2012-09-24

Tanpa Teriakan

Anak-anak tidak akan memahami orang tua, sampai mereka menjadi orang tua. Dan ketika mereka menjadi orang tua, para orang tua telah tiada.

Kebenaran paling penting, sering kali berteriak dalam hening.

Tato Di Punggung Jupe,dan Era Baru Animisme

Jujur, saya benci menulis catatan ini. Saya sudah pernah menulis tentang Jupe, dan saya telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah lagi menulis tentang perempuan itu. Tapi saya benar-benar gatal kali ini, hingga merasa tak mampu menghentikan pikiran yang menggerakkan jari-jari saya menari di atas keyboard dan menulis catatan ini. Menulis tentang Jupe, kau tahu, adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Tapi sekarang saya lakukan. Karena gatal.

Perempuan itu—maksud saya, Jupe—baru-baru ini bikin heboh lagi. Kali ini melalui tato aneh di punggungnya. Saya katakan aneh, karena tato itu berbahasa Arab, berbentuk kaligrafi, dan berbunyi “khaya’alal falaakh”. Kita tahu, kalimat berbahasa Arab itu adalah salah satu bagian seruan adzan yang ditujukan untuk kaum muslim ketika datang waktu shalat. Jika tato semacam itu terdapat di punggung Mamah Dedeh, mungkin saya tidak akan terkejut. Tapi Jupe…?


Apa motivasi Jupe menerakan tato semacam itu di punggungnya? Demi Tuhan, apa yang menggerakkan
Julia Perez yang semlohay itu hingga memilih kaligrafi Arab sebagai tato penghias punggungnya?

Sejak pertama kali mengetahui berita tentang tato aneh itu, saya sudah mencoba diam dan memikirkannya secara mendalam. Dengan segala kebijaksanaan yang (mungkin) saya miliki, saya berusaha semampunya untuk dapat memahami Jupe, dan tidak buru-buru menghakimi apalagi sampai menyalahkannya. Tapi demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, saya tetap tidak bisa memahami, bagaimana bisa tato berbahasa Arab itu mejeng di punggung Jupe.


Tidak lama setelah umrah (oh, well, Jupe juga umrah), Julia Perez pernah menyatakan bahwa dia akan berusaha memperbaiki diri, yang salah satunya akan mulai berbusana agak tertutup—tidak ngablak seperti selama ini.


Soal busana tertutup atau ngablak, itu hak asasi setiap orang, toh kita hidup di negara Pancasila. Bahkan umpama Jupe keluyuran ke pasar dengan pakaian renang, saya tidak akan ambil pusing. Dan kalau kemudian Jupe tetap berbusana ngablak, meski ia telah berjanji akan berbusana tertutup, saya juga tidak peduli. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari—biar Rhoma Irama menjadi saksi. Tapi tatonya itu…?


Saya telah memikirkan urusan tato di punggung Jupe itu hingga berhari-hari, bermalam-malam, dan tetap tidak berhasil menemukan alasan masuk akal. Satu-satunya alasan yang bisa saya bayangkan hanyalah bahwa tato itu merupakan upaya Jupe untuk membuat sensasi—tidak kurang, tidak lebih. Dan, sayangnya, sensasinya kali ini benar-benar keterlaluan, untuk tidak menyebut murahan.


Alasan apa lagi selain sensasi yang bisa kita bayangkan untuk tato berupa kaligrafi Arab di punggung seorang wanita seperti Jupe? Mungkin Jupe telah kehabisan akal untuk membuat sensasi lain, sehingga ia pun sampai menerakan tato semacam itu. Dalam pikiran Jupe, mungkin, tato berupa gambar kompor atau lambang bajak laut tidak akan menarik perhatian. Maka ia pun memilih tato berbahasa Arab. Ia bisa memperkirakan, pasti akan muncul banyak suara—dari sekadar protes sampai kehebohan—dan tujuannya untuk menciptakan sensasi pun tercapai.


Kenyataannya, yang diharapkan Jupe memang tercapai. Tato itu melahirkan sensasi, aneka macam publikasi, banyak orang meributkannya, bahkan saya pun sampai menulis catatan sialan ini.


