desakan dari bawah sadar seorang anak lelaki terhadap kecintaan pada ibunya. Saya pikir, Freud sedang ingin lebay ketika menyatakan teori itu. Kenyataannya dia kemudian meralat teorinya sendiri. Tetapi teori itu pula yang kemudian menuntun saya untuk instrospeksi, dan bertanya pada diri sendiri, mengapa saya punya kecenderungan terhadap wanita dewasa.

Jika saya introspeksi, mungkin dorongan yang membuat saya tertarik pada wanita yang secara usia lebih dewasa, adalah karena jauh di lubuk hati saya menginginkan seorang kakak perempuan. Dalam bayangan saya—yang mungkin keliru—kakak perempuan adalah sosok ideal bagi seorang bocah lelaki.

Seorang ibu mungkin wanita sempurna untuk bocah lelaki, tetapi hubungan antara ibu dengan anaknya pasti terpaut umur yang (sangat) jauh. Berbeda dengan kakak perempuan. Dengan usia yang tak terlalu jauh, seorang kakak perempuan dapat lebih memahami kehidupan adik lelakinya karena hidup pada zaman yang sama, dan menghadapi fenomena sosial yang sama. So, sekali lagi dalam bayangan saya, kakak perempuan adalah tempat sempurna untuk mendapatkan nasihat, juga pelajaran berharga, khususnya dalam hal hubungan antar lawan jenis.

Itulah yang tidak pernah saya miliki, yang sungguh-sungguh ingin saya miliki. Seorang kakak perempuan. Tempat saya dapat bertanya tentang perempuan. Tempat saya bisa memperoleh jawaban yang benar tentang perempuan. Tempat saya belajar untuk dapat benar-benar mengerti dan memahami perempuan. Juga tempat saya bisa curhat menumpahkan beban pikiran dan perasaan tanpa rasa sungkan.

Sejak dulu, saya selalu iri jika melihat teman-teman saya bisa asyik bercanda dengan kakak perempuannya. Saya tidak pernah mengalami pengalaman manis semacam itu karena tidak memiliki kakak, khususnya kakak perempuan. Meski kadang teman-teman saya bercerita mereka lagi dongkol pada kakak perempuannya, tapi saya pikir jauh lebih baik punya kakak perempuan daripada tidak punya. Kakak perempuan, bagi saya, adalah figur wanita ideal.

Mungkin bayangan saya di atas keliru. Tapi mungkin pula karena bayangan itulah kemudian sosok wanita dewasa begitu mengendap di bawah sadar saya, hingga kemudian menciptakan dorongan-tak-sadar untuk selalu “jatuh hati” pada wanita dewasa. Ketika mulai pacaran, saya pun ingat bahwa daya tarik paling besar yang menjadikan saya memilih mereka sebagai pacar adalah karena faktor kedewasaan yang mereka miliki, meski usianya sepadan atau di bawah saya.

Wanita dewasa itu menenteramkan, itulah kesan saya. Tentu saja mereka mungkin masih keluar manjanya—namanya juga wanita. Tapi bahkan kemanjaannya pun terlihat mempesona bagi saya. Mereka itu... oh, well, elegan. Ya, ya, mungkin saya memang berbakat jadi berondong idaman.

So, ketika mendengar berita Raffi Ahmad menjalin hubungan dengan Yuni Shara, saya pun sempat terpikir, “Apakah mungkin Raffi juga merasakan sesuatu seperti yang saya rasakan?”

Mungkin—sekali lagi, mungkin!—Raffi tidak mendapatkan kedamaian yang ia harapkan dari cewek-cewek sebaya yang pernah jalan bareng dengannya. Dan kemudian, dia menemukan Yuni Shara, dan menyaksikan sosok yang sebenarnya ingin ia temukan—sesosok yang entah bagaimana mengendap di bawah sadarnya. Dan menyaksikan Yuni Shara, mungkin Raffi menyadari bahwa itulah sesungguhnya sosok wanita yang diinginkannya.

Yuni Shara tentu berbeda jauh dengan cewek-cewek yang sebelumnya pernah jalan dengan Raffi. Bukan hanya dalam usia, tetapi juga dalam kematangan sikap dan cara menjalani hubungan yang elegan. 

Cewek ABG, kau tahu, suka mengirim SMS ke pacarnya hingga berpuluh kali dalam sehari hanya untuk bilang, “Kangeeeeen.” Sekali dua kali mungkin menyenangkan. Tapi setelah puluhan kali, SMS seperti itu benar-benar menjengkelkan juga membosankan. Nah, saya pikir, wanita dewasa mengetahui kenyataan itu, sehingga mereka akan menelepon sepantasnya, mengirim SMS secukupnya, dan bilang kangen tanpa membuat bosan pasangannya.

Wanita dewasa itu mendamaikan. Seperti yang terlihat dalam puluhan foto di internet, saya mendapatkan kesan ekspresi Raffi Ahmad begitu “tenteram” di sisi Yuni. Perhatikan kata dalam tanda kutip itu—tenteram, bukan bangga atau sekadar cengengesan.

Itu berbeda sekali dengan foto-foto pasangan artis yang sebaya. Mereka memang tampak bahagia, mungkin berpose sambil tertawa-tawa—tapi hanya itu. Dalam foto-foto yang membingkai Raffi dan Yuni, memancar aura ketenteraman. Raffi Ahmad tampak lebih dewasa dari umurnya, dan Yuni Shara terlihat matang serta bijaksana. Jika saya menjadi juri pasangan ideal Indonesia, saya akan memilih mereka.

Tapi kemudian saya mendengar hubungan mereka merenggang. Tak tahulah. Dan kemudian muncul berita lagi kalau hubungan mereka kembali erat seperti semula. Tak tahu juga saya. Yang jelas, di antara banyak orang yang mungkin merestui hubungan mereka, saya termasuk yang ikut bahagia di dalamnya. Dan jika mereka memang berjodoh, saya pun berharap dan berdoa, semoga mereka dapat melangsungkan ikatan itu hingga akhir hayat nanti.

Jadi, omong-omong, bagaimana kabar hubungan Raffi dengan Yuni?

2012-06-22

Pinjami

Pinjam tanganmu, pinjami tanganmu
Agar bisa kusentuh dunia dengan kelembutanmu

Pinjam kakimu, pinjami kakimu
Agar bisa kutapak luasnya jejak langkahmu

Pinjam matamu, pinjami matamu
Agar kupandang hidup dengan kejernihanmu

Pinjam bibirmu, pinjami bibirmu
Agar aku bisa berbincang dengan diriku

Pinjam senyummu, pinjami senyummu
Agar bisa kubagikan bahagia untuk sesamaku

Pinjam suaramu, pinjami suaramu
Agar dapat kusuarakan hati semerdu nada lagu

Pinjam hatimu, pinjami hatimu
Agar aku bisa menghayati cinta sepertimu

Pinjam cintamu, pinjami cintamu
Agar dapat kutemukan rahasia di diriku

2012-06-15

Jodoh

Ketika saya masih kecil—maksud saya, masih keciiiiil sekali—ada sebuah group musik dangdut bernama ‘Manis Manja Group’. Di dalam group ini tergabung empat orang pesinden dangdut paling okay bohay pada zaman itu, yakni Ine Chintya, Yulia Citra, Kitty Andriani, dan Lilis Karlina.

(Deskripsi di atas hanya berdasarkan memori masa kecil saya. Karenanya, kalau ternyata terdapat kekeliruan, tolong dikoreksi).

Nah, ada satu lagu milik ‘Manis Manja Group’ yang pernah sangat populer, berjudul “Jodoh”. Sebegitu populernya, hingga saya yang waktu itu masih kanak-kanak ikut hafal liriknya, dan hingga hari ini masih terkenang-kenang pada refrainnya. Refrain lagu itu berbunyi, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…”

Jadi, waktu itu, kalau pas lagi pengin nyanyi atau bersenandung, saya pun tidak jarang mendendangkan lagu itu. Lama-lama, sambil menyanyikan lagu yang asyik itu, saya mikir, “Kok, jodoh tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti? Lalu bagaimana orang bisa mendapatkan jodohnya?”

Karena otak bocah saya waktu itu tidak sanggup menemukan jawaban atas kebingungan tersebut, saya pun bertanya pada nyokap, “Mah, kalau jodoh tak usah dicari-cari dan tak usah dinanti-nanti, lalu gimana orang-orang bisa dapet jodoh? Apa jodoh tuh turun dari langit?”

Mungkin, karena ingin menutup pembicaraan “tingkat tinggi” itu, nyokap hanya menjawab, “Ya.”

Dan saya pun percaya—bahwa jodoh memang turun dari langit. Karena itu saya pun makin senang menyanyikan lagu itu, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…”

Ketika saya puber dan mulai tertarik dengan lawan jenis, saya mulai meragukan kebenaran bahwa jodoh turun dari langit. Ketika SMP, saya menyaksikan teman-teman saya mengejar-ngejar lawan jenis—yang cowok agresif sama cewek, yang cewek sibuk ngerumpi soal cowok. Pas SMA, urusan seputar cowok-cewek makin “parah”—dalam arti sama sekali tidak menunjukkan tesis si ‘Manis Manja Group’ bahwa jodoh turun dari langit.

Kalau jodoh turun dari langit, pikir saya waktu itu, maka seharusnya teman-teman saya tidak perlu mengejar-ngejar lawan jenis untuk bisa berpacaran. Kata ‘Manis Manja Group’, “tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti.” Tetapi, kenyataannya, jika kita tidak mencari dan menanti, susah banget mendapatkan pacar!

Ketika mulai kuliah, saya semakin tidak percaya pada lagu di atas, karena pada waktu-waktu itu banyak teman yang curhat tentang kisah cinta mereka yang beraneka ragam—yang semakin menunjukkan bahwa seseorang memang harus mengejar mati-matian untuk mendapatkan pacar atau jodoh. Saya masih ingat, ada teman sekelas saya waktu itu, yang cerita bahwa dia melakukan pedekate sampai satu semester hanya untuk meyakinkan calon pacarnya kalau dia benar-benar serius.

Artinya, seseorang mendapatkan jodohnya dengan usaha, dengan pencarian, dengan penantian, bahkan dengan pengejaran. Jadi apa maksudnya empat cewek manis di atas itu menyanyikan, “Joooodoh… tak usah dicari-cari, tak usah dinanti-nanti…?”

Tentu saja jodoh harus dicari dan dinanti, pikir saya waktu itu.

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya memutar ulang memori saya mengenai kisah-kisah yang berhubungan dengan cinta dan hubungan antarlawan jenis yang pernah dialami kawan-kawan saya. Dan, sambil menulis catatan ini pula, tiba-tiba saya mulai menyadari apa maksud nyanyian di atas.

Saya masih ingat, dulu si A pacaran dengan si B selama bertahun-tahun, tapi kemudian mereka menikah dengan orang lain yang sama sekali tak terduga. Si A menikah dengan si X, sedang si B kawin dengan si Z. Lalu, saya pun masih ingat, si K dulunya termasuk cewek populer di kampus, tapi sampai sekarang masih jomblo. Sedang si G yang dulunya dianggap cowok culun (bahkan pernah disangka homo) sekarang sudah punya tiga anak.

Kemudian, si D dan si W, yang dulu dianggap pasangan paling serasi di kampus, sekarang ternyata sudah kawin sendiri-sendiri dengan orang lain, dan sekarang hidup terpisah sejauh berkilo-kilo meter. Nah, si H kabarnya sudah berumahtangga dengan si R—keduanya dulu satu kampus, satu fakultas, satu angkatan, tapi tidak saling kenal. Mereka bertemu tanpa sengaja di acara kondangan, lalu saling sapa, dan jadi akrab setelah tahu kalau mereka satu kampus. Dan sekarang mereka sudah kawin.

Ini aneh. Ini jodoh. Ini… well, ini sepertinya memang turun dari langit.

Saya sendiri juga mengalami hal yang sama. Saya pernah pacaran dengan seseorang. Kami saling cinta, saling sayang, dan berjanji akan bersama sehidup semati. Baik saya maupun dia sama-sama yakin kalau kami berjodoh. Tapi kemudian hubungan kami bubar di tengah jalan, karena kesibukan masing-masing. Saya sibuk belajar, dia sibuk syuting. Sekarang, mantan pacar saya itu kawin dengan Christian Sugiono.

(Oke, oke, yang barusan itu ngaco! Tolong kalian tidak usah tegang begitu!).

Jadi, apakah jodoh memang turun dari langit? Mungkin saja iya. Kita lihat, ada dua orang yang sebelumnya tak pernah bertemu, tidak saling kenal, dan terpisah jarak ribuan kilometer, tapi kemudian suatu hari mereka bertemu di tempat yang tak terduga, di waktu yang tak disangka, dan setelah itu… nyebar undangan. Dasar jodoh!

Ada juga dua orang yang pada mulanya sudah saling kenal karena pernah satu sekolah. Tapi mereka tidak pernah memendam perasaan apa pun, selain hanya sebagai teman. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, keduanya saling bersua di internet, saling sapa di blog, lalu membangun hubungan yang lebih dekat, dan kemudian menikah. Sekali lagi, dasar jodoh!

Sebaliknya, ada pula dua orang yang sudah bertahun-tahun pacaran, dan dunia pun hampir yakin kalau kedua orang itu pasti akan menikah. Tapi kemudian tersiar kabar kalau kedua bocah itu putus, dan masing-masingnya kawin dengan orang lain yang sama sekali tak disangka-sangka. Oh, jodoh yang aneh!

Memang, jodoh termasuk satu di antara beberapa hal lain yang tak bisa diprediksi. Bisa dibilang kita tak bisa yakin siapa, di mana, dan kapan akan bertemu si Jodoh. Bagi yang sudah punya pacar, mungkin bisa saja memprediksi kalau si pacar sekarang akan menjadi jodohnya. Tapi prediksi bukan kepastian mutlak, karena sifatnya yang memang (hanya) prediktif. Siapa tahu kalau ternyata pacarmu adalah calon jodohku? Hehe…

Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa sosok-sosok yang terbilang “sempurna” akan mudah mendapatkan jodoh. Tetapi, itu pun tidak seratus persen benar, tidak seratus persen terbukti. Saya mengenal cukup banyak lelaki-lelaki “perfect” yang tetap saja melajang karena memang belum ketemu jodoh, saya pun menyaksikan wanita-wanita mengagumkan yang tetap sendirian dan menanti-nanti datangnya jodoh.

Di Yunani zaman dulu, ada seorang cewek bernama Xanthippe, yang tinggal di Athena. Bagi masyarakat Athena waktu itu, Xanthippe adalah cewek yang terbilang “parah”. Secara fisik, dia tidak bisa dibilang cantik. Secara otak, dia juga dianggap tolol. Lebih dari itu, cewek ini juga cerewet, usil, judes, ceriwis, tidak bisa bersikap manis—pendeknya bukan tipe cewek yang akan membuat cowok jatuh hati.

Tetapi, ternyata, cewek “parah” ini mendapatkan jodoh yang luar biasa. Dia menikah dengan Socrates. Iya, Socrates yang itu!

Ketika Socrates kawin dengan Xanthippe, masyarakat Yunani pun gempar! Tapi begitulah jodoh—kadang-kadang memang tak masuk akal. Kita tak pernah bisa memprediksikan nasib seseorang menyangkut jodohnya, kita bahkan kadang tak bisa memprediksi siapa yang kelak akan menjadi jodoh kita. In this case, saya pun tidak yakin kelak akan berjodoh dengan siapa.

Si B, seorang cowok yang saya kenal, saban malam keluyuran ke kafe-kafe dengan harapan bisa ketemu cewek yang diharapkan dapat berjodoh dengannya. Pasalnya, nyokap si B terus-terusan menyinggung soal jodohnya, dan si B sendiri juga sebenarnya ingin segera menikah, lalu hidup tenteram bersama seorang istri. Tetapi, sampai bertahun-tahun keluyuran keluar masuk kafe dan menghamburkan uang tak terhitung banyaknya, si Jodoh tidak juga tertemukan.

Si D sebaliknya. Cowok ini terkenal sebagai “cowok rumahan” karena kegiatannya sehari-hari cuma membaca buku, main game di komputer, nonton bokep, dan punya pekerjaan mapan yang tidak mengharuskannya keluar rumah. Kalau disindir soal pacar, si D akan cengengesan sambil berujar, “Apa enaknya pacaran, sih?” Kebetulan si D hidup sendirian di rumahnya, jadi tidak ada orangtua yang ribut bertanya soal jodoh.

Eh, suatu hari, terjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Suatu siang, ketika si D baru saja bangun tidur, pintu rumahnya diketuk orang. Waktu dibuka, ternyata seorang cewek. Muda, dan cantik. Singkat cerita, ternyata si cewek salah alamat. Singkat cerita pula, si D dan cewek itu berkenalan, kemudian akrab, dekat, dan… taraaaa, mereka kawin! Waktu saya menulis catatan ini, si D dan istrinya sedang happy, karena tak lama lagi anak pertama mereka akan lahir.

Jadi, sekali lagi, apakah jodoh memang turun dari langit, sehingga tak perlu dicari dan dinanti sebagaimana yang dinyanyikan ‘Manis Manja Group’? Mungkin iya. Hanya saja, kita tak pernah tahu di langit sebelah mana jodoh itu akan turun menemui kita.

Rindu Untuk Pulang

Aku bisa melemparkan anganku ke tempat paling jauh, dan mengikutinya. Aku bisa melangkahkan kakiku ke tempat paling jauh, dan menikmatinya. Aku bisa pergi ke ujung mana pun paling tersembunyi, lekuk dunia paling sunyi. Aku pun bisa menyeberangi samudera atau melintasi langit mana pun untuk menjejakkan kaki di tempat yang kuinginkan. Tetapi, pada akhirnya, kapan pun waktunya, aku harus pulang.

....
....

Selalu tiba waktunya untuk pulang, karena jalan sepanjang pertanyaan. Menatap masa lalu yang semakin menjauh, dan menatap esok yang luas terbentang. Selalu ada masanya untuk pulang.

Pada waktu bayangan itu datang, bertahun-tahun lalu, aku membayangkan pada akhirnya adalah permulaan. Sebuah awal untuk mengakhiri, sebuah jeda untuk reffrain tarikan napas.

