Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan kita yang mungkin kecil.
—Bayu
Dahulu, kalau sedang asyik mengerjakan sesuatu, saya sering lupa segalanya,
termasuk lupa makan. Sering kali saya baru sadar belum makan seharian
setelah merasakan perut yang tiba-tiba keroncongan di tengah malam.
Biasanya, kalau sudah begitu, saya agak panik. Karenanya pula, saya pun
selalu berusaha menyiapkan makanan—aneka roti sampai mie instan—untuk
jaga-jaga kalau muncul “keadaan darurat” semacam itu.
Suatu hari, saya asyik mengerjakan sesuatu, dan sama sekali tak sadar
kalau seharian belum makan. Sejak bangun tidur sampai malam datang, saya
hanya ngemil, minum teh, dan merokok. Saat pekerjaan selesai sekitar
pukul 1 dini hari, tiba-tiba saya sadar belum makan seharian. Kesadaran
itu memicu kesadaran lain—perut yang tiba-tiba terasa sangat kelaparan.
Maka, dengan agak buru-buru, saya pun mengeluarkan motor, dan ngebut
mencari warung makan. Dini hari seperti itu sudah jarang warung makan
yang masih buka, tapi saya tahu ada warung makan yang biasa buka sampai
larut malam di depan tempat billiar. Lokasinya agak jauh, tapi
sepertinya cuma warung makan itu yang bisa saya andalkan. Jadi saya pun
menuju ke sana.
Tepat seperti yang saya harapkan, warung makan itu masih buka. Biasanya,
bocah-bocah yang capek main billiar akan masuk ke warung itu, untuk
minum dan ngobrol dengan teman-teman mereka. Ketika saya sampai, warung
itu cukup sepi. Saya pun segera memarkir motor, lalu masuk warung dan
memesan nasi.
Ketika sedang makan dengan lahap akibat kelaparan, tukang parkir di sana
masuk ke warung, dan berkata pada saya, “Mas, uh... itu motornya
menghalangi mobil yang akan keluar.”
Karena tadi buru-buru, saya memang memarkir motor agak sembarangan. Tapi
sekarang saya tidak mungkin memutus makan hanya untuk membetulkan
parkir motor. Maka saya pun memberikan kunci motor pada si tukang
parkir, dan memintanya untuk mengurus parkir motor saya. Dia menerima
kunci itu, dan segera keluar untuk mengerjakan tugasnya.
Seusai makan, saya merokok sambil memegangi perut yang kenyang. Rasanya
nikmat sekali kalau kau kelaparan, kemudian menemukan warung yang tepat,
dan bisa makan sampai kenyang. Setelah merasa cukup duduk di sana, saya
pun bangkit untuk beranjak keluar warung. Waktu itu, bertepatan dengan
gerimis yang mulai turun dari langit.
Pada saat itulah saya baru sadar kunci motor tidak di tangan. Kunci itu
tadi saya berikan pada tukang parkir, dan dia belum mengembalikannya!
Dengan agak panik, saya buru-buru keluar warung. Waktu itu saya mengendarai Mega Pro,
yang baru saya beli dua minggu! Saya sedang cinta-cintanya pada motor
itu! Dan sekarang kunci motor itu dipegang orang lain yang sama sekali
tidak saya kenal! Berbagai pikiran buruk segera melintas di pikiran.
Bagaimana kalau motor yang masih baru itu dibawanya pergi...?
Dengan bergegas, saya menuju ke tempat tadi memarkir motor. Dan... omigod, motor itu tidak ada di sana!
Bagimana ini bagaimana ini bagaimana iniiiiihh...???
Sambil kebingungan, saya berdiri di tempat tadi memarkir motor, dan
mengedarkan pandangan ke sana kemari dengan jantung berdebar. Pada waktu
itulah kemudian seseorang mendekati saya, dan mengacungkan sesuatu.
Tukang parkir yang tadi!
Dengan muka agak bingung, tukang parkir itu mengacungkan kunci motor
saya, dan berkata, “Maaf, Mas, motornya saya pindahin ke sana, biar
nggak kehujanan. Saya mau ngembaliin kunci ini, tapi nggak enak, situ
masih makan.”
Bersama perasaan yang lega tiba-tiba, saya tak mampu berkata apa-apa, selain, “Ya, nggak apa-apa.”
Saya pun menuju tempat parkir motor, yang kini telah dipindahkan di
bawah atap. Setelah memberikan uang pada tukang parkir itu, saya segera
melaju menembus gerimis yang masih turun.
Sebenarnya, kisah ini sudah selesai, kalau saja hal yang sama tidak terulang.
Sekitar dua minggu setelah kejadian itu, saya kembali lupa makan karena
asyik mengerjakan sesuatu. Larut malam, saya baru menyadari perut
keroncongan, dan segera mengeluarkan motor untuk mencari makan. Seperti
dua minggu sebelumnya, waktu itu pun saya langsung menuju warung yang
ada di tempat billiar. Dalam keadaan kelaparan, saya tentu tidak mungkin
keluyuran ke sana kemari hanya untuk mencari warung makan yang masih
buka.
Sesampai di sana, saya memarkir motor di tempat yang aman, di bawah
atap, seperti yang dilakukan tukang parkir dua minggu sebelumnya. Waktu
itu masih musim hujan, jadi gerimis sering kali turun sewaktu-waktu.
Setelah memastikan motor aman dan tidak akan mengganggu lalu lintas
kendaraan lain, saya pun melangkah masuk warung untuk makan.
Seusai makan dan menikmati rokok secukupnya, saya memutuskan untuk
pergi. Pada waktu keluar dari warung dan sedang melangkah menuju tempat
motor, hujan turun dari langit. Tanpa gerimis. Air seperti tiba-tiba
dicurahkan dari atas. Saya pun berlari-lari kecil menuju tempat parkir
motor, berharap bisa berteduh di sana.
Harapan saya terwujud. Tempat parkir motor agak lengang, dan atap di
atasnya cukup mampu melindungi dari curah hujan. Ketika saya sampai di
tempat itu, si tukang parkir juga tampak sedang berteduh. Ia berdiri
menyandar tembok, sambil menyedekapkan tangan, seperti kedinginan. Dia
tersenyum waktu melihat saya datang, dan saya pun membalas senyumnya.
Kami berdiri bersisian. Sepertinya dia sebaya dengan saya, tapi mungkin
kerasnya hidup menjadikannya tampak lebih dewasa. Semula, kami hanya
diam, menatap hujan yang turun. Lalu saya mengeluarkan rokok, menyulut
sebatang, dan menawarinya. Dia mengambil sebatang, menyulutnya, lalu
kami mulai bercakap-cakap.
Percakapan kami waktu itu hanya basa-basi antar dua lelaki yang tak
saling kenal. Dia bertanya apakah saya pelanggan warung itu, karena dia
mendapati saya dua kali makan di sana. Saya menjawab, teman-teman saya
biasa main billiar di tempat itu, kadang saya menemani mereka, dan saya
pun tahu masakan di warung itu cukup enak. Apalagi kalau sedang
kelaparan. Jadi kalau sewaktu-waktu butuh makan di larut malam, warung
itulah yang segera terbayang di benak saya.
Hujan masih turun. Sesekali kilat menerangi bumi.
Percakapan yang semula kaku lama-lama mulai mencair, bersama asap rokok
yang mengepul di antara kami. Kemudian, setelah kami terdiam beberapa
saat karena kehabisan bahan percakapan, tukang parkir itu menatap saya
dengan bingung, lalu berkata perlahan-lahan, “Mas, sebenarnya saya harus
ngucapin terima kasih.”
Saya menatapnya dengan bingung. “Untuk apa?”
“Untuk kepercayaan tempo hari.”
Saya masih belum paham.
Kemudian, dengan agak ragu, tukang parkir itu menceritakan. Dua minggu
sebelumnya, ketika kami bertemu pertama kali saat saya makan di sana,
dia baru lima hari keluar dari penjara. Seperti bekas narapidana
lainnya, dia juga gamang menghadapi hari barunya di luar penjara. Dia
merasa tidak ada orang yang akan mempercayainya.
Akibat suatu kesalahan, dia dihukum dua tahun di penjara. Saat bebas,
dia kesulitan berbaur kembali dengan masyarakatnya, karena stigma bekas
napi membuat orang lain memilih menjauh. Teman-teman yang dulu
dikenalnya berpaling, orang di kampungnya terlihat menjaga jarak, bahkan
keluarganya sendiri pun sepertinya tak bisa lagi percaya kepadanya.
Satu-satunya tempat dia bisa meneruskan hidup adalah di tempat billiar
itu, karena kebetulan dia kenal dekat dengan pemiliknya. Setelah
berusaha meyakinkan bahwa dia telah bertaubat, si pemilik tempat billiar
memberi kesempatan padanya untuk menjaga tempat parkir. Dia baru lima
hari berada di tempat itu, ketika suatu malam bertemu saya yang makan di
sana.
Dan, waktu itu, saya menyerahkan kunci motor kepadanya.
Sesuatu yang tampaknya remeh itu ternyata memiliki arti besar bagi
dirinya. Seseorang yang tak ia kenal mempercayakan kunci motor
kepadanya—seseorang mempercayainya! Kenyataan itu seperti mengembalikan
rasa percaya dirinya, bahkan memulihkan harga dirinya. Ia merasa masih
layak dipercaya—setidaknya masih ada orang yang mau percaya kepadanya.
“Karena itulah saya ingin ngucapin terima kasih,” ujarnya sambil menatap saya dengan campuran bingung dan malu.
Saya tak mampu berucap apa-apa, karena tiba-tiba merasa bersalah. Saya
masih ingat, dua minggu sebelumnya, saya sempat was-was begitu ingat
kunci motor saya ada padanya. Tapi rupanya dia menjaga kepercayaan saya.
Bukannya membawa lari motor yang tampak masih baru, dia justru
memindahkannya ke tempat yang aman.
Hujan masih turun, sesekali terdengar suara petir di kejauhan.
Dini hari itu, berdiri di bawah atap bersama seseorang yang tidak saya
kenal, di bawah hujan yang membekukan, tiba-tiba saya merasa mendapat
pelajaran penting. Sesuatu yang tampaknya remeh yang kita lakukan, bisa
jadi sangat besar artinya bagi orang lain.