Dan tato itu, kita tahu, bukanlah tato permanen. Setelah ribut-ribut mengenai tato itu terdengar dari segala penjuru, Jupe pun dengan enjoy menghapus tatonya. Ia tak butuh lagi tato itu, karena memang yang dibutuhkannya cuma sensasi, publikasi, dan kehebohan—sebagai jaminan bahwa namanya tetap dikenal, dikenang, dan terus dibicarakan orang.


Upaya Jupe menarik perhatian melalui tato itu pun kemudian melemparkan saya pada pemikiran yang lebih serius, bahwa kita memang begitu gandrung dengan segala kehebohan, tergila-gila pada popularitas, dan sedang menuju era baru animisme.


Beribu-ribu tahun yang lalu, ketika peradaban manusia masih sangat primitif, orang-orang memuja pohon besar, angin topan, matahari dan bulan, bahkan gelegar halilintar. Apa pun yang dianggap besar—entah wujudnya atau suaranya—akan disembah sebagai tuhan (saya sengaja menggunakan huruf t dan bukan T). Pada era animisme, penyembahan terhadap sesuatu yang dianggap tuhan tidak berdasar kenyataan, melainkan berdasar kesan—dari kesan kebesaran sampai kesan kebisingan.


Manusia pada era itu menyembah pohon-pohon besar karena wujudnya, menyembah halilintar karena suaranya, bahkan sebagian yang lain menyembah sesamanya karena dianggap istimewa. Pada masa itu, orang hidup di gua-gua, dan mereka rela mengorbankan apa pun demi tuhan-tuhan sesembahan mereka.


Sekarang, dalam konteks tak jauh beda, kita sedang mengulang era animisme semacam itu. Dan sekarang “penyembahan” kita tertuju pada sesama yang dianggap “besar”—entah besar beritanya, ataupun besar sensasinya. Kita tidak lagi menyembah pohon atau halilintar, tetapi kita menyembah sesuatu yang mirip mereka, yakni “besar” atau “bising”. Dalam era baru animisme sekarang ini pun, ada orang-orang yang sengaja ingin menjadi tuhan—bagaimana pun caranya.


Maka kita pun menyaksikan orang-orang sibuk membangun pencitraan, bocah-bocah sibuk mengenakan kostum pahlawan, sementara artis yang kehabisan akal kemudian menerakan tato di punggung demi kehebohan. Media dan publikasi menjadi ayat suci, popularitas telah menjelma sesembahan. Sekarang, yang paling penting bukan bagaimana dirimu, melainkan bagaimana pencitraanmu. Persetan dengan kejujuran atau integritas, karena sekarang yang paling penting adalah publikasi dan popularitas.


Dan menciptakan publikasi, kau tahu, jauh lebih mudah dibanding memegang kejujuran dan idealisme. Membangun popularitas jauh lebih mudah dibanding menjaga integritas. Bahkan setan pun tahu, kejujuran dan integritas merayap seperti ular, sementara publisitas dan pencitraan melesat seperti elang. Karena lebih mudah dicapai, sebagian orang lebih memilih membangun pencitraan daripada memegang kejujuran, lebih memilih menyembah popularitas daripada memeluk integritas.


Pepatah Arab menyatakan, “Kalau kau ingin terkenal, kencingi saja sumur zam-zam.” Dan tepat seperti itulah yang dilakukan sebagian kita—sekarang ini. Tak peduli bagaimana caranya, yang kita butuhkan adalah cepat terkenal. Dan cara yang sering kali mudah untuk itu adalah menciptakan kehebohan, bahkan yang paling tak masuk akal. Menjadi terkenal, di zaman ini, telah menjadi kebutuhan banyak orang.


Kenyataannya, popularitas atau nama terkenal memang akan memberimu banyak keuntungan. Kalau kau terkenal, kau bisa menjual sampah dan orang-orang akan antri membelinya. Kalau kau terkenal, kau bisa
muntah di mana pun, dan orang-orang akan berdesakan menontonnya. Kalau kau terkenal, kau bisa mengatakan hal-hal paling tolol sekali pun, dan orang-orang akan khusyuk mendengarkannya. Kalau kau terkenal, oh well… kemungkinannya tak terbatas.

Dan popularitas, memang, telah menjadi sihir paling sakti di zaman ini. Orang-orang akan menyampaikan hormat kepadamu jika namamu terkenal, tak peduli serusak apa pun pribadimu. Kalau kau terkenal, orang-orang akan memujamu, bahkan menyembahmu dengan segala puja-puji seolah kau baru turun dari langit. Kalau kau terkenal, kau bisa membungkus kebohongan di balik kata-kata manis, dan orang-orang akan menjilatinya dengan rakus seperti kawanan anjing kelaparan.


Di zaman ini, menjadi terkenal tak jauh beda dengan menjadi tuhan, mungkin itu pikiran sebagian orang. Karenanya, mereka pun mencari segala cara untuk menjadi terkenal, menciptakan kehebohan, melahirkan sensasi dan publikasi, dengan cara yang beragam. Dan jika cara-cara yang dianggap lazim telah ketinggalan zaman, beberapa orang pun nekat menggunakan cara yang lebih gila. Misalnya dengan menerakan tato aneh di punggungnya.


Oh, well, selamat datang di era baru animisme.

2012-09-08

Menjadi Diri Sendiri

"Jika Tuhan menginginkan kita menjadi diri sendiri,
mengapa kita harus mati-matian menentangnya?"
Bayu Kacrut

Saya meyakini bahwa sekian milyar manusia yang pernah hidup di bumi ini, yang sedang hidup dan yang akan hidup, tidak ada dan tidak akan pernah ada satu pun yang sama dengan diri kita.

Masing-masing orang memiliki keunikannya sendiri-sendiri, bahkan seumpama sepuluh bayi dilahirkan dalam keadaan kembar pun masing-masing akan memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Padahal, jika Tuhan mau, tentunya Dia bisa menciptakan sekian banyak manusia yang benar-benar serupa, baik fisik maupun psikisnya. Tetapi tidak, Tuhan sengaja menciptakan kita—masing-masing kita—dalam bentuk berbeda-beda.

Inilah modal besar yang telah diberikan Tuhan untuk kita gunakan dalam kehidupan ini. Setiap orang telah diberikan suatu keistimewaan yang tidak diberikan kepada orang lain. Yang perlu kita lakukan, sebenarnya, bukan mengikuti mode atau tren dengan ikut-ikutan menjadi sosok lain, tetapi menjadi diri sendiri dengan menonjolkan keistimewaan yang kita miliki secara unik ini.

Mengikuti budaya konformitas (selalu berupaya untuk sama dengan orang lain) hanya akan menjadikan kita budak lingkungan, serta kehilangan jati diri.

Jadilah diri sendiri, adalah nasihat paling mendasar bagi setiap manusia.

2012-09-07

Godaan Yang Berat Di Malam Minggu

Saya bete tiap kali malam Minggu datang. Bukan, bukan karena jomblo dan kemudian bete di malam Minggu karena tidak punya pacar. Yang membuat saya bete adalah karena malam Minggu menghambat aktivitas rutin yang biasa saya jalani.
Kadang pada malam tertentu disaat saya sedang malas makan dirumah, saya pasti keluar rumah untuk mencari makan. Dalam hal itu, saya sering harus melewati Puri Indah. Di malam-malam biasa, kawasan itu tidak terlalu ramai—wajar-wajar saja. Tetapi, di malam Minggu, hampir dapat dipastikan ada segerombolan remaja yang ngetem di sana—entah untuk kebut-kebutan, atau untuk hal lain. Efeknya, jalanan di sekitar itu sering kali macet.

Tapi yang macet bukan hanya kawasan sekitar Puri Indah. Dari tempat itu hingga sampai di tempat tujuan, biasanya saya terus-menerus terjebak macet karena beratus-ratus pasangan memenuhi jalanan untuk malam mingguan. Sering kali saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa ya mereka harus kencan di malam Minggu? Kenapa tidak memilih malam lain saja biar tidak menimbulkan kemacetan di jalan?

Itu bukan hal menyenangkan bagi saya. Pertama, saya benci macet. (Ketika menulis catatan ini, saya memaklumi kalau mayoritas orang Jakarta rentan stres, karena macet memang bikin stres). Kedua, waktu saya terbuang percuma. Kalau biasanya saya hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di tempat tujuan, maka macet menjadikan saya butuh waktu hingga beberapa jam.

Dan kenyataan menjengkelkan itu harus saya alami seminggu sekali, setiap malam Minggu. Akhirnya, karena dongkol setiap kali keluar malam Minggu terjebak macet yang bikin bete, saya pun pernah memutuskan untuk tidak akan keluar rumah setiap kali malam Minggu. Untuk memenuhi kebutuhan makan, saya beli nasi goreng yang biasa lewat di depan rumah.

Semula, solusi itu terasa bagus dan praktis. Ngapain capek dan bete terjebak macet, tanpa harus keluar rumah pun saya bisa makan. Maka hal itu pun berlangsung cukup lama. Tiap malam Minggu datang, saya akan tenang di rumah, dan bisa menikmati makan malam dengan hati senang. Tetapi, lama-lama, saya mulai bosan nasi goreng. Ini masalah lagi, karena—selain penjual nasi goreng—tidak ada penjual nasi lain yang lewat di depan rumah.

Semakin lama ditahan, saya juga semakin bete tiap kali harus makan nasi goreng. Akhirnya, mau tidak mau, saya harus keluar rumah lagi untuk makan malam, termasuk malam Minggu. Dan, yeah, terjebak macet lagi. Macet, kau tahu, adalah godaan sempurna untuk misuh-misuh.

Tapi macet di jalanan, sebenarnya, hanyalah godaan awal yang menguji iman saya. Begitu sampai di Kafe Langganan tempat saya makan, ada godaan yang jauh lebih parah.

Di malam-malam biasa, kafe ini tidak terlalu ramai—pengunjungnya sesuai kapasitas, bahkan sering kali masih ada kursi yang kosong. Tapi di malam Minggu, jumlah pengunjungnya membludak. Sebagian besar adalah mereka yang sedang kencan, sementara yang lain adalah para lajang yang memang ingin menikmati akhir pekan. Saya tidak termasuk kedua-duanya, karena saya hanya cowok biasa yang memang sedang kelaparan.

Nah, ramainya pengunjung kafe semacam itu juga menjadi godaan bagi saya. Pertama, mau tak mau saya harus melihat pasangan-pasangan romantis yang sedang berpegangan tangan. Oke, mungkin mereka norak. Ngapain juga megang tangan pacar harus di kafe? Tapi tak peduli norak atau tidak, saya harus mengakui kalau hal itu menggoda saya untuk… yeah, ingin memegang tangan seseorang:)

Dan tentu saja saya tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang sama-sama cowok, karena maaf saja, saya bukan seorang homo. Saya pun tentu tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang cewek, karena pasti akan dianggap kurang ajar atau dituduh melakukan pelecehan. Jadi, biasanya, saya akan makan di sana sambil merasakan hati yang panas dingin.

Tapi godaan yang mengaduk-aduk hati saya bukan hanya pasangan yang sedang berpegangan tangan. Seperti yang dibilang di atas, pengunjung kafe selalu padat tiap kali malam Minggu. Dan biasanya lebih “atraktif”. Sambil makan, mata saya akan tergoda saat melihat cewek-cewek seksi memakai kaus ketat yang kebetulan lewat. Atau yang memakai rok mini sedemikian mini, dan melangkah gemulai di dekat saya. Seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa melakukannya.

Pernah, di suatu malam Minggu, sekelompok cewek duduk tepat di depan saya. Rata-rata mereka memakai kaus ketat. Selama makan, saya nyaris tidak menikmati makanan di mulut karena pemandangan di depan mata benar-benar menggoda. Entah cewek-cewek itu sadar atau tidak, bagian belakang kaus mereka tersingkap sehingga memamerkan punggung yang rata-rata putih mulus.

Dan saya duduk tepat di belakang mereka. (Terpujilah pelayan kafe yang menempatkan saya di sana!).

Tapi yang membuat mata saya tergoda bukan hanya punggung yang mulus. Karena, entah cewek-cewek itu sengaja atau tidak, tersingkapnya kaus itu juga sekaligus memamerkan celana dalam mereka. Silakan bilang saya norak. Tapi saya cowok biasa. Dan menyaksikan celana dalam yang mengintip keluar dari belakang kaus yang tersingkap benar-benar menggoda mata cowok biasa seperti saya.

Yang membuat saya deg-degan, beberapa celana dalam yang terlihat itu bukan celana dalam biasa. Setelah saya perhatikan agak lama, ternyata beberapa cewek itu memakai g-string! Omigod, kehebatan imajinasi manusia memang luar biasa. Hanya menyaksikan g-string saja, pikiran saya langsung mengembara ke mana-mana. Ya, ya, seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa melakukannya.

Di malam Minggu yang lain, kebetulan saya duduk berdekatan dengan lima orang cowok. Mereka terlihat ngobrol dengan seru. Hampir dapat dipastikan, obrolan itu lama-lama akan sampai pada topik cewek, dan dugaan saya memang benar. Dari tempat duduk, saya dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Dan saya terus menyimaknya, sambil menikmati rokok.

“Cewek yang asyik buat dijadiin pacar,” kata cowok pertama, “adalah cewek cantik yang bitchy.”

Cowok kedua menyahut, “Cantik dan bitchy tapi otaknya kosong juga ngebosenin.”

“Kalau gitu, yang cantik, bitchy, sekaligus cerdas,” ujar cowok ketiga.

“Tapi kayaknya sulit ya, nyari yang gitu?” tanya cowok keempat.

“Iya,” jawab cowok kedua. “Soalnya cewek yang kayak gitu biasanya udah punya pacar.”

“Kalau kita perhatiin,” ujar cowok ketiga, “rata-rata cewek teman kita yang udah punya pacar emang punya kombinasi itu—cantik dan bitchy, atau cerdas dan bitchy.”

“Kenapa ya, cowok-cowok sepertinya suka cewek yang kayak gitu?” tanya cowok pertama.

“Kayak gitu gimana?”

“Ya gitu, yang bitchy.”

Cowok keempat tertawa, “Tanyain aja pada diri sendiri, kenapa kita juga suka yang kayak gitu?”

Kemudian, cowok kelima yang dari tadi diam saja, berkata perlahan-lahan, “Tapi aku nggak suka cewek yang kayak gitu, kok.”

Teman-temannya memandang ke arah cowok kelima. “Trus, kamu sukanya yang gimana?” tanya cowok kedua.

Cowok kelima menjawab yakin, “Aku sukanya yang cantik, pintar, dan salihah.”

“Wow…!” seru teman-temannya.

“Tapi yang ada nakal-nakalnya dikit,” lanjut cowok kelima.

Teman-temannya ngakak berjamaah. Cowok kelima terlihat salah tingkah, karena merasa ditertawakan. Kemudian, dia menoleh ke arah saya, dan memergoki saya sedang mendengarkan percakapan mereka. Mungkin, untuk mencari dukungan, cowok itu kemudian menatap saya dan berkata, “Bener nggak, Bang?”

Mau tak mau saya harus menjawab, dan saya menunjukkan jempol sambil tersenyum sebagai tanda dukungan untuknya. Cantik, pintar, dan salihah—tapi ada nakal-nakalnya dikit. Well, sepertinya itu potret calon pacar yang ideal, batin saya. Ya, mungkin tipe cewek yang lembut dan alim, tapi mengenakan g-string.

....
....

Malam itu, ketika saya merayap melewati jalanan yang macet untuk pulang, angan saya menari. Hidup mungkin akan lebih indah jika malam Minggu dapat saya nikmati dengan seseorang yang disebutkan cowok kelima di kafe tadi. Tetapi, sesampai di rumah, ketika mendapati kesunyian kembali melingkupi, saya pun tahu hati saya ada di sini.