Dan hari-hari itu berjalan, melangkah. Atau berlari. Pernah ada suatu waktu ketika aku pergi, sendirian, dan memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Menyelesaikan mimpi buruk yang tak kunjung selesai—teriakan sunyi kepada langit. Dan luka. Dan tangis.

Satu per satu datang dan pergi. Datang dan pulang. Pada waktu itu aku ingin ikut bersama mereka—pergi, atau pulang, meninggalkan larut gelap malam. Tapi aku bertahan, menyatakan pada diri sendiri bahwa jalan masih panjang…

Berapa panjang waktu itu telah berlalu…? Kadang-kadang, saat duduk sendirian, membayangkan semua itu berkelebatan dalam benak, aku ingin tersenyum dan memaki, menyebutkan apa saja yang dapat kukatakan. Lalu hilang. Hilang lagi.

Mungkin sebenarnya kuhilangkan, karena ingin kulupakan. Tapi ketika malam datang dan kesunyian merobek langit, suara dan bayangan dan mimpi buruk itu kembali bermunculan seperti roh-roh kegelapan dari negeri yang tak kukenal.

Dan sekarang kembali datang. Kembali datang…

Aku rindu. Dan menangis. Aku ingin kembali. Aku ingin pulang.

Pulang kepada pulang.

2012-06-04

Siomay, Bukti Keberadaan Tuhan

Aku berpikir, maka Tuhan ada.
Descartes

Aku makan siomay, maka Tuhan ada.
Bayu Kacrut


Saya suka siomay. Ralat. Saya sangat sukaaaaaa siomay. Untungnya, di kota tempat tinggal saya banyak penjual siomay. Dari yang paling enak sampai yang enaaaaaaak sekali. Di antara yang tergolong “paling enak” adalah siomay yang ada di jalan Kaliurang (bukan promosi). So, setiap kali ada kesempatan, saya selalu menyempatkan diri mampir ke sana.

Warung siomay tersebut sangat sederhana, jauh dari kesan wah atau mewah untuk ukuran warung makan, dan di bagian depannya tertulis, “Siomay Kang Cepot”. Saya sempat tanya kepada pelayannya, kenapa dinamakan Siomay Kang Cepot, kenapa tidak Siomay Mbah Marijan, Siomay Jakal, Siomay Makmur Jaya atau Siomay Jogja Berhati Nyaman??..Dia menjawab, Si Cepot itu adalah nama dari si empunya yang memiliki warung tersebut. Dan konon dia orang Bandung. Tapi menurut pengamatan saya, kebanyakan dari pelayan-pelayannya adalah orang Jawa Tengah. Ohh well,,kenapa saya harus bahas membahas domisili?!.  Sejujurnya, saya tidak tahu apakah siomay memang berasal dari Bandung. Tapi yang jelas, entah kenapa, segala hal yang khas Bandung selalu terasa nikmat bagi saya, di antaranya siomay khas Bandung, dan batagor khas Bandung. Kadang-kadang saya jadi kepikiran untuk punya pacar orang Bandung.

Oke, yang terakhir itu ngelantur dan tidak benar.

Di warung siomay itu, saya selalu memesan versi jumbo. Dan segelas es teh atau es jeruk. Biasanya, sepulang dari sana, kenyang dan nikmatnya mampu bertahan hingga lama. Siomay, bagi saya, adalah salah satu karunia alam semesta.

Pernah, suatu sore, saya mampir ke warung siomay tersebut, dan memesan siomay seperti biasa. Ketika sedang enak-enaknya menikmati siomay, datang tiga cewek remaja—sepertinya mereka mahasiswi semester awal, kalau dilihat dari tas ransel unyu yang mereka bawa. Lalu mereka duduk di salah satu meja.

Saya tidak terlalu mempedulikan mereka, dan terus asyik menyantap siomay. Tapi kemudian saya mendengar bisik-bisik ketiga cewek unyu itu.

“Ssstt,” bisik salah satu dari mereka, “ini kok ada ya makanan enaknya kaya gini.huft aku sampai gak bisa menjelaskan betapa nikmatnya makanan ini.”

“husstt jangan -gumunan- lah” jawab cewek satunya.

Lalu cewek yang satunya lagi menyahut dengan suara yang juga berbisik, “Ya emang enak sihh, lha itu buktinya -mas-nya buuuuanyyakkk banget makannya.” (sambil melirik ke arah saya).
Lalu ketiganya menatap ke arah saya. Dan tiba-tiba siomay dalam mulut terasa seperti batu bata. Ini salah satu hal yang saya benci dalam hidup—menjadi perhatian ketika sedang tidak ingin diperhatikan. Kau tahu, saat-saat makan—khususnya makan siomay—adalah saat-saat sakral karena kita ingin menikmatinya sepenuh hati tanpa gangguan. Dan diperhatikan tiga cewek ketika sedang makan siomay adalah hal terakhir yang tidak saya inginkan.

Lalu terdengar suara bisikan lagi, dari cewek kedua, “ehh orangnya -merasa- lho”

“Iya!” bisik temannya. “Kita terlalu kencang mungkin bisik-bisiknya.”

Dan si cewek satunya lagi menyahut, “Tapi… emang banyak banget ya dia makan siomaynya?”

Detik itu saya tersedak, dan rasanya ingin berteriak, “MEMANGNYA KENAPA KALAU SAYA MAKAN SIOMAY DALAM JUMLAH BANYAK…???”

Mungkin cewek-cewek itu tidak paham, bahwa siomay bagi saya bukan hanya jajan favorit, tetapi juga sarana yang nikmat dalam memahami eksistensi Tuhan. Oh, well, mungkin ini terdengar aneh, atau absurd, atau bahkan bombastis. Tetapi saya benar-benar menyadari keberadaan Tuhan ketika sedang makan siomay.

Jadi, kalau hari ini saya ditanya, “Hei, bay, apakah kau percaya Tuhan ada?”

Saya dengan yakin akan menjawab, “Ya, saya percaya Tuhan ada!”

Dan jika pertanyaannya disambung, “Apa buktinya Tuhan benar-benar ada?”

Maka saya pun akan menjelaskan, “Buktinya saya suka siomay!”

Oke, saya tahu, detik ini dunia pasti berteriak, “APA HUBUNGANNYA, COBA?”

