2012-11-18

Bocah Yang Merokok Klobot

Ibu Baik Hati itu menerima si bocah lelaki bekerja di tempatnya—baginya hal biasa, dan di tempatnya ada bocah-bocah lain yang juga bekerja di sana. Tetapi, sejak pertama kali melihatnya, si ibu sudah melihat keanehan pada bocah itu. Dia tidak seperti bocah-bocah lelaki lainnya, begitu yang sering ia katakan pada para tetangga.

Selain pendiam, kata Ibu Baik Hati, bocah lelaki itu juga tidak pernah makan nasi. Setiap siang, ketika bocah-bocah lain pergi ke warung untuk makan nasi, bocah lelaki itu terlihat duduk sendirian di tempatnya semula, sambil memakan roti murahan yang telah dibawanya dari rumah. Selain itu, si bocah juga sering terlihat merokok klobot. (Klobot; rokok kretek yang biasa diisap orang tua).


“Kenapa kamu tidak pernah makan nasi?” tanya si ibu suatu hari pada bocah itu.


“Karena saya suka roti,” jawab si bocah singkat.


“Setiap hari kamu makan roti? Sarapan? Juga makan malam?”


“Yeah…”


“Tidak makan nasi sama sekali?”


“Uh, kadang makan nasi juga.”


Kemudian si ibu memperhatikan rokok yang ada di tangan si bocah. Dan bertanya, “Kenapa kamu merokok klobot?”


“Karena
saya suka rokok. Dan rokok filter mahal, jadi saya pilih rokok ini.”

Si ibu tidak pernah yakin dengan nama bocah itu, selain juga ia sulit menghafalkan setiap nama dari puluhan orang yang bekerja di sana. Karenanya, setiap kali menyebut si bocah, dia menyebutnya, “bocah yang merokok klobot.” Dan sebutan itu pula yang kemudian dipakai di tempat kerja itu. Bocah itu sering mendengar orang-orang di sekitarnya menyebut, “Kamu lihat bocah yang merokok klobot?”


Si bocah menganggap sebutan itu sangat hebat—terdengar aneh, dan misterius. Dan dia menyukainya. Juga tersenyum setiap kali mendengar orang menyebutkannya.


Tempat bekerjanya waktu itu adalah sebuah pabrik kecil tempat pengolahan batik yang dimiliki seorang pengusaha di luar kota. Si pengusaha sengaja membangun tempat pengolahan batik di kota si bocah, dengan tujuan agar seluruh pengerjaan batiknya diurus orang-orang di sana. Dan si bocah lelaki yang merokok klobot adalah salah satu sekrup kecil yang menggerakkan jalannya pabrik itu.


Para pekerja di sana menyebut si pengusaha dengan panggilan “Bos Besar”, dan si Bos Besar sering membagi-bagi duit setiap kali datang. Karena itu kehadirannya selalu dinantikan, dan disambut keriangan senyum. Bagi para pekerja di sana, juga bagi si bocah yang merokok klobot, Bos Besar adalah orang yang baik.


Suatu hari, Bos Besar datang ke tempat kerja itu—jadwal rutin yang biasa. Biasanya, dia akan memperhatikan proses pekerjaan di sana, memberikan solusi atas berbagai masalah yang ada, dan kemudian pulang dengan membawa tumpukan batik yang telah selesai diproses. Oh ya, tentu saja setelah membagi-bagi duit bagi para pekerjanya yang selalu rajin.


Siang itu, ketika jam istirahat kerja tiba, para pekerja pergi ke warung untuk mencari makan, sementara Bos Besar makan siang bersama keluarga Ibu Baik Hati. Tidak jauh dari tempat mereka, si bocah lelaki baru saja menyelesaikan santap siangnya dengan sepotong roti murahan, dan kemudian menikmati rokok sambil membaca sebuah buku.


“Hei, Nak…!”


Suara panggilan si Bos Besar membuyarkan pikiran si bocah yang sedang asyik membaca bukunya. Dan ketika ia menoleh, Bos Besar terlihat melambaikan tangannya, dan berkata, “Ayo makan bareng kami.”


“Saya sudah makan,” jawab si bocah dengan tidak nyaman.


“Dari tadi kamu tidak terlihat makan? Ayolah, mari makan bareng!”


“Uh, saya sudah makan.”


Melihat ketidaknyamanan si bocah, Ibu Baik Hati kemudian berkata pada Bos Besar, “Dia memang tidak pernah makan siang. Setiap hari cuma makan roti.”


Kemudian mereka terlihat bicara serius, namun dengan bisik-bisik, sehingga si bocah tidak bisa mendengarnya. Tetapi dia memang tidak ingin mendengar. Dia ingin kembali menikmati bukunya.


Seusai makan siang, Bos Besar mendekati bocah itu, memperhatikan rokok klobot yang ada di tangan kurusnya. Mungkin, baginya, itu seperti pemandangan suram dari lukisan gotik Abad Pertengahan—seorang bocah kurus, dekil, dan merokok klobot. Sambil tersenyum, Bos Besar berkata, “Jadi rupanya benar kamu merokok klobot.”


Si bocah, mau tak mau, ikut tersenyum—karena dia selalu tersenyum setiap kali mendengar sebutan itu.


“Apa yang sedang kamu baca itu?” tanya Bos Besar sambil menujukan pandangannya pada buku di tangan si bocah.


Si bocah hanya menunjukkan sampul bukunya. Sebuah buku kumal, dengan beberapa halaman yang terlepas, dengan sampul yang telah koyak. Tetapi judulnya masih terbaca—dan Bos Besar terbelalak.


“Kamu membaca buku itu…???” Nadanya seperti mendengar kalau Nabi Isa akan turun ke bumi besok pagi. Mungkin, menurutnya, bocah yang merokok klobot tidak seharusnya membaca ‘A Brief History of Time’.


Si bocah kebingungan menyaksikan pekikan si Bos Besar. Dengan tergagap dia berkata, “Uh, saya harap… saya tidak melanggar peraturan kerja di sini?”


Bos Besar tertawa. “Tentu saja tidak! Cuma, uh, kenapa kamu sampai membaca buku itu?”


“Karena cuma buku ini yang saya temukan di loakan,” jawab si bocah dengan malu-malu.


“Kamu suka membaca?”


“Yeah…”


Bos Besar manggut-manggut. “Bagus. Saya senang melihat orang yang rajin membaca. Menurut Ibu tadi, kamu juga sangat rajin bekerja di sini. Semua laporan tentangmu membuat saya senang. Saya harap, kamu tetap menjadi pekerja saya selamanya.”


Tetapi bocah itu tidak bekerja di sana selamanya.


Hanya berselang beberapa bulan setelah percakapan dengan si Bos Besar, bocah itu telah keluar dari sana—karena mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.


Bos Besar mencoba mempertahankannya, meminta agar si bocah tetap bekerja untuknya, menjanjikan akan membayarnya sebanyak yang dijanjikan orang lain kepadanya, tetapi si bocah tahu bagaimana membangun takdirnya—dan ia pun tahu takdirnya tidak di tempat itu. Bos Besar mungkin lupa bahwa bocah lelaki yang merokok klobot rajin belajar.


Dan waktu-waktu berlalu, dan bocah itu tumbuh besar—dan dewasa. Masa-masa ketika ia makan roti di siang hari waktu jam istirahat kerja, telah menjadi bagian nostalgia. Masa-masa ketika ia merokok klobot sambil membaca buku lusuh dan kumal, telah menjadi masa yang seolah telah berabad-abad lamanya.


Hari ini, bocah itu masih suka makan roti, namun tidak lagi merokok klobot. Tetapi, saya masih suka tersenyum setiap kali mengingat sebutan itu.

2012-11-05

Hati Yang Letih

-Berhentilah mendebat dan belajarlah memahami.-

 ***

Francis Crowley mungkin dilahirkan untuk membunuh. Ia lahir pada 31 Oktober 1912 di New York City, sebagai anak kedua. Ketika bocah itu beranjak besar dan dewasa, dia menjadi kriminal yang membunuh orang dalam jumlah sangat banyak, sehingga menjadikan namanya dikenal sebagai penjahat paling berbahaya di Amerika.

Pada masa remajanya, Francis Crowley telah keluar masuk kantor polisi, menginap di penjara, akibat kenakalannya—dari perkelahian di jalanan, sampai penyerangan dan pencurian. Seiring usianya yang makin dewasa, tingkat kenakalannya semakin berbahaya. Ia mulai merampok, dan membunuh. Saat mengakhiri masa remaja, reputasi Crowley sebagai bandit jalanan telah dikenal oleh semua kantor kepolisian.


Pada 21 Februari 1931, “puncak karir” Crowley dalam dunia kejahatan terjadi. Pada waktu itu, Crowley dan dua temannya—Rudolph Duringer dan Helen Walsh—berjalan-jalan di Bronx, Amerika, dan mengganggu orang-orang yang lewat. Ketika dua polisi patroli muncul untuk menindak mereka, Crowley dengan ringan mengambil senjata dan menembak dua polisi itu hingga bersimbah darah.


Menyadari kedua polisi itu terluka parah akibat tembakannya, Crowley pun melarikan diri. Ia pergi ke wilayah Lexington Avenue, namun di tempat itu ia kembali harus berurusan dengan polisi. Detektif Ferdinand Schaedel, yang kebetulan mengenali wajah Crowley, mencoba menahannya. Tetapi Crowley segera mengambil senjata dan menodongkannya ke perut sang detektif. Dengan muka dingin, Crowley menembakkan pistolnya beberapa kali, hingga isi perut polisi itu berhamburan di jalanan.


Dua hari setelah membunuh Detektif Ferdinand Schaedel, pada 15 Maret, Crowley dan dua temannya pergi ke New Rochelle, dan merampok sebuah bank di sana. Dengan santai mereka menodongkan senjata ke kasir, meminta koper-koper mereka diisi uang, kemudian menembak para penjaga yang mencoba melawan. Ketika mereka keluar dari bank, beberapa mayat bergeletakan, sementara raungan sirine mobil polisi terdengar berdatangan.


Tapi Crowley belum berhenti menjalankan kejahatannya. Satu bulan setelah perampokan bank di New Rochelle, Crowley membobol apartemen milik broker properti Rudolph Adler, di kawasan West Street. Mengetahui ada penjahat yang menyusup ke apartemennya, Rudolph Adler mencoba melawan, tetapi Crowley langsung mengarahkan senjatanya dan menembak Adler lima kali hingga lelaki itu jatuh menghantam lantai dengan darah muncrat ke mana-mana.


Pada 27 April, Crowley membutuhkan kendaraan. Ia dan Rudolph Duringer mencegat mobil yang saat itu lewat di jalanan. Pengemudinya seorang wanita bernama Virginia Brannen. Setelah menghentikan mobil itu, Crowley berkata dengan santai, “Keluarlah, aku perlu mobilmu.”


Virginia Brannen tentu saja menolak permintaan Crowley. Penolakan itu dijawab Crowley dengan tembakan yang segera membuat tubuh Virginia Brannen bersimbah darah di jok mobilnya. Crowley menarik tubuh yang telah tewas itu, dan melemparkannya ke pinggir jalan, di luar Seminari St. Joseph di Yonkers.


Tubuh Virginia Brannen yang telah tewas kemudian ditemukan oleh kepolisian New York, dan bukti-bukti yang ada mengarah kepada Crowley. Kali ini, NYPD (New York Police Department) benar-benar sudah kehabisan kesabaran dalam menghadapi Crowley. Penjahat itu harus segera dihentikan, dan mereka pun segera meningkatkan segala upaya untuk dapat menangkap Crowley.

Pada 29 April, beberapa polisi melihat Crowley mengendarai mobil Chrysler hijau di daerah Bronx, dekat Morris Avenue Bridge. Segera koordinasi dilakukan, dan dalam waktu singkat puluhan mobil polisi memenuhi jalanan. Crowley, yang tahu akan ditangkap, segera menekan gas dan Chrysler-nya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan di Bronx, sementara mobil-mobil polisi mengejarnya dengan sirine meraung-raung.

Kejar-kejaran dengan kecepatan tinggi itu mirip adegan film—puluhan tembakan polisi menghajar mobil Crowley, melubangi tubuh mobil, memecahkan kaca-kacanya. Rudolph Duringer, yang ada dalam mobil bersama Crowley, membalas tembakan polisi dengan tembakan yang sama. Dalam baku kejar itu, Crowley tertembak, tetapi ia masih bisa mengendalikan mobilnya.


Di salah satu tikungan, Crowley membelokkan mobil dengan kecepatan mengerikan, kemudian menghentikannya secara mendadak. Setelah itu ia menunggu dengan senjata terkokang. Ketika beberapa mobil polisi pengejarnya muncul, ia tembakkan senapannya ke arah mobil-mobil itu. Polisi-polisi dalam mobil yang tertembak tak bisa mengendalikan mobilnya, dan tabrakan antar mobil polisi pun tak terelakkan. Dalam kekacauan yang amat mengerikan itu, Crowley kembali duduk di belakang setirnya, dan menekan gas meninggalkan korban-korbannya.


Beberapa hari berikutnya, sedan Chrysler yang dikendarai Crowley ditemukan di pinggir jalan, penuh lubang peluru tak terhitung jumlahnya, juga terdapat noda darah yang menghitam di jok mobil. Tapi Crowley maupun temannya tak tertemukan.


Pada 6 Mei 1931, Crowley duduk-duduk bersama Helen Walsh di sebuah mobil yang diparkir di kawasan North Merrick, Long Island. Keduanya sedang menikmati minuman ringan sambil bercanda ketika muncul dua petugas polisi mendekati mobil mereka. Kedua polisi itu—Frederick Hirsch dan Peter Yodice—mencurigai keberadaan mobil tersebut, dan mereka pun mendekati Crowley yang ada di jok depan.


Frederick Hirsch menyapa Crowley, dan berkata, “Boleh saya lihat SIM Anda?”


Sebagai jawaban, Crowley membuka pintu mobilnya, dan menghantamkannya ke tubuh polisi itu. Frederick Hirsch terjatuh ke aspal, dan Crowley segera menembakkan senjatanya. Peter Yodice yang menyaksikan rekannya ditembak, segera mengambil pistolnya, tetapi Crowley lebih cepat. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh polisi satunya itu, dan Peter Yodice pun segera terjungkal ke tanah dengan darah berhamburan dari tubuhnya. Tetapi keduanya belum mati.


Crowley kembali menembakkan senjatanya ke dua polisi yang kesakitan, namun kali ini pelurunya habis. Dengan santai, ia mengambil pistol milik polisi-polisi itu, lalu dengan kedua tangannya ia memberondongkan peluru ke tubuh dua polisi yang telah sekarat. Darah mengalir di aspal, bersimbah menutupi dua tubuh penuh luka. Setelah yakin kedua polisi itu tewas, Crowley masuk ke mobil dan melesat pergi.


Kematian dua polisi itu semakin membakar amarah NYPD. Sepanjang sejarah kejahatan di New York, belum pernah ada orang yang begitu kejam dan brutal seperti Crowley. Ia benar-benar orang paling berbahaya—sosok yang tidak akan ragu mengambil pistol untuk membunuh siapa pun yang dikehendakinya. Menggunakan istilah Komisaris Polisi E.P. Mulrooney, “Crowley akan membunuh, hanya karena jatuhnya sehelai bulu.”


Karenanya pula, kepolisian New York pun semakin bertekad menangkap penjahat itu, dan seluruh kekuatan dikerahkan untuk memburunya. Perburuan itu membuahkan hasil. Satu hari setelah penembakan dua polisi di atas, pada 7 Mei 1931, NYPD mendapatkan informasi bahwa Crowley ada di sebuah apartemen di kawasan West End Avenue, bersama Helen Walsh dan Rudolph Duringer.


NYPD segera mengumpulkan pasukan berjumlah besar—300 polisi bersenjata senapan dan gas air mata, serta para detektif—untuk mengepung apartemen berlantai lima itu. Penyergapan dan pengepungan itu dipimpin Letnan Christian Salsieder, yang kelak mendapatkan Honorable Mention, penghargaan tertinggi untuk polisi.


Crowley dan teman-temannya kali ini benar-benar terjebak, namun mereka tak mau menyerah begitu saja. Ketika mendapati apartemen telah terkepung, mereka menembakkan senjata dan melemparkan granat ke arah para polisi, yang segera dibalas tembakan sama.


Itu pengepungan dan penyergapan penjahat paling sensasional di New York, dan baku tembak yang mirip film-film action itu menarik perhatian 15.000 orang yang berdebar menontonnya. Ratusan polisi menembaki dinding-dinding apartemen, melemparkan gas air mata, sementara pengeras suara meneriakkan perintah agar Crowley dan teman-temannya menyerah. Dari dalam gedung, Crowley dan teman-temannya membalas tembakan itu, dan kembali melemparkan gas air mata melalui atap apartemen.


Jalanan di New York bagaikan lokasi perang. Desingan peluru dan dentuman senjata terdengar dari sana-sini, beberapa polisi bergelimpangan di jalanan, mobil-mobil terbakar, sementara ribuan orang yang menyaksikan pertempuran itu tercekam kengerian. Di dalam apartemen, dengan berlindung di balik kursi baja, Crowley mengarahkan senjata dan menembakkan peluru ke arah ratusan polisi yang mengepungnya.


Baku tembak itu berlangsung hingga dua jam, dan ada lebih dari 700 peluru yang ditembakkan polisi untuk menundukkan Crowley. Akhirnya, Crowley menyerah setelah terkena empat tembakan, dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Saat diperiksa, mereka menemukan dua senjata tersembunyi di kedua kaki Crowley, dan sehelai kertas bernoda darah tersimpan di saku bajunya.


Sehelai kertas itu berisi catatan yang ditulis Crowley dengan terburu-buru sambil menahan luka-luka di tubuhnya akibat tertembus peluru. Mungkin, karena mengira dirinya akan segera mati, Crowley ingin meninggalkan wasiat. Dan wasiat yang ditulisnya di kertas itu berbunyi, “Untuk mereka yang berkepentingan. Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”


Francis Crowley, penjahat paling bengis di New York, yang dijuluki The Two Guns—karena biasa menggunakan dua senjata di tangannya—dan telah membunuh banyak orang dengan darah dingin itu, menyatakan, “Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”


Pada 21 Januari 1932, Crowley dieksekusi di atas kursi listrik setelah pengadilan New York memvonis hukuman mati atas semua kejahatan dan pembunuhan yang telah dilakukannya. Tetapi, bahkan sampai di situ pun, Crowley tidak pernah menerima kenyataan atau menyadari dirinya bersalah. Dia masih meyakini dirinya orang baik, yang “tidak tega melukai siapa pun.”


Seperti yang dikatakan orang-orang bijak, cara kita melihat diri sendiri adalah ego kita. Cara orang lain melihat diri kita adalah kepribadian kita.