Teringat percakapan para sales elektronik yang saling klaim bahwa perusahaan tempat mereka bekerja adalah perusahaan yang paling kaya, sukses dan berhasil. Tetapi mereka tidak ingat bahwa hidup ini berputar. Kadang yang sekarang sudah berhasil, tidak selamanya pula akan berhasil di esok hari.
~bayu
Pemukiman tempat saya tinggal bukan komplek modern, melainkan perumahan
tradisional. Karenanya, masih ada bangunan kuno yang berdiri di sana,
dan rumah-rumah kuno itu bisa dikenali karena memiliki ciri khas. Rata-rata
rumah kuno berukuran besar, dengan bentuk sederhana namun kokoh, dan lantainya
sangat tinggi—sekitar 1 meter dari tanah.
Karena lantai rumah-rumah itu tinggi, di depan rumah pun biasanya dibuat
undak-undakan. Jika saya perhatikan, umumnya rumah-rumah kuno di komplek saya
memiliki empat sampai enam undakan. Bandingkan dengan rumah-rumah modern yang
biasanya memiliki lantai nyaris rata dengan tanah tempat dibangunnya.
Dulu, saya berpikir lantai rumah-rumah kuno sengaja dibuat tinggi untuk
menghindari banjir, agar rumah tidak kemasukan air. Ternyata saya keliru.
Ketika saya ngobrol dengan seorang tetangga yang sudah puluhan tahun tinggal di
sana, dia menjelaskan bahwa di masa lalu, banjir bahkan tidak pernah ada di
tempat tinggal kami.
Jadi, mengapa orang-orang kuno membangun lantai rumahnya
begitu tinggi?
“Itu bagian filsafat orang-orang di masa lalu,” tetangga saya menjawab.
Ketika saya bertanya lebih jauh, dia menjelaskan, “Orang-orang kuno sengaja
membangun rumahnya begitu tinggi bukan untuk menghindari bencana semisal
banjir, juga bukan untuk gagah-gagahan, melainkan untuk mengingatkan diri
sendiri bahwa hidup kadang naik dan kadang turun. Setiap kali mereka keluar
masuk rumah, mereka melewati undak-undakan di depan rumah, dan undak-undakan
itu dimaksudkan untuk terus mengingatkan filsafat tersebut. Bahwa hidup
sesekali naik, sesekali turun. Di satu waktu, kita menaiki undak-undakan. Di
waktu lain, kita menuruni undak-undakan.”
Sejak mengetahui kenyataan itu, perspektif saya pun berubah. Sebelumnya,
saya sempat berpikir orang-orang kuno sengaja membangun rumahnya begitu tinggi
sebagai bentuk keangkuhan mereka. Namun ternyata sebaliknya. Orang-orang di
masa lalu sengaja membangun rumah begitu tinggi agar tetap rendah hati. Agar
selalu ingat bahwa hidup tidak selamanya di atas, karena sewaktu-waktu siapa
pun bisa turun. Yang kaya bisa miskin, sebagaimana yang miskin bisa kaya. Yang
di atas bisa turun ke bawah, sebagaimana yang di bawah bisa naik ke atas.
Kenyataannya, hidup memang seperti itu. Bersama perputaran bumi pada
porosnya, orang-orang menjalani kehidupan yang naik dan turun, naik dan turun,
naik dan turun. Kadang mendapatkan, kadang kehilangan. Kadang menyongsong sinar
terang, kadang menghadapi kegelapan. Kadang tertawa ceria, kadang berurai air
mata. Sebagaimana siang menjemput malam, dan malam selalu menyongsong fajar. Di
hari-hari yang kita jalani, matahari pun terbit dan tenggelam.
Lima belas tahun lalu, ketika ponsel mulai populer, Siemens menjadi salah
satu pionir, bersama Nokia dan Ericsson. Aneka macam ponsel produksi mereka menguasai
pasar dunia, dan di waktu-waktu itu nyaris mustahil untuk mengalahkan dominasi
mereka. Tetapi, sekarang, bagaimana kabar ketiganya? Siemens sudah hilang.
Nokia telah tumbang. Ericsson pun tidak ada kabar.
Ericsson sempat bergabung dengan perusahaan Jepang, Sony, dan merger mereka
melahirkan ponsel tak terhitung banyaknya dengan merek Sony-Ericsson. Itu
penggabungan dua raksasa yang diprediksi akan mengalahkan semua saingan mereka.
Sony sangat hebat dalam teknologi, sementara Ericsson tahu bagaimana
menciptakan ponsel dengan wujud yang manis. Gabungan keduanya melahirkan
ponsel-ponsel Sony-Ericsson yang hebat dalam teknologi, sekaligus wujud
mempesona.
Kenyataannya, Sony-Ericsson memang pernah merajai pasar ponsel. Nokia, yang
terkenal sebagai vendor paling aktif dan paling produktif dalam merilis produk
baru, sempat keteteran menghadapi gempuran Sony-Ericsson. Sampai kemudian
merger Sony-Ericsson berakhir, dan keduanya kembali bekerja sendiri-sendiri.
Lepas dari Ericsson, Sony merilis ponsel-ponsel berteknologi canggih dengan
merek Sony, meski wujudnya tidak secantik ponsel-ponsel Sony-Ericsson.
Di Jepang, Sony adalah perusahaan raksasa yang tidak hanya dikagumi, tetapi
juga sangat disegani. Perusahaan yang telah berdiri puluhan tahun itu membuat
produk-produk hebat dengan teknologi canggih—televisi, Playstation, telepon
pintar, dan pernah merilis Walkman yang mengubah dunia. Mereka menjalankan
perusahaan dengan omset miliaran dollar, digerakkan para ahli dan eksekutif
kelas satu, dengan aneka produk yang menguasai pasar dunia.
Dengan segala kehebatan dan kejayaannya, para eksekutif Sony sangat yakin
mereka tak akan pernah dikalahkan siapa pun. Tapi hidup rupanya tak semudah
keyakinan mereka. Baru-baru ini, perusahaan raksasa itu sempoyongan, mengalami
kerugian terus menerus hingga napas perusahaan kembang kempis, sampai kemudian
diakuisisi oleh Samsung.
Itu antiklimaks mengerikan sekaligus ironis. Dua puluh lima tahun yang lalu,
Sony menilai Samsung sebagai “bocah kemarin sore yang tak tahu apa-apa”. Para
eksekutif Sony bahkan menjadikan Samsung olok-olok sarkastis, dan biasa
menyebut para eksekutif Samsung sebagai “bocah-bocah kere”. Tetapi “bocah-bocah
kere” itu kemudian mengalahkan si raksasa. Pada tahun kemarin saja, 2014,
Samsung membukukan keuntungan sebesar 250 triliun. Di waktu yang sama, Sony
justru mengalami kerugian sebesar 25 triliun. Seperti langit dan bumi.
Karenanya, ketika Samsung kemudian mengakuisisi Sony, kenyataan itu
merupakan antiklimaks yang mengerikan sekaligus ironis, juga membuka mata
banyak orang bahwa hidup memang naik dan turun. Yang semula raksasa bisa jatuh,
dan yang semula dihina bisa mengalahkan si raksasa.
Di luar kejatuhan Sony atau Nokia (yang sekarang diakuisisi Microsoft), kita
juga sempat menyaksikan kemunculan Blackberry yang pernah bersinar bagai
meteor. Ketika mulai menancapkan pengaruhnya di pasar ponsel, Blackberry
bagaikan angin puyuh yang memporakporandakan pasar ponsel dunia. Di waktu-waktu
itu, nyaris setiap orang beradab ingin memiliki ponsel Blackberry, bahkan hidup
rasanya masih kurang jika belum punya ponsel Blackberry.
Tapi berapa lama kejayaan Blackberry? Tidak lama, bahkan sangat sebentar.
Secepat kemunculannya yang membahana, pamor Blackberry surut dengan cepat.
Terlepas dari konflik internal perusahaan yang terjadi, ponsel Blackberry di
pasar dunia tidak “seagung” sebelumnya. Orang tidak lagi merasa hebat karena
memiliki ponsel itu, bahkan pelan-pelan mulai meninggalkannya untuk beralih ke
ponsel lain. Sesuatu yang semula dipuja-puja bisa berubah menjadi sesuatu yang
biasa-biasa saja.
Di luar itu, kita pun menyaksikan berbagai perusahaan raksasa tumbang,
bahkan tanpa prediksi sebelumnya. Mereka benar-benar tumbang, atau mengalami
kerugian miliaran dollar hingga harga sahamnya jatuh—Enron, Lehman Brothers,
Sharp, Toshiba, Panasonic, Sanyo, sebut lainnya.
Tak jauh beda dengan perusahaan, orang per orang juga bisa mengalami
perputaran nasib yang sama. Orang-orang yang semula dipuja dengan kekaguman
tiba-tiba kehilangan pesona dan dilupakan, yang semula kaya-raya tiba-tiba
berubah menjadi jelata. Di sisi lain, orang-orang yang semula tak dikenal
berubah menjadi sosok yang dipuja, yang semula melarat berubah menjadi
konglomerat.
Scott Stapp bisa dijadikan contoh populer. Dia adalah vokalis group musik
Creed, yang pernah merajai panggung musik pada era 1990-an hingga awal 2000-an.
Pada masa jayanya, Scott Stapp bisa dibilang memiliki segalanya—popularitas,
rumah mewah, uang dan kekayaan dalam jumlah besar, dan kemana pun pergi selalu
dikelilingi wanita cantik. Dia sosok yang sangat dikagumi, sekaligus membuat
banyak orang merasa iri.
Tapi bagaimana nasib Scott Stapp sekarang? Dia menjadi gelandangan! Orang
yang dulu menjalani hidup glamor itu sekarang tidak punya rumah, tidak punya
uang, dan tiap malam tidur di truk—satu-satunya barang berharga yang masih
dimilikinya. Di fanpage-nya di Facebook, dia menggunggah video berdurasi 15
menit berisi pengakuan tentang kehidupannya yang sekarang, dan dunia pun
membelalakkan mata.
“Kadang aku tinggal di penginapan, namun beberapa minggu aku tidur di truk.
Aku tidak punya uang yang cukup untuk makan atau membeli bensin,” ujar Scott
Stapp dalam video tersebut. Bahkan, karena sama sekali tidak punya uang, Scott
Stapp pernah tidak makan apa pun selama dua hari, hingga dilarikan ke ruang
gawat darurat karena pingsan. Ketika tersadar berada di rumah sakit, dia
langsung melarikan diri dari sana. Alasannya sepele—dia tidak punya uang untuk
membiayai perawatannya!
Bayangkan, seorang terkenal, kaya raya, dipuja dan dikagumi dunia, berubah
menjadi gelandangan yang tidur di truk, bahkan pernah tidak makan sampai dua
hari karena tidak punya uang!
Di dunia sepakbola, kita bisa menyaksikan Kenny Sansom, mantan bek Arsenal
dan tim nasional Inggris yang dulu sangat terkenal. Kenny Sansom melakukan
debut profesionalnya untuk Crystal Palace pada usia 16 tahun, dan menjadi
kapten Inggris U-21 sebelum tampil permanen di lini belakang tim senior. Dia
menghabiskan 8 tahun di Arsenal, memainkan 314 pertandingan, kemudian pindah ke
Newcastle United pada 1988, serta dua kali bermain di Piala Dunia.
Tak jauh beda dengan Scott Stapp, Kenny Sansom juga menjadi sosok yang
dikagumi dengan kehidupan glamor ala pemain sepakbola terkenal. Tetapi
bagaimana nasibnya sekarang? Sama saja, tak jauh beda dengan Scott Stap, Kenny
Sansom juga menjadi gelandangan. Kenyataan itu terungkap saat dia ditemukan tak
sadarkan diri di pinggir jalan pada Maret 2014, lalu dilarikan ke rumah sakit.
Pada waktu di rumah sakit itulah identitasnya terkuak, bahwa gelandangan
menyedihkan itu ternyata mantan pesepakbola terkenal.
Hidup, sebagaimana pendakian ke puncak gunung, memiliki masa
sendiri—sebagian ada yang naik, sebagian lain ada yang turun. Orang-orang kuno
menyadari itu sepenuhnya, hingga mereka sengaja membuat undak-undakan di depan
rumahnya yang tinggi, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak tinggi hati.
Karena selalu ada saat naik, dan selalu ada saat turun. Saat keluar dari rumah,
mereka menuruni undak-undakan. Saat kembali masuk ke rumah, mereka menaiki
undak-undakan.
Saat ini, jika ditanya siapa host acara televisi paling terkenal, kebanyakan
orang mungkin akan menjawab Tukul Arwana. Kenyataannya, acara Bukan Empat Mata
yang diasuhnya menjadi tayangan populer dengan rating tinggi, sementara Tukul
menjadi selebritas terkenal sekaligus kaya raya dengan penghasilan miliaran.
Tetapi, tiga puluh tahun lalu, siapakah Tukul Arwana?
Tiga puluh tahun lalu, Tukul Arwana bukan siapa-siapa. Lebih tepat, dia
hanya gelandangan yang sedang mengadu nasib ke Jakarta. Ketika menginjakkan
kaki di ibukota, Tukul tidak punya apa-apa, bahkan harus tidur di tanah dengan
atap bedeng, karena tidak punya uang untuk menginap di tempat layak.
Waktu itu, Jakarta belum sepadat sekarang. Masih cukup banyak persawahan
atau kebun-kebun kosong yang tak ditinggali. Di pinggir-pinggir sawah atau
kebun itulah Tukul tidur dengan menggelar kain seadanya. Biasanya dia mencari
yang ada bedeng di atasnya, sehingga tidak kehujanan ketika turun hujan. Dalam
acara Hitam Putih yang dipandu Deddy Corbuzier, Tukul menceritakan, “Biasanya,
saat pagi, saya terbangun dari tidur gara-gara geli, akibat ada ulat atau kaki
seribu yang merayap di kulit.”
Bisa membayangkan sesulit apa kehidupan Tukul waktu itu? Di siang hari, dia
ke sana kemari mencari kerja, berharap dapat mengubah nasib. Malam hari,
setelah kelelahan, dia tertidur di bawah langit, beralas kain atau kertas
koran. Pagi hari, ulat atau kaki seribu yang membangunkan tidurnya. Sendirian,
kere, tampak ndeso, tidak ganteng, tak berpendidikan, dan mungkin orang-orang
waktu itu menatapnya sebagai orang yang tak punya masa depan.
Tetapi “orang yang tak punya masa depan” itu sekarang berubah menjadi sosok
yang dikagumi, dicintai, bahkan dipuja banyak orang, menjadi selebritas terkenal,
mendapatkan penghasilan sangat besar, menjalani kehidupan mewah, dan setiap
hari muncul di televisi menghibur jutaan orang. Inilah orang yang tiga puluh
tahun sebelumnya luntang lantung menjadi gelandangan!
Lebih dari setengah abad yang lalu, dalam satu pidatonya yang menggelegar,
Bung Karno pernah meneriakkan kata-kata ini, “Up and down! Up and down! Up and
down!”
Begitulah hidup, dan kehidupan orang per orang. Kadang naik, kadang turun.
Kadang di atas, kadang di bawah. Dan, seperti orang-orang kuno yang membuat
undak-undakan di depan rumah, kita pun perlu mengingat untuk tidak kehilangan
harap saat ada di bawah, dan tidak lupa diri saat ada di atas. Karena hidup,
sebagaimana lahir dan mati, memiliki masanya sendiri.