Saya bete tiap kali malam Minggu datang. Bukan, bukan karena jomblo dan
kemudian bete di malam Minggu karena tidak punya pacar. Yang membuat
saya bete adalah karena malam Minggu menghambat aktivitas rutin yang
biasa saya jalani.
Kadang pada malam tertentu disaat saya sedang malas makan dirumah, saya pasti keluar rumah untuk
mencari makan. Dalam hal itu, saya sering harus melewati Puri Indah.
Di malam-malam biasa, kawasan itu tidak terlalu ramai—wajar-wajar saja.
Tetapi, di malam Minggu, hampir dapat dipastikan ada segerombolan remaja
yang ngetem di sana—entah untuk kebut-kebutan, atau untuk hal lain.
Efeknya, jalanan di sekitar itu sering kali macet.
Tapi yang
macet bukan hanya kawasan sekitar Puri Indah. Dari tempat itu hingga
sampai di tempat tujuan, biasanya saya terus-menerus terjebak macet
karena beratus-ratus pasangan memenuhi jalanan untuk malam mingguan.
Sering kali saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa ya mereka harus
kencan di malam Minggu? Kenapa tidak memilih malam lain saja biar tidak
menimbulkan kemacetan di jalan?
Itu bukan hal menyenangkan bagi
saya. Pertama, saya benci macet. (Ketika menulis catatan ini, saya
memaklumi kalau mayoritas orang Jakarta rentan stres, karena macet
memang bikin stres). Kedua, waktu saya terbuang percuma. Kalau biasanya
saya hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di tempat tujuan,
maka macet menjadikan saya butuh waktu hingga beberapa jam.
Dan
kenyataan menjengkelkan itu harus saya alami seminggu sekali, setiap
malam Minggu. Akhirnya, karena dongkol setiap kali keluar malam Minggu
terjebak macet yang bikin bete, saya pun pernah memutuskan untuk tidak
akan keluar rumah setiap kali malam Minggu. Untuk memenuhi kebutuhan
makan, saya beli nasi goreng yang biasa lewat di depan rumah.
Semula,
solusi itu terasa bagus dan praktis. Ngapain capek dan bete terjebak
macet, tanpa harus keluar rumah pun saya bisa makan. Maka hal itu pun
berlangsung cukup lama. Tiap malam Minggu datang, saya akan tenang di
rumah, dan bisa menikmati makan malam dengan hati senang. Tetapi,
lama-lama, saya mulai bosan nasi goreng. Ini masalah lagi, karena—selain
penjual nasi goreng—tidak ada penjual nasi lain yang lewat di depan
rumah.
Semakin lama ditahan, saya juga semakin bete tiap kali
harus makan nasi goreng. Akhirnya, mau tidak mau, saya harus keluar
rumah lagi untuk makan malam, termasuk malam Minggu. Dan, yeah, terjebak
macet lagi. Macet, kau tahu, adalah godaan sempurna untuk misuh-misuh.
Tapi macet di jalanan, sebenarnya, hanyalah godaan awal yang menguji iman saya. Begitu sampai di Kafe Langganan tempat saya makan, ada godaan yang jauh lebih parah.
Di
malam-malam biasa, kafe ini tidak terlalu ramai—pengunjungnya sesuai
kapasitas, bahkan sering kali masih ada kursi yang kosong. Tapi di malam
Minggu, jumlah pengunjungnya membludak. Sebagian besar adalah mereka
yang sedang kencan, sementara yang lain adalah para lajang yang memang
ingin menikmati akhir pekan. Saya tidak termasuk kedua-duanya, karena
saya hanya cowok biasa yang memang sedang kelaparan.
Nah,
ramainya pengunjung kafe semacam itu juga menjadi godaan bagi saya.
Pertama, mau tak mau saya harus melihat pasangan-pasangan romantis yang
sedang berpegangan tangan. Oke, mungkin mereka norak. Ngapain juga
megang tangan pacar harus di kafe? Tapi tak peduli norak atau tidak,
saya harus mengakui kalau hal itu menggoda saya untuk… yeah, ingin
memegang tangan seseorang:)
Dan tentu saja saya tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang sama-sama cowok, karena maaf saja, saya bukan seorang homo.
Saya pun tentu tidak bisa memegang tangan pelayan kafe yang cewek,
karena pasti akan dianggap kurang ajar atau dituduh melakukan pelecehan.
Jadi, biasanya, saya akan makan di sana sambil merasakan hati yang
panas dingin.
Tapi godaan yang mengaduk-aduk hati saya bukan
hanya pasangan yang sedang berpegangan tangan. Seperti yang dibilang di
atas, pengunjung kafe selalu padat tiap kali malam Minggu. Dan biasanya
lebih “atraktif”. Sambil makan, mata saya akan tergoda saat melihat
cewek-cewek seksi memakai kaus ketat yang kebetulan lewat. Atau yang
memakai rok mini sedemikian mini, dan melangkah gemulai di dekat saya.
Seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa
melakukannya.
Pernah, di suatu malam Minggu, sekelompok cewek
duduk tepat di depan saya. Rata-rata mereka memakai kaus ketat. Selama
makan, saya nyaris tidak menikmati makanan di mulut karena pemandangan
di depan mata benar-benar menggoda. Entah cewek-cewek itu sadar atau
tidak, bagian belakang kaus mereka tersingkap sehingga memamerkan
punggung yang rata-rata putih mulus.
Dan saya duduk tepat di belakang mereka. (Terpujilah pelayan kafe yang menempatkan saya di sana!).
Tapi
yang membuat mata saya tergoda bukan hanya punggung yang mulus. Karena,
entah cewek-cewek itu sengaja atau tidak, tersingkapnya kaus itu juga
sekaligus memamerkan celana dalam mereka. Silakan bilang saya norak.
Tapi saya cowok biasa. Dan menyaksikan celana dalam yang mengintip
keluar dari belakang kaus yang tersingkap benar-benar menggoda mata
cowok biasa seperti saya.
Yang membuat saya deg-degan, beberapa
celana dalam yang terlihat itu bukan celana dalam biasa. Setelah saya
perhatikan agak lama, ternyata beberapa cewek itu memakai g-string!
Omigod, kehebatan imajinasi manusia memang luar biasa. Hanya menyaksikan
g-string saja, pikiran saya langsung mengembara ke mana-mana. Ya, ya,
seharusnya saya istighfar—tapi di saat-saat seperti itu saya sering lupa
melakukannya.
Di malam Minggu yang lain, kebetulan saya duduk
berdekatan dengan lima orang cowok. Mereka terlihat ngobrol dengan seru.
Hampir dapat dipastikan, