2014-12-28

Egoisme Dalam Expendables

“Aku punya ide. Dan dengan egomu, kurasa kau akan menyukainya.”
Barney Ross kepada Lee Christmas dalam Expendables 2


Penggemar film action pasti tahu The Expendables, film yang dibintangi bocah-bocah terkenal Hollywood. Sejak pertama kali dirilis, The Expendables telah menjadi film laris—tidak hanya karena kedahsyatan aksi dalam ceritanya, tapi juga karena aktor-aktor yang terlibat. Nama-nama besar bergabung dalam film ini—Sylvester Stallone, Jason Statham, Arnold Schwarzenegger, Jet Li, Dolph Lundgren, Van Damme, Wesley Snipes, Chuck Norris, Bruce Willis, sampai Mel Gibson, dan lain-lain.

The Expendables adalah proyek Sylvester Stallone yang ingin membuat “film reuni”, yang mempertemukan bocah-bocah terkenal Hollywood dalam satu film. Proyek itu tampaknya berhasil, hingga The Expendables—sejauh ini—telah dibuat tiga seri. Saya termasuk penggila serial Expendables, dan selalu menikmati saat menontonnya. Oh, well, menyaksikan Stallone duel satu lawan satu dengan Van Damme (dalam Expendables 2) adalah kesempatan yang belum tentu terulang dalam seratus tahun!

Di mata saya, Expendables adalah film yang dibuat oleh bocah, diperankan para bocah, dan ditujukan untuk bocah. Para penonton The Expendables—khususnya yang lelaki—pasti masih ingat keasyikan di masa kecil dulu, ketika main perang-perangan dengan teman-teman, tembak-tembakan menggunakan pistol air atau senjata mainan, sampai bertarung main-main dengan teman-teman. Semua keasyikan masa kecil itu diwujudkan The Expendables dalam skala spektakuler.  

Jalan cerita serial Expendables bisa dibilang hanya berisi perang, pertempuran, pertarungan, ledakan, tembak-tembakan. Dan semuanya dikemas dengan sangat memukau, melibatkan banyak senjata, pesawat dan helikopter tempur, sampai tank. Semua yang terjadi dalam Expendables bisa dibilang merefleksikan bayangan keasyikan para bocah. Tidak ada drama bertele-tele yang membosankan, tidak ada percakapan sia-sia, yang ada hanya perang, pertarungan, dan ledakan. 

Jika kita memperhatikan sungguh-sungguh percakapan antar tokoh dalam The Expendables, kita akan mendapati dialog yang selalu muncul dalam setiap serinya. Percakapan atau dialog itu berbunyi, 

“Did you win?” 


“Of course I win.”

Ada kisah tersembunyi di balik percakapan itu, yang berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam Expendables. Ketika Stallone berencana membuat The Expendables pertama kali, dia meminta Steven Seagal untuk ikut dalam film. Rencananya, Steven Seagal akan diminta memerankan James Munroe, tokoh antagonis dalam Expendables 1. Namun, Steven Seagal menolak mentah-mentah. Tahu kenapa? Alasannya mungkin lucu—karena James Munroe kalah dalam film! 

Setelah Steven Seagal menolak mentah-mentah, Stallone lalu menghubungi Van Damme, dan berharap aktor terkenal itu bersedia masuk dalam film Expendables 1 untuk memerankan James Munroe. Tetapi, sama seperti Steven Seagal, Van Damme juga menolak. Dan alasannya juga sama—karena James Munroe kalah dalam film! 

Karena dua bocah terkenal itu tidak mau menerima tawarannya, pilihan Stallone kemudian jatuh ke Eric Roberts, aktor yang sering menjadi antagonis. Eric Roberts bersedia memerankan James Munroe, maka Expendables 1 pun mulai syuting. Hasilnya, ketika dirilis, film itu meledak dan menghasilkan keuntungan besar. 

Lalu proyek Stallone berlanjut dengan membuat Expendables seri kedua. Jika Expendables 1 memunculkan James Munroe sebagai antagonis, Expendables 2 menghadapi musuh yang lebih kuat—bajingan keji bernama Jean Villain. Untuk seri kedua tersebut, Stallone menemui Steven Seagal, dan mencoba kembali memintanya untuk ikut dalam film Expendables.

Kali ini, Stallone berharap Seagal bersedia, karena peran yang akan dimainkannya tidak main-main, dan mereka akan bertarung satu lawan satu, hidup atau mati. Steven Seagal bertanya, “Apakah aku akan menang dalam film?”

“Tidak,” jawab Stallone. “Kau berperan sebagai Villain, dan dia mati di akhir film.”

Mendengar jawaban itu, Steven Seagal menolak.

Karena Seagal kembali menolak tawarannya, Stallone pun menemui Van Damme, seperti sebelumnya, dan berharap Van Damme kali ini mau menerima tawarannya. Karena melihat kesuksesan Expendables 1 yang luar biasa, Van Damme akhirnya bersedia menerima tawaran Stallone. Meski tokoh yang diperankannya akan kalah dan mati di akhir film, Van Damme kali ini tidak keberatan. Tawaran bayaran besar rupanya mampu menurunkan ego seorang Van Damme.

Maka jadilah Van Damme membintangi Expendables 2, dan memerankan Jean Villain. Di akhir film, seperti yang dapat kita saksikan, Stallone dan Van Damme bertarung sampai mati, dan itu menjadi salah satu pertarungan paling memukau yang pernah ada di Hollywood. Kapan lagi kita bisa melihat Van Damme memamerkan tendangan memutarnya yang mematikan itu, tepat di hadapan muka Sylvester Stallone?

Karena aksi yang lebih dahsyat dari film sebelumnya, Expendables 2 juga sukses, bahkan mendatangkan keuntungan yang jauh lebih besar. Lalu Stallone melanjutkan proyeknya, dan menyiapkan Expendables 3. Kali ini, jumlah tokoh yang terlibat semakin banyak, bahkan melibatkan Wesley Snipes, Antonio Banderas, hingga Harrison Ford. Seperti sebelum-sebelumnya, Stallone kembali berharap Steven Seagal mau ikut terlibat.

Ketika Expendables 3 telah siap syuting, Stallone masih berusaha merayu Steven Seagal untuk mau membintangi film tersebut. Beberapa kali, Stallone bahkan sempat menuliskan upayanya itu di akun Twitter-nya, bahwa dia sedang membujuk Seagal agar mau ikut dalam Expendables 3. Namun, Seagal rupanya tidak terbujuk. Ia masih menolak dengan alasan yang sama—karena tokoh yang diperankannya kalah dalam film. Intinya, Steven Seagal tidak mau kalah, meski hanya dalam film!

Akhirnya, karena Seagal tetap tidak mau ikut dalam Expendables 3, Stallone lalu menghubungi Mel Gibson. Hasilnya, seperti yang kita lihat, Mel Gibson bersedia memerankan tokoh Conrad Stonebanks, antagonis dalam Expendables 3. Di akhir film, sama seperti para antagonis sebelumnya, Conrad Stonebanks a.k.a Mel Gibson juga kalah dan mati setelah bertarung dengan Barney Ross yang diperankan Stallone.

Jika kelak Stallone membuat Expendables 4, dan ia kembali meminta Steven Seagal untuk ikut membintanginya, apakah mungkin Seagal akan bersedia? Bila tokoh yang diperankannya juga kalah dalam film, banyak pihak meramalkan Seagal akan tetap menolak. Penolakan Steven Seagal dan Van Damme sebelumnya itulah yang kemudian memunculkan dialog “Did you win?/Of course I win” dalam film. Dialog itu sebenarnya ditujukan untuk menyindir Steven Seagal dan Van Damme, yang menolak main film hanya karena tokoh yang diperankannya kalah.

Mungkin banyak orang menilai tingkah Van Damme dan Steven Seagal terlalu kekanak-kanakan, bahkan terkesan tidak profesional. Mungkin ya. Kenyataannya, dua bocah itu memiliki ego yang sama-sama besar—tidak hanya dalam film, tetapi juga di dunia nyata. Bahkan latar penolakan mereka untuk tidak mau terlibat dalam proyek Expendables, juga diperkirakan berawal dari kejadian di dunia nyata.

Pada 1997, Sylvester Stallone mengadakan pesta di rumahnya, di Miami, dan mengundang bocah-bocah terkenal Hollywood. Steven Seagal dan Van Damme termasuk tamu yang diundang. Dalam pesta, orang-orang bercakap asyik, bercanda, tertawa-tawa, bahkan saling ledek. Pada waktu itu, Steven Seagal meledek Van Damme dengan mengatakan bahwa dia “bisa menendang pantat Van Damme dengan mudah”.

Entah karena tidak paham ucapan itu hanya bergurau atau karena memang muka Seagal yang terlalu lempeng, Van Damme marah. Dengan emosi, Van Damme menantang Steven Seagal dengan menyatakan, “Bagaimana kalau kita keluar, untuk membuktikan omong besarmu?”

Menyadari Van Damme marah, Seagal buru-buru menjelaskan bahwa ucapannya tadi hanya dimaksudkan sebagai gurauan. Tetapi, Van Damme sudah telanjur emosi, dan nyaris terjadi perkelahian dalam pesta, sampai Stallone turun tangan memisahkan kedua bocah itu agar tidak berantem. Kejadian itu pun membuat geger orang-orang yang ada di sana. Sampai pesta berakhir, Van Damme maupun Seagal masih belum bisa tersenyum.

Apakah kisah itu selesai? Tidak—belum, karena kemudian Van Damme berkoar-koar ke media mengenai tantangannya kepada Steven Seagal. Dalam beberapa wawancara, Van Damme dengan jelas mengungkapkan kekesalannya kepada Seagal, bahkan mengejek Seagal yang kini mulai gendut karena jarang berlatih. 

Seagal lebih memilih tutup mulut dan tidak melayani koar-koar Van Damme di media. Dia menolak setiap kali diwawancara mengenai keributannya dengan Van Damme. Dan bagaimana dengan Stallone? Ketika ditanya pers, mengenai siapa yang akan menang jika kedua bocah itu bertarung, Stallone menjawab diplomatis, “Van Damme terlalu kuat untuk dikalahkan Seagal.”

Banyak pihak mempercayai bahwa insiden di rumah Stallone itulah yang kemudian berbuntut panjang, hingga kedua aktor terkenal itu sampai menolak ikut dalam proyek Expendables, jika tokoh yang diperankannya kalah dalam film. Steven Seagal maupun Van Damme memiliki ego sangat besar—mereka sama-sama terkenal, telah bermain dalam banyak film, populer sebagai jago tarung, dan... sejauh ini keduanya bisa dibilang tidak pernah kalah dalam film. 

Ego adalah urusan penting di Hollywood—tidak hanya dalam film, tapi juga dalam kehidupan nyata. Sebagian besar bocah terkenal di Hollywood memiliki “kegilaan” yang berhubungan dengan ego. Bahkan Stallone pun mengidap “kegilaan” yang sama.

Dulu, ketika masih muda, Stallone dikenal sebagai aktor yang sangat angkuh, dengan ego luar biasa besar. Ketika bermain film, dia tidak mengizinkan lawan mainnya menatap matanya. Jika lawan mainnya nekat menatap matanya, Stallone marah-marah, dan jadwal syuting akan berantakan. Meski dalam skenario jelas mengharuskan adegan saling tatap, Stallone tidak peduli. Akibatnya, dalam proses syuting, adegan saling tatap di-shoot secara terpisah. Awak film di sana mau mengalah, meski repot, karena waktu itu Stallone “barang jualan” yang pasti laku.  

“Kegilaan” Stallone mulai sembuh ketika usianya makin matang, dan mungkin dia bisa lebih bijak serta rendah hati. Di film-filmnya sekarang, dia tidak lagi mempersoalkan urusan yang dulu diributkannya. Tetapi, apakah Stallone benar-benar telah mampu mengalahkan egonya sendiri?  

Dalam trilogi Expendables, Sylvester Stallone memerankan tokoh Barney Ross, ketua kelompok jagoan yang selalu menang dalam pertempuran. Dalam film-film itu, Stallone bertarung dengan lawan-lawan yang tangguh—dari Eric Roberts, Van Damme, sampai Mel Gibson—dan dia selalu menang. 

Apakah kemenangan Stallone dalam film-film itu memang semata tuntutan skenario? Semoga saja begitu. Karena sangat ironis dan lucu jika serial Expendables ternyata hanya cara Stallone memanjakan egonya yang masih membatu.

2014-12-27

10 Buku Terbaik Yang Saya Baca di 2014

Buku yang bagus serupa teman. Ia tahu membuatmu
tersenyum, dan seiring dengan itu membukakan pengetahuan
dan kesadaran. Pun kadang kearifan.
Bayu


Saya ingin berbagi buku-buku terbaik yang saya baca, fiksi maupun nonfiksi. Daftar berikut tidak dimaksudkan sebagai rekomendasi, namun murni apresiasi—yang tentu bisa subjektif—atas buku-buku yang saya anggap terbaik. Berikut ini, tertulis secara alfabetis berdasarkan nama-nama penulisnya, 10 buku yang saya anggap terbaik dari semua buku yang saya baca sepanjang 2014. Silakan disimak.

Gary Allen: The Rockefeller’s File


John D. Rockefeller mendirikan Standard Oil Co pada satu abad yang lalu, dan perusahaan minyak itu kemudian tumbuh menjadi perusahaan raksasa, bahkan paling besar di dunia. Sebagai perusahaan besar, Standard Oil telah menghadapi aneka tuduhan monopoli, bertarung dengan pengadilan, melibatkan banyak penulis untuk berperang lewat propaganda, sampai terlibat dalam wilayah abu-abu yang kelak melahirkan tak terhitung banyaknya teori konspirasi. 

Setelah Rockefeller Tua meninggal, perusahaan itu diwarisi anak-anaknya, dan para pewaris melanjutkan serta membesarkannya hingga makin meraksasa.

Seratus tahun kemudian, Standard Oil Co telah melahirkan ratusan industri lain, meliputi perbankan, farmasi, asuransi, kesehatan, surat kabar—sebut apa pun. Sekadar ilustrasi, Chase Manhattan Bank adalah bank internasional yang dimiliki keluarga Rockefeller. Bank tersebut memiliki 28 kantor cabang sendiri di luar negeri, dan memiliki 50.000 kantor cabang koresponden di seluruh dunia.

Bisa dibayangkan sebesar apa pengaruh dan kekuasaan mereka? Lima puluh ribu bank koresponden di seluruh dunia! Jika setiap bank koresponden tersebut hanya memiliki 10 juta dollar saja, maka Chase Manhattan Bank memiliki kekayaan sebesar 500 miliar dollar di seluruh dunia. Dengan kekayaan sebesar itu, maka Chase Manhattan Bank, di bawah kendali keluarga Rockefeller, bisa menciptakan krisis moneter internasional kapan saja dalam waktu semalam, semudah kita membalikkan telapak tangan!

Berdasarkan standar apa pun, Chase Manhattan Bank tak ubahnya sebuah negara yang berkuasa, bahkan memiliki kekayaan lebih besar dibanding sebagian negara lain. David Rockefeller, salah satu anak Rockefeller Tua, biasa nyangkruk dengan para presiden, bahkan dikabarkan pengaruhnya lebih besar dari presiden Amerika.

Itu baru dari industri perbankan, dan estimasi yang digunakan adalah perkiraan paling rendah. Sementara keluarga Rockefeller memiliki banyak industri lain, dengan jumlah uang yang juga luar biasa besar. 

Buku ini memaparkan sepak terjang keluarga Rockefeller, industri dan gurita bisnisnya, kekayaan mereka, serta pengaruh dan keterlibatan mereka dalam berbagai kebijakan dan masalah dunia. Selama membacanya, saya terus-menerus tercengang, geleng-geleng kepala tak percaya. Membayangkan sekelompok bocah memiliki kekayaan dan kekuasaan yang melebihi kekuatan negara, benar-benar membuat sakit kepala.



Ita F. Nadia: Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65


Rusminah berusia 20 tahun, ketika dijodohkan dengan lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya. Pada 1960, Rusminah baru tamat Sekolah Guru di Malang, dan waktu itu sedang menunggu penempatan sebagai guru. Ketika orangtuanya memutuskan untuk menjodohkannya dengan anak orang yang dianggap terpandang, Rusminah tidak kuasa menolak. Maka mereka pun menikah.

Setelah menikah, Rusminah mengajar di Sekolah Rakyat di desanya, di Malang. Pernikahannya telah berlangsung selama lima tahun, dan bisa dibilang tidak ada masalah apa-apa, selain kenyataan bahwa mereka belum memiliki anak. Suami Rusminah aktif di PKI (Partai Komunis Indonesia), dan aktivitas itu menjadikannya jarang di rumah. Rusminah sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan suaminya. Jika ditanya, suami Rusminah tidak pernah menjelaskan, selain menjawab, “Aku nyambut gawe kanggo wong cilik—aku bekerja untuk orang kecil.”

Jadi, praktis bisa dibilang Rusminah sama sekali tidak tahu apa-apa tentang PKI, tidak tahu apa yang dilakukan suaminya dalam aktivitas bersama PKI, tidak tahu apa saja kegiatan PKI. Tapi sejarah kemudian menghancurleburkan hidupnya dengan sangat brutal.

Pada 1 Oktober 1965, Rusminah mengajar di sekolah sampai pukul 10:00 pagi, karena sekolah dipulangkan awal akibat “terjadi peristiwa penting di Jakarta”. Waktu itu sarana informasi belum semaju sekarang, jadi Rusminah sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta, hingga sekolahnya dipulangkan awal. Dia bahkan tidak tahu suaminya ada di mana waktu itu, karena telah pergi sejak 25 September dan belum pulang atau memberi kabar.

Tidak lama setelah sampai di rumah, Rusminah dikejutkan oleh segerombolan orang yang mendatangi rumahnya. Mereka mencari suaminya. Karena tidak menemukan yang dicari, orang-orang itu membakar rumah Rusminah, dan menangkap wanita itu, lalu melemparkannya ke truk bersama beberapa orang lain yang telah ditangkap sebelumnya. Awal penderitaan Rusminah pun dimulai.

Selama dalam penangkapan, Rusminah disiksa, dianiaya secara fisik dan mental, diperkosa banyak orang, direndahkan, dan semua perlakuan tak manusiawi itu hanya karena dituduh terlibat dalam PKI, padahal dia sama sekali tidak tahu apa pun tentang PKI. 

Kisah lara yang dialami Rusminah hanyalah satu di antara sekian banyak kisah serupa yang terjadi selama pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI. Mereka orang-orang tak bersalah, yang tidak tahu apa-apa, tapi kemudian ditangkap, disiksa, dianiaya secara brutal, bahkan dibunuh secara keji, tanpa pembuktian jelas apakah mereka benar-benar bersalah atau tidak. Itu kisah-kisah yang tidak pernah ada dalam buku-buku sejarah Indonesia yang dicekokkkan kepada kita di bangku sekolah. 

Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 memuat kisah-kisah nyata yang sangat tragis dan getir—sebagian bahkan biadab—yang dituturkan langsung oleh wanita-wanita yang menjadi korban dalam tragedi sejarah 1965. Tentu saja buku ini tidak memuat semua kisah yang ada, tetapi sepuluh kisah nyata yang dirangkum buku ini bisa menjadi ilustrasi betapa mengerikannya sejarah bangsa kita.


John Grisham: The Innocent Man


A Time to Kill, novel pertama Grisham, langsung menyedot perhatian banyak pembaca di dunia, termasuk saya. Setelah itu, Grisham menulis novel-novel lain yang tak kalah mengasyikkan—The Pelican BriefThe FirmThe Client, serta lainnya—yang makin membuat pembaca kecanduan cerita-ceritanya. Semua kisah yang ditulis Grisham melibatkan dunia hukum, khususnya pengacara, dan cerita yang dibangunnya selalu tegang, mendebarkan.

Tetapi, makin ke sini, novel-novel Grisham makin berkurang efek ketegangannya. Entah hanya saya yang merasakan, atau pembaca lain juga berpikir seperti itu. Saya masih mencoba menikmati The RainmakerThe TestamentThe Runaway JuryThe SummonsThe PartnerThe BrokerThe Last JurorThe Brethren, jugaThe Street Lawyer, dan lainnya, tapi makin lama saya makin kehilangan gairah pada novel-novel Grisham. Tampaknya, pikir saya, Grisham telah kehilangan sentuhan suspense-nya. Judul-judul novel yang saya sebut barusan bisa dibilang jauh berbeda dengan novel-novel awalnya yang sangat menegangkan.

Lama-lama, Grisham bahkan seperti terjebak menjadi penulis drama. The Rainmaker, misalnya, lebih tepat disebut novel drama daripada novel suspense. Begitu pula The TestamentThe Summons, atau The Street Lawyer—novel-novel itu tidak memiliki unsur suspense sama sekali. Ceritanya datar, jauh dari kesan menegangkan apalagi mencekam. Karena berpikir Grisham tidak lagi menulis suspense, saya pun berhenti membaca novel-novelnya.

Sampai kemudian, muncul The Innocent Man. Saya tertarik membaca novel ini, karena diangkat dari kisah nyata. The Innocent Man juga tidak bisa disebut novel suspense, tapi inilah novel Grisham yang lain dari yang lain. Dalam novel ini, Grisham menuturkan kisahnya hanya melalui narasi dan deskripsi, nyaris tanpa dialog sama sekali. Bisa dibilang, The Innocent Man adalah novel dokumenter—Grisham mengangkat kisah aslinya sesuai yang terjadi—lengkap dengan foto-foto dokumentasi.

The Innocent Man mengisahkan Ron Williamson, lelaki yang dituduh membunuh Debra Sue Carter, pada 1982, dan dijatuhi hukuman mati, padahal bukti-bukti yang ada tidak bisa dibilang meyakinkan. Kenyataannya, Ron Williamson tidak melakukan pembunuhan itu, dan hidupnya kemudian dihabiskan hanya untuk mengusahakan dirinya terbebas dari ancaman hukuman mati, sekaligus membuktikan dirinya tidak bersalah.

Karena kisah nyata, pembaca seperti dipaksa ikut merasakan tekanan batin serta beban hidup yang dijalani Ron Williamson selama bertahun-tahun, menghadapi tuduhan mengerikan yang tak pernah dilakukannya, berusaha membuka mata dunia bahwa pengadilan Amerika telah berlaku sewenang-wenang terhadapnya, hingga akhirnya—saat usianya telah senja—Ron Williamson berhasil membebaskan dirinya, dan mengembalikan nama baiknya.

Dibanding A Time to Kill, kisah dalam The Innocent Man jelas kalah. Tetapi ini kisah nyata, dan... saya pikir, ini salah satu kisah nyata paling mengerikan yang bisa dialami manusia.


Joost Smiers & Marieke van Schijndel: Dunia Tanpa Hak Cipta


Merupakan terjemahan kumpulan esai kedua penulisnya, berjudul Imagine There is No Copyright and No Cultural Conglomerates Too. Isinya, seperti yang tergambar pada judul, tawaran ide untuk menghapus hak cipta dan konglomerasi budaya. 

Dalam perspektif Joost Smiers dan Marieke van Schijndel, hak cipta sering kali tidak dimiliki oleh si pencipta suatu karya, melainkan dimiliki—bahkan dikendalikan—oleh perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang kebudayaan. Kenyataan itu menjadikan segelintir konglomerat memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan apa yang bisa kita lihat, dengar, atau baca—dalam tampilan seperti apa—juga yang tidak boleh kita lihat, dengar, dan baca.

Karena perspektif itu pula, kedua penulis buku ini menawarkan ide baru yang radikal, yakni penghapusan hak cipta. Dengan dihilangkannya hak cipta, menurut mereka, maka siapa pun bisa berkarya dengan bebas, dengan segenap ekspresi, dan masyarakat juga bebas menikmati karya seperti apa yang mereka inginkan, karena perusahaan-perusahaan besar yang biasa mendominasi ranah budaya telah disingkirkan. Dengan kata lain, dunia tak bisa lagi didikte oleh segelintir konglomerat yang menguasai hak cipta.

Dalam menawarkan idenya yang idealis ini, Smiers dan Schijndel mengandaikan satu sisi—yakni jika semua orang, tanpa kecuali, dapat hidup dan berkarya secara jujur. Mereka juga menyatakan bahwa abad digital yang sekarang muncul di dunia kita, pelan namun pasti, makin mengaburkan pentingnya hak cipta. 

Secara keseluruhan, ada banyak ide dalam buku ini yang tidak saya setujui. Namun, saya juga harus jujur mengakui bahwa buku ini bagus, karena menawarkan perspektif baru yang mungkin belum pernah dibayangkan banyak orang. Selain itu, penerjemahan dan penyuntingan buku ini layak diacungi jempol, karena mengalir lancar dan enak dibaca, hingga saya merasa sedang membaca buku asli Indonesia.


Kurniawan (et.al.): Pengakuan Algojo 1965


Bisa dibilang, ini “majalah yang dibukukan”. Pengakuan Algojo 1965 berawal dari investigasi wartawan Tempo, yang semula dimuat majalah Tempo. Rangkaian investigasi itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, dan... sepertinya bestseller. Buku yang saya baca menyebutkan cetakan V.

Daya tarik buku ini pastilah sudut pandang yang digunakan, yaitu orang-orang yang terlibat dalam pembantaian terhadap pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia), yang terjadi pada era 1965. Setelah membaca Suara Perempuan Korban Tragedi ’65, maka Pengakuan Algojo 1965 seperti buku pelangkap. Yang satu menjelaskan suara para korban, satunya lagi menjelaskan suara para algojo.

Dua buku tersebut (Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 dan Pengakuan Algojo 1965) bisa dibilang buku-buku yang menjelaskan hal-hal yang tidak pernah dijelaskan buku-buku sejarah “konvensional” yang kita baca di sekolah. PKI mungkin kejam, tapi bukan berarti pelakuan terhadap PKI—atau yang dituduh sebagai PKI—tidak kejam. Buku-buku sejarah yang kita baca selama ini telah berlaku tidak adil, karena hanya menjelaskan kekejaman satu pihak sambil menyembunyikan kekejaman pihak lain.

Sejarah, kenyataannya, memang ditulis oleh pemenang. Soeharto memenangkan pertempuran ketika melawan PKI, jadi dia pun menulis sejarah seenak udelnya, kemudian mencekokkannya ke kepala kita. Dan, selama bertahun-tahun, kita percaya. 

Kini, setelah era Soeharto berlalu, dan kebebasan berpendapat terbuka lebar, buku-buku yang mengungkap “sejarah sebenarnya” pun bermunculan untuk membuka mata kita, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Buku ini mengungkap banyak hal—khususnya kisah-kisah dari para pelaku sejarah dan pembantaian—termasuk tentang Anwar Congo, salah satu algojo pembantai yang (mungkin) merasa dirinya pahlawan.

Selama membaca buku ini, saya seperti dipaksa menghadapi kenyataan yang amat mengerikan menyangkut sejarah Indonesia. Bahwa di balik “budaya luhur” yang sering kita gembar-gemborkan, di masa lalu tersimpan sejarah barbar penuh kebuasan.



Richard Dawkins: The God Delusion


Sejak terbit pertama kali, The God Delusion langsung bikin geger dunia dan membakar jenggot banyak orang. Buku yang merupakan akumulasi kegelisahan seumur hidup Richard Dawkins ini mengobrak-abrik seluruh tatanan keyakinan yang sudah mapan bagi banyak orang. Menggunakan keahliannya sebagai pakar biologi, Dawkins dengan amat meyakinkan membuktikan bahwa Tuhan, sebenarnya, well... tidak ada.

Pertarungan ideologi antara kreasionis dan evolusionis bisa dibilang pertarungan abadi yang tak pernah selesai. Sejak Charles Darwin ngoceh tentang evolusi pada 1895, pertarungan itu pun dimulai—secara terang-terangan. Kubu kreasionis telah berupaya mematahkan teori Darwin, bahkan Harun Yahya pernah menghabiskan hidupnya untuk membuktikan kesalahan Darwin. Kini, seratus tahun kemudian, Richard Dawkins muncul dengan amunisi yang menggelegar, dan mungkin Charles Darwin sedang cekikikan dalam kuburnya.

Saya mengagumi Richard Dawkins karena dua hal. Pertama, dia sinting. Kedua, dia mampu mempertanggungjawabkan kesintingannya secara ilmiah. The God Delusion adalah bukti kesintingan Dawkins yang menggelisahkan pikiran pembaca, bahkan membuat saya tidak bisa tidur selama membacanya. Melalui pemaparan yang lugas, bahkan frontal, Dawkins memuntahkan pikiran-pikirannya yang paling gila, menunjukkan bahwa Tuhan hanyalah bentuk delusi umat manusia.

Sebagai orang beriman—kalau boleh dibilang begitu—saya mengamini nasihat bijak yang menyatakan bahwa sebaiknya kita percaya Tuhan ada. Karena, mempercayai keberadaan Tuhan jauh lebih baik, dan lebih menguntungkan, daripada mempercayai Tuhan tidak ada. Jika kita percaya keberadaan Tuhan, namun ternyata Tuhan tidak ada, habis perkara. Namun, jika kita tidak mempercayai Tuhan, tapi ternyata Tuhan benar-benar ada, maka kita menghadapi masalah.

Richard Dawkins punya pola pikir berbeda. Dia tidak percaya keberadaan Tuhan. Dengan seluruh kecerdasannya—atau kesintingannya—dia lebih percaya bahwa Tuhan tidak ada, karena bukti-bukti yang ada menunjukkan Tuhan memang tidak ada. Jadi, secara konklusif, Dawkins lebih percaya Tuhan tidak ada. Lalu bagaimana jika Tuhan ternyata ada?

Jika Tuhan ternyata benar-benar ada, dan di akhirat kelak Dawkins bertemu Tuhan, kira-kira Richard Dawkins akan ngomong seperti ini, “Tuhan, maafkan saya. Seumur hidup, saya telah berusaha mencari keberadaan Tuhan, namun bukti-bukti yang saya temukan menunjukkan Tuhan tidak ada. Sebagai manusia yang dikaruniai akal pikiran, saya telah mengerahkan segala kemampuan berpikir, namun hasil yang saya dapatkan menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada. Kalau sekarang ternyata Engkau benar-benar ada, Tuhan, mohon ampuni kebodohan saya.”

Kalau Tuhan benar-benar ada, apakah Tuhan akan mengampuni Richard Dawkins? Kira-kira, lebih baik manakah di mata Tuhan; manusia yang percaya kepada Tuhan tanpa berpikir, ataukah manusia yang berpikir namun tidak percaya kepada Tuhan?

The God Delusion adalah buku yang menantang pikiran, dan menggelisahkan keyakinan. Jika hidupmu sudah tenang dan pikiranmu sudah nyaman dengan segala yang kauyakini, sebaiknya jangan baca buku ini. 

Rizki Ridyasmara: The Codex


Pertama kali mengenal Rizki Ridyasmara ketika dia menerbitkan novel pertamanya, The Jacatra Secret, yang waktu itu diterbitkan secara indie. Saya membaca novel itu, dan cukup menikmatinya. The Jacatra Secret mengisahkan misteri-misteri yang ada di Jakarta, dengan pemaparan ala Dan Brown. 

Mungkin karena baru pertama kali menulis novel, Rizki Ridyasmara tampak sangat kaku dalam membangun kisah The Jacatra Secret. Tokoh-tokohnya tidak berkarakter, jalan ceritanya terasa dipaksakan, sementara plotnya bisa dibilang meniru mentah-mentah The DaVinci Code-nya Dan Brown. Semua kekurangan itu, untungnya, tertolong oleh kisah penelusuran misteri yang menjadikan The Jacatra Secret asyik dibaca.

Kini, setelah The Jacatra Secret, Rizki Ridyasmara telah menulis beberapa novel lain, salah satunya The Codex, yang saya baca tahun ini. Dibanding The Jacatra SecretThe Codex jauh lebih bagus. Kisahnya mengalir alami, tokoh-tokohnya memiliki karakter jelas, teknik penceritaannya luwes, sementara pemaparan aneka deskripsi di dalamnya tidak terkesan dipaksakan. Inilah yang benar-benar disebut novel!

The Codex menceritakan konspirasi busuk yang melibatkan zat-zat beracun dalam makanan yang biasa kita konsumsi. Dalam novel ini, Rizki Ridyasmara melakukan riset sangat dalam untuk membangun kisahnya, hingga mampu menceritakan banyak hal secara akurat, plus menyuguhkan fakta-fakta yang bisa diverifikasi kebenarannya. 

Bagi saya, The Codex adalah novel lokal bercita rasa internasional. Jalan ceritanya mengasyikkan, kisahnya tidak membosankan, pemaparan di dalamnya menambah wawasan dan pengetahuan. 

Sophie Hannah: The Monogram Murders


Agatha Christie, pengarang wanita yang dijuluki “Ratu Kisah Kriminal”, menciptakan sosok detektif hebat bernama Hercule Poirot. Tokoh itu muncul dalam banyak novel Agatha Christie, dan membuat jutaan orang jatuh cinta dengan penuh kekaguman. Bisa jadi, Hercule Poirot adalah detektif terbesar di dunia fiksi, setelah Sherlock Holmes yang diciptakan Sir Arthur Conan Doyle. 

Menjelang wafatnya, Agatha Christie mematikan tokoh Hercule Poirot dalam novel terakhir, berjudul The Curtain, dan itulah kasus terakhir yang ditangani Hercule Poirot. Karena pengarangnya telah mati, Hercule Poirot pun tidak pernah muncul lagi.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada 2014, Hercule Poirot “hidup lagi” dalam novel karya Sophie Hannah, The Monogram Murders, yang ditulis berdasarkan lisensi Agatha Christie Ltd. Kehadiran kembali Hercule Poirot tentu disambut gembira banyak orang yang merindukannya—termasuk saya. Jadi, ketika novel ini terbit, serta merta saya langsung bernafsu membacanya. Oh, well, rasanya menyenangkan bisa kembali menikmati kisah Hercule Poirot dengan segala kehebatan dan tingkahnya yang eksentrik.

The Monogram Murders mengisahkan kasus pembunuhan yang sangat rumit, dengan plot penuh teka-teki yang saling membelit, trik-trik “menyesatkan” yang membuat pembaca berpikir keliru, plus tokoh-tokoh unik yang suka bicara melantur, khas Agatha Christie. Sophie Hannah tampaknya berusaha keras agar novel ini memiliki “ruh” Agatha Christie, dan—dalam hal itu—usahanya layak dipuji.

Namun, apakah Sophie Hannah bisa menghidupkan Hercule Poirot sebagus Agatha Christie? Menurut saya, Sophie Hannah tidak terlalu berhasil. Di tangan Sophie Hannah, Hercule Poirot tampak seperti badut—penegasan karakternya terkesan dipaksakan—tidak alami seperti ketika ditulis Agatha Christie. Tapi tentu tidak adil jika berharap Sophie Hannah bisa menyamai Agatha Christie. Bagaimana pun, Christie yang menciptakan Hercule Poirot—tentu dia lebih mengenalnya, dan lebih tahu bagaimana menghidupkannya.

Terlepas dari hal itu, The Monogram Murders adalah kisah detektif yang menyenangkan dan mengasah otak, khususnya bagi para pengagum Hercule Poirot yang telah lama merindukannya.

Stephany Josephine: The Freaky Teppy


Kalau kalian mengira saya hanya membaca buku-buku berat yang bikin jidat berlumut, kalian keliru. Sebagai bocah, saya tentu juga membutuhkan hiburan, melemaskan urat saraf, dan cekikikan. Karena itulah saya juga membaca buku-buku ringan—lebih khusus yang lucu—yang tidak membuat kepala pening, sekaligus untuk mengingatkan saya agar tidak kehilangan selera humor.

Di toko buku, banyak sekali buku “ringan” semacam itu. Sebegitu banyak, hingga rasanya kita bisa menemukannya sambil merem. Tetapi harus diakui, tidak semua buku semacam itu bagus. Umumnya, buku-buku ringan—dan lucu—yang bagus ditulis orang yang benar-benar bisa menulis, bukan orang yang sekadar latah menulis buku. The Freaky Teppy adalah satu di antaranya.

Jika buku komedi/ringan selama ini terkesan remaja banget, The Freaky Teppylebih dewasa. Jika saya sering “gagal paham” saat membaca buku komedi remaja sehingga tidak tahu di mana letak lucunya, The Freaky Teppy mampu membuat saya cekikikan tanpa henti. Oh, well, saya sangat menikmati saat membacanya, hingga terus guling-guling di sofa selama membaca kisah-kisah di dalamnya. 

Nyaris setiap lembar buku ini membuat saya tidak bisa berhenti tertawa. Stephany ‘Teppy’ Josephine menulis kisah-kisahnya dengan caranya sendiri—lugas, jujur, apa adanya, tanpa sok jaim-jaiman, dan selalu mampu menghadirkan humor di rangkaian kisahnya.

Tapi kejutan tak terduga muncul menjelang akhir buku, tepatnya dalam kisah “Shameless Assistant: Patah Hati”. Di akhir kisah itu, jantung saya mencelos, dada saya menghangat. Setelah cekikikan dan guling-guling sejak halaman pertama, akhir kisah itu membuat saya tercenung dan ingin menangis. Saya tidak akan menceritakannya di sini—kalian harus membacanya sendiri!

Buku ini murni komedi, ditulis dengan tujuan untuk menghibur, namun kita bisa menemukan pelajaran-pelajaran tersembunyi di dalamnya. Sayangnya, buku ini terlalu tipis—saya menghabiskannya dalam sekali duduk. Akibatnya, ketika sampai di halaman akhir, dan mendapati kisahnya telah selesai, saya merasa “tidak rela”. Ini seperti makan sedang enak-enaknya, belum sempat kenyang, tapi tiba-tiba disuruh berhenti. 

*Nangis pelangi*

Stephen King: Carrie


Carrie adalah karya klasik Stephen King, yang kemudian mengantarnya menjadi raja novel horor. Sebagai novel, Carrie terbit pertama kali pada 1974, tepat ketika Stephen King—yang waktu itu masih penulis pemula—merasa frustrasi dengan banyaknya penolakan dari penerbit. 

Di rumahnya yang sederhana, Stephen King memasang paku besar di salah satu dinding. Menancap kuat di dinding rumah, paku itu menonjol sepanjang 10 centimeter. Paku itu menjadi saksi bisu penolakan demi penolakan yang pernah diterima Stephen King. Setiap kali ia mengirim naskah ke penerbit dan ditolak, King akan menancapkan nota penolakan yang ia terima pada paku di rumahnya.

Waktu demi waktu berlalu, dan surat-surat penolakan yang diterimanya semakin banyak—semuanya ia tancapkan pada paku di dinding—hingga paku yang panjang itu seolah tak muat lagi karena telah penuh deretan nota penolakan. Pada waktu itulah, di tengah frustrasi memandangi banyaknya penolakan yang ia terima, Stephen King mendapat kabar bahwa novelnya, Carrie, diterima untuk diterbitkan.

Hasil penerbitan novel itu tidak hanya mampu menopang kehidupan Stephen King yang waktu itu sedang kembang-kempis, namun juga mengantarnya menjadi legenda novel horor. Kisah seorang gadis yang memiliki kekuatan telekinetik bernama Carrie White segera terkenal, novelnya terjual dalam jumlah besar, hingga kemudian difilmkan beberapa kali. Setelah itu, Stephen King pun menancapkan namanya sebagai penulis horor paling terkenal di dunia.

Carrie mengisahkan gadis lugu yang sering di-bully teman-teman sekolahnya, hingga puncaknya terjadi ketika si gadis lugu menggunakan kekuatan telekinetik yang dimilikinya, dan menghancurkan seisi kota. Teknik penulisan novel ini sangat unik, karena plotnya tidak hanya mengisahkan tokoh-tokoh dalam cerita, namun juga melibatkan aneka deskripsi berupa potongan-potongan berita yang seolah nyata.

Novel yang saya baca adalah cetakan baru—Februari 2014. Tetap asyik dibaca dan dinikmati, meski telah ditulis empat puluh tahun yang lalu. Bukti bahwa Carrie memang tak lekang oleh waktu.