Sejujurnya saya tidak tahu apa hubungan Tuhan dengan siomay. Atau bagaimana memfilsafatkan siomay agar membuka jalan pada pemahaman atas kepercayaan adanya Tuhan. Tetapi yang jelas, saya meyakini keberadaan Tuhan, dan keyakinan itu selalu menguat setiap kali saya makan siomay.

Mungkin memang tidak ada hubungannya—bagi orang lain. Tapi bagi saya ada hubungannya.

Rene Descartes meyakini keberadaan Tuhan dengan berpikir secara mendalam. Albert Einstein menemukan Tuhan dalam kerumitan rumus fisika. Jalaluddin Rumi menemukan Tuhan dalam tarian yang membuatnya ekstase. Rabi’ah al-Adawiyah menemukan Tuhan dalam kekhuysukan dzikir di kesunyian. Mother Theresa menemukan Tuhan dalam kasih dan pengabdian pada sesamanya. Jadi apa salahnya kalau saya menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang makan siomay…?

Masing-masing orang menemukan keyakinannya terhadap Tuhan dalam jalannya sendiri-sendiri, karena bahkan definisi Tuhan pun kadang memiliki perbedaan arti. Ada orang yang meyakini keberadaan Tuhan dalam keheningan, tapi ada pula yang justru menemukannya dalam keramaian. Ada yang menemukan kebesaran dan keagungan Tuhan ketika bersatu dengan alam, ada pula yang menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang menikmati makanan.

Tetapi yang jelas, khususnya bagi saya, jauh lebih mudah untuk meyakini bahwa Tuhan ada daripada meyakini Tuhan tidak ada. Begitu pentingnya fakta ini, sampai-sampai saya merasa perlu mengulanginya. Jauh lebih mudah meyakini Tuhan ada, daripada meyakini Tuhan tidak ada.

Begitu pula, jauh lebih mudah membuktikan keberadaan Tuhan, daripada membuktikan ketiadaan Tuhan. So, orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan pastilah orang yang sangat-sangat genius… atau orang yang sangat-sangat tolol. Dalam hal ini, kebetulan, saya tidak termasuk keduanya. Karena itu, saya percaya keberadaan Tuhan. Dan kepercayaan itu semakin menguat ketika sedang makan siomay.

Tidak usah tanya apa alasan atau hubungannya, karena ini masalah privat kepercayaan hamba kepada Tuhannya. Saya yakin Tuhan tidak akan murka ketika saya mengingat-Nya pada waktu makan siomay, jadi tidak ada alasan bagi sesama manusia untuk menghujat saya.

Saya setuju dengan pendapat teman saya yang mengatakan, “Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia adalah bukan Tuhan. Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan, dan Tuhan sama sekali tidak dapat diangan-angankan atau dipikirkan manusia.”, bahwa sebenarnya Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia bukanlah Tuhan, karena memang Tuhan tidak bisa dipikirkan, dibayangkan, atau dikhayalkan. Karena itu pula, para alim dan orang bijak sering kali mengingatkan, “Jangan memikirkan Tuhan, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya.”

Ketika makan siomay, saya tidak memikirkan Tuhan. Ketika makan siomay, saya merasakan nikmat di lidah, kunyahan dalam mulut. Ketika merasakan nikmat itu, saya lebih mudah memikirkan banyak hal yang hebat dan luar biasa dalam alam semesta. Ketika menemukan kehebatan bahkan keagungan alam semesta, keyakinan saya pada eksistensi Tuhan pun bertambah. So, saya menemukan eksistensi Tuhan ketika makan siomay.

Saya tidak tahu Tuhan itu seperti apa atau seperti siapa. Tapi saya meyakini eksistensi-Nya, keberadaan-Nya. Dalam hal keyakinan terhadap eksistensi Tuhan—tentu kita sepakat—masing-masing orang memiliki caranya sendiri.

Karena itu, saya benar-benar tidak habis pikir ketika ada segerombolan orang yang merasa memiliki hak mutlak atas Tuhan, dan kemudian mudah mengamuk, menyalahkan, dan mengkafir-kafirkan orang lain, hanya karena perbedaan dalam cara memaknai eksistensi Tuhan.

Orang-orang yang suka menyalahkan dan mengkafir-kafirkan orang lain itu mungkin menganggap Tuhan hanya miliknya, bahwa Tuhan hanya berpihak pada mereka, bahwa Tuhan harus ditemukan dan dipercayai melalui cara mereka. Bagi saya itu sangat naif, bahkan konyol. Orang-orang seperti mereka, menurut saya, mungkin perlu sering-sering makan siomay.

Kisah Pengembara,Orang Bijak, dan Putri Cantik.

Pada zaman dahulu kala....

(Oke, saya tahu, kata pembuka itu terdengar kuno. Tapi isi catatan ini memang kuno, jadi saya sengaja menulis kata pembuka kuno seperti itu. Well, kita ulangi.)

Pada zaman dahulu kala, ada seorang Putri cantik yang ingin kawin. Sebegitu ngebetnya ingin kawin, Putri itu sampai menempelkan gambar dirinya di mana-mana. Di pohon-pohon, di tembok-tembok, di pasar, di kandang bebek—hampir di setiap tempat yang memungkinkan, selalu tertempel gambar dirinya. Belum cukup, dia bahkan mengirimkan gambar dirinya ke rumah-rumah yang ditemuinya, menyelipkan lembaran-lembaran gambar dirinya melalui celah pintu.

Gambar-gambar itu semuanya berisi foto dirinya dalam berbagai pose, dan dia menyebar-nyebarkan gambarnya itu dengan tujuan ada lelaki yang tertarik kepadanya, lalu mencarinya ke ujung dunia, lalu menyatakan cinta kepadanya, lalu mengajaknya menikah, lalu membawanya ke istana indah, dan mereka pun hidup bahagia selamanya.

Mungkin si Putri terlalu lama membaca kisah-kisah Grimm Bersaudara. Mungkin ia terlalu terobsesi dengan drama Cinderella. Mungkin pula, si Putri memang perempuan dramatis yang menginginkan kisah romantis yang membuat penontonnya pengin nangis sambil pipis.

Yang jelas, upaya yang dilakukan si Putri tidak berhasil. Meski dia terus menyebar-nyebarkan bahkan memamer-mamerkan gambarnya di mana-mana, tidak ada satu lelaki pun yang tertarik, apalagi jatuh cinta, apalagi mengejar-ngejarnya, apalagi mengajaknya menikah, apalagi membawanya ke istana indah.

Sampai kemudian, sang Putri bertemu seorang bijak yang memberikan nasihat bagus.

“Tuan Putri,” kata si Orang Bijak, “kau akan sulit menemukan suami jika caranya seperti itu.”

Si Putri terkejut, “Oh, mengapa begitu, Orang Bijak?”

Si Orang Bijak menjelaskan, “Kau menyebar-nyebarkan, bahkan memamer-mamerkan, gambar dirimu kemana-mana dan di mana-mana. Cara itu menjadikanmu tampak murahan, karena setiap orang dapat melihat dan memandangimu. Mereka tahu, tujuanmu menyebar-nyebarkan gambar itu agar ada lelaki yang tertarik. Itu tak ubahnya barang obral yang dapat dijangkau semua orang. Karena mudah dijangkau, para lelaki—khususnya yang baik dan hebat—justru menjauh, karena tidak ada lelaki waras yang mau menikah dengan perempuan yang mengobralkan dirinya.”

Wajah si Putri bersemu merah. Mungkin malu, atau mungkin sadar telah keliru—entahlah. Yang jelas dia terdiam mendengar ucapan itu.

Dan si Orang Bijak melanjutkan, “Semakin kau agresif mengobralkan diri, kau justru sedang menjauhkan jodohmu sendiri. Mungkin ada banyak lelaki mendekatimu karena ulahmu menarik perhatian mereka—tetapi mereka tidak akan menjadi jodohmu, karena mereka akan berpikir seribu kali untuk menjadikanmu pasangan hidup. Tidak ada lelaki yang bisa tenteram jika mengetahui pasangannya tak bisa menjaga diri—dan agresivitas berlebihan yang kautunjukkan dengan menyebar-nyebarkan gambarmu kemana-mana adalah bukti kau tak bisa menjaga kehormatan diri.”

“Uh… jadi, apa yang seharusnya kulakukan, Orang Bijak?”

“Hargai dan hormatilah dirimu sendiri,” jawab si Orang Bijak. “Tempatkan dirimu di tempat yang layak, buatlah dirimu berharga, sehingga para lelaki ingin menemukan dan mendapatkanmu. Semakin sulit kau didapat, semakin mereka bersemangat!”

Entah paham atau tidak dengan nasihat itu, sang Putri manggut-manggut. Tidak lama setelah itu, sang Putri mengadakan sayembara. Dia melemparkan sebuah cincin imitasi ke lautan, kemudian mengumumkan, “Siapa pun lelaki yang bisa menemukan cincin itu, dia akan menjadi suamiku. Tapi jika gagal, dia akan kubunuh.”

Sayembara itu tidak masuk akal. Tetapi, lebih tak masuk akal lagi, ternyata ada banyak lelaki yang cukup tolol mengikuti sayembara itu. Rupanya nasihat Orang Bijak yang didengarnya benar-benar manjur—semakin sulit dia didapat, semakin banyak lelaki bersemangat.

Jadi begitulah, puluhan lelaki datang dari berbagai penjuru untuk mengikuti sayembara tersebut, dan mencoba keberuntungannya. Satu per satu mereka menceburkan diri ke lautan untuk dapat mengambil cincin imitasi yang dilemparkan sang Putri, demi bisa menjadi suaminya. Tapi tak ada yang berhasil.

Satu per satu dari mereka kemudian kembali ke darat dengan tangan hampa. Dan, sebagai konsekuensinya, mereka pun dibunuh satu per satu. Ada yang dipenggal lehernya, ada yang ditenggelamkan ke lautan, ada yang digantung, ada pula yang disetrum listrik. (Ya, ya, mungkin waktu itu belum ada listrik—so what?).

Seiring berlalunya hari, jumlah peserta sayembara itu makin menipis, karena satu per satu dari mereka dibunuh akibat gagal. Sampai kemudian, suatu hari seorang pengembara dari Betawi datang ke tempat itu, dan menemui sang Putri.

Sang Putri bertanya, “Apakah kau ingin mengikuti sayembara ini, hei Pengembara?”

“Tidak, Tuan Putri,” jawab si Pengembara. “Gue ke sini cuma pengin bilang, lu mau kawin aja kok susah amat. Kasihaaaaaaaan deh lu!”

2012-06-02

Jangan Kentir Cuma Gara-Gara Pengin Kawin

"Pliiz jadikan saya mantu anda"
Tulisan di foto seorang cewek di jejaring sosial.

 ***

Setengah bulan yang lalu saya stres berat, karena tekanan kehidupan tanpa henti, dan waktu yang sepertinya tak bisa diajak kompromi. Meski sudah berusaha efisien, saya merasa terus tertinggal oleh detik jam. Dan kondisi penuh tekanan semacam itu menjadikan insomnia saya makin parah.
 
Tingkat keparahan itu makin menjadi-jadi kalau tugas sedang menumpuk dan diburu waktu. Entah kenapa atau bagaimana, saya tak pernah bisa tidur kalau pikiran belum tenang, semisal tugas yang belum rampung. Bahkan setelah mata sangat mengantuk dan tubuh sangat lelah sekalipun, tetap saja sulit tidur.

Seperti bulan kemarin. Sebegitu sulit tidurnya, sampai-sampai saya membuat “rekor” dalam hal tidak tidur. Karena ingin sekali menyelesaikan tanggung jawab, saya sampai tidak tidur dua hari dua malam. Selama begadang terus-menerus tanpa henti itu, yang saya khawatirkan bukan kondisi fisik saya, tapi kondisi komputer. Saya benar-benar berdoa semoga komputer yang saya ajak begadang tidak meledak atau mati tiba-tiba.

Setelah dua hari tidak tidur, badan saya serasa tak bisa digunakan lagi. Letih lahir batin. Fisik sudah lemah, otak tak bisa lagi diajak mikir. Akhirnya, setelah tak lupa mematikan komputer—dan benar-benar memastikan benda itu mati sewajarnya karena shut down—saya pun melangkah sambil merem ke kamar tidur. Begitu badan menyentuh tempat tidur, saya langsung terlelap.

Dan tidur selama satu hari penuh.

Ketika bangun tidur, rasanya seperti… jetlag. Sewaktu bangkit dari tempat tidur, dan duduk sambil bengong, saya baru menyadari kalau saya terbangun akibat kelaparan—karena satu hari penuh tertidur dan tidak makan. Perut rasanya keroncongan campur dangdutan. Mungkin, kalau tidak lapar, saya pasti masih enak-enak tertidur dan entah akan bangun kapan.

Saya duduk dengan lemas sambil menatap jam di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul 4. Sesaat, saya kebingungan itu jam 4 pagi atau jam 4 sore. Lalu saya ambil ponsel, untuk memastikan waktu. Rupanya jam 4 pagi. Ketika melihat hari dan tanggal, saat itulah saya menyadari sudah tertidur satu hari penuh.

Saya bangkit, dan menuju kamar mandi untuk cuci muka. Lalu membuat kopi. Dan merokok. Sambil merasakan badan yang masih letih serta perasaan seperti jetlag. Sedang perut keroncongan bukan main. Dan saya mikir, ke mana harus mencari warung makan sepagi ini?

Masalahnya bukan hanya mencari warung pada pukul empat pagi. Kalau saya memaksakan diri untuk keluar, mau tak mau harus memanaskan mesin kendaraan, karena satu hari tak dipakai. Dan itu tentu akan mengganggu tetangga kanan kiri, karena masih sangat pagi. Standar etika saya tidak bisa diajak kompromi.

Akhirnya, sambil menahan lapar, saya pun menyabar-nyabarkan diri menunggu subuh tiba. Nanti, seusai subuh, saya bisa mulai memanaskan mesin dan keluar cari makan. Untuk menghibur diri—dan membunuh waktu—saya pun membaca buku. Dan bikin kopi lagi. Sambil diam-diam berharap tidak tertidur lagi. Karena, jika itu sampai terjadi, saya khawatir tidak akan bangun lagi.

Seusai subuh, saya mulai memanaskan mesin, lalu kabur mencari warung. Sambil menyusuri jalanan yang masih sepi, saya lirak-lirik kanan kiri, mencari warung makan yang sudah buka. Sampai akhirnya, di tempat yang cukup jauh, ada satu warung yang telah buka, dan terlihat masih sepi. Saya pun masuk ke sana. Dan segera makan dengan lahap.

Pada waktu makan itulah, inti cerita ini dimulai.

Ketika sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba terdengar suara lelaki berteriak-teriak tidak jelas. Lelaki itu sepertinya di dekat warung tersebut, dan terus berteriak-teriak sendiri, mengeluarkan kata-kata yang semrawut dan tidak terstruktur. Sepertinya dia tidak pernah belajar grammar. Atau conversation. Entahlah.

Berdasarkan pendengaran saya sambil makan, inilah yang diucapkan lelaki itu sambil teriak-teriak, “Pokoknya…! Haiyyaaa, pokoknya kawin! Aku kan kawin saja ini itu sama kawin. Mosok sulit sekali padahal aku tidak pernah bilang begitu selain kawin. Ya, kan? Hahahaaaa…! Aku ingin berlomba-lomba untuk kawin, masyarakaaaaat. Haiyyaaa, pokoknya! Pokoknya kawin! Sudah saja, ketika semua orang berlomba-lomba untuk kawin, aku malah ingin kawin. Hahahahaaaa! Benar-benar supaya! Oaaah, supaya! Masyarakaaaaaat! Mau kawin aja kok susah!”

(Tentu saja kalimat-kalimat itu berdasarkan ingatan saya yang mungkin tidak akurat, dengan penerjemahan sekadarnya, dan sensor ketat atas kata-kata tidak senonoh di sana-sini).

Karena penasaran dan tergelitik dengan ocehannya, saya pun melongok keluar, dan menyaksikan lelaki itu sedang semangat ngoceh sambil berdiri dengan gaya orasi. Dilihat dari penampilan fisiknya, sepertinya dia berumur 35 tahunan. Pakaiannya terlihat bersih, tidak terkesan orang gila yang tidak terurus. Dia terus ngoceh, dan kata “kawin” terus-menerus terselip dalam ocehannya.

Saya pun bertanya pada ibu si penjual warung makan, “Siapa tuh, Bu?”

“Itu orang kentir (tidak waras), Mas,” jawabnya. Kemudian ibu itu bercerita, “Dia tuh dulu pengin kawin, tapi nggak tahu kenapa selalu gagal. Pernah pacaran, terus bubar. Malah dulu pernah tunangan, tapi juga putus di tengah jalan. Lama-lama dia jadi kentir, ya mungkin karena kepenginannya kawin nggak kesampaian. Tiap pagi selalu teriak-teriak gitu. Kata orang-orang sih, mungkin dia bakal waras lagi kalau udah kawin.”. Dan setiap kali saya kesana untuk makan, tak bosan-bosanya si Ibu tadi menceritakan lagi kisah orang kentir tersebut kepada saya.

Saya terdiam. Karena bingung mau jawab apa. Juga karena tiba-tiba saya menatap diri sendiri. Sampai segede ini, hati saya kok belum terketuk ingin kawin. Dan tiba-tiba saya khawatir jadi kentir kalau dipaksa kawin. Oh, well, kalau ada orang yang jadi kentir karena pengin kawin, tentu logis kalau ada pula orang yang jadi kentir karena dipaksa kawin padahal belum pengin kawin.

Tiba-tiba saya merasa tidak normal. Sebenarnya sih dari dulu saya memang tidak normal. Kalau normal tentu saya sudah pengin kawin!

Kadang-kadang, saya “memanas-manasi” diri sendiri dengan menyaksikan teman-teman saya yang sudah punya istri. Atau sengaja menjebak diri sendiri ke dalam keramaian, agar bisa memelototi pasangan-pasangan yang sedang asyik dan bermesra-mesraan. Ya, kadang-kadang upaya itu memang berhasil—tapi temporer.

Ketika melihat teman-teman saya tersenyum bahagia dengan istri-istri mereka, atau menyaksikan pasangan-pasangan yang sedang bergandengan tangan, saya memang merasakan keinginan untuk memiliki pasangan (istri) dan berumah tangga. Tetapi, setelah pemandangan itu sirna, dan saya kembali sendirian, semua keinginan itu pun ikut sirna. Saya telah telanjur jatuh cinta pada keheningan.

Ketika merasakan hening, sendirian, di rumah yang sunyi, tanpa suara, sering kali saya bersyukur karena tidak memiliki istri dan anak-anak. Kehadiran mereka pasti akan merenggut keheningan dari hidup saya.

Sering kali, ketika sedang asyik mengerjakan sesuatu hingga lupa waktu dan lupa segalanya, saya pun membayangkan, “Untung aku tidak punya istri. Kalau ada istri, dia pasti akan ngamuk-ngamuk karena dicueki.”

Atau, ketika sedang asyik berpikir, sampai berjam-jam, kadang terselip pikiran nakal, “Untung aku tidak punya istri. Kalau punya istri, aku pasti tidak akan sempat memikirkan hal-hal ini, karena akan terus sibuk memikirkan dirinya.”

Pendeknya, saya lebih sering bersyukur karena tidak memiliki pasangan
(istri) daripada sebaliknya. Ya, ya, mungkin saya memang tidak normal. Tetapi standar kenormalan manakah yang akan kita gunakan dalam hal ini? Apakah orang-orang yang memilih tidak kawin memang layak dianggap tidak normal? Dan hanya orang-orang yang kawin saja yang normal? Tapi bukankah kawin atau tidak kawin adalah hak setiap orang?

Ironi dalam sistem masyarakat kita, sepertinya, adalah rancunya perbedaan antara hak dan kewajiban. Beberapa hak dianggap kewajiban, sehingga jika “kewajiban” itu tidak dilakukan, maka akan dianggap tidak normal. Ya contohnya soal kawin itu.

Meski sesungguhnya kawin (menikah, merid, etc) adalah hak, tapi sistem masyarakat kita menganggapnya kewajiban. Dan karena sistem masyarakat menganggapnya kewajiban, maka mayoritas orang pun melakukannya—karena ingin memenuhi “kewajiban”, atau juga karena memang pengin kawin.

Tentu hal biasa kalau kita menyaksikan orang yang jelas-jelas menunjukkan keinginannya untuk kawin. Atau teman kita yang sibuk minta dicarikan pacar, pasangan, dan semacamnya. Banyak orang yang sampai mengikuti acara-acara semacam biro jodoh demi tujuan yang sama. Bahkan konon Facebook atau media sosial lain pun dijadikan salah satu sarana untuk menemukan pasangan. Untuk kawin.

Tentu saja mereka tidak salah. Sama tidak salahnya dengan orang yang memang tidak atau belum ingin kawin.

Ehmm… Ada sebuah buku berbahasa Arab yang sangat bagus berjudul Al-‘Ulama’ Al-‘Uzzab alladzina Atsarul ‘Ilma ‘alaz Zawaj. Buku ini mengisahkan para ulama dan para pecinta ilmu (kebetulan semuanya lelaki) yang memutuskan tidak kawin sampai mati karena ingin membaktikan hidupnya untuk belajar dan mencari ilmu. Sejujurnya, saya sampai nangis bombay waktu membaca buku ini. Dan, sejujurnya pula, saya makin tidak pengin kawin!

Beberapa pecinta ilmu yang dikisahkan dalam buku ini adalah Yunus bin Habib Al-Bashri, Abu Bakar bin Al-Anbari, Ibnu Taimiyyah, Abul Hasan Al-Qifthi, Ibnul Khasysyab Al-Baghdadi, Abul Wafa’ Al-Afghani, dan lain-lain—semuanya orang hebat, setidaknya saya mengagumi karya-karya mereka.

Sementara ada jutaan orang yang sibuk bahkan sampai kentir karena pengin kawin, ada segelintir orang yang justru menjauhi keinginan itu dan memutuskan untuk tidak kawin. Artinya, bagi saya, ada kebahagiaan bahkan kepuasan dan ketenteraman yang setara atau senilai dengan pasangan hidup, dengan perkawinan—setidaknya bagi mereka yang memilih tidak kawin.

Maksud saya, jika orang pengin kawin karena tujuan ingin mendapatkan pasangan agar bisa hidup tenteram dan bahagia, maka artinya orang-orang yang telah memutuskan tidak kawin telah menemukan ketenteraman dan kebahagiaan yang setara nilainya di luar perkawinan. Mungkin bersama buku, mungkin bersama ilmu—siapa tahu…?

Saya tidak berani memastikan, karena saya sendiri masih ragu. Saya hidup di zaman modern, bukan di zaman dahulu kala sebagaimana orang-orang hebat yang kisahnya tertulis di buku tadi. Saya menghadapi sistem nilai masyarakat, saya menghadapi struktur dan takaran nilai moral kontemporer (jika belum kawin dianggap belum lengkap atau masih kurang), saya bahkan menghadapi orang tua saya sendiri yang tentunya menginginkan saya kawin.

Secara pribadi, mungkin saya mampu menjauhkan atau bahkan menghilangkan keinginan untuk kawin. Dalam sepuluh hal penting yang ada dalam hidup saya, perkawinan menempati peringkat paling bawah—itu pun jika dipaksa masuk. Artinya, kawin adalah hal paling tidak penting di antara hal-hal penting lain dalam prioritas.

Tapi saya tidak hidup sendiri di tengah hutan. Maksudnya, saya hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki nilai-nilai dan standar moral tertentu yang—meski tidak tertulis—namun telah disepakati bersama. Dan salah satu kesepakatannya adalah kawin.

Lebih dari itu, kadang saya juga “menantang” diri sendiri dengan bertanya pada diri sendiri, “Hei, Bayu. Kalau umpama suatu hari kamu ketemu cewek yang membuatmu jatuh cinta dan mabuk kepayang dan kamu ingiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnn kawin dengannya, kira-kira masih kuatkah kamu memegang prinsipmu untuk tidak kawin?”

Nah, saya tidak mampu menjawabnya.

Sekarang, ketika membayangkan semua ini, tiba-tiba saya ingin tidur lagi. Ya, mungkin tidur satu hari penuh lagi. Dan mungkin pula saya perlu berharap, semoga ketika bangun nanti saya bukan merasa kelaparan, tapi merasa… ingin kawin dengan pacar saya!uhuukk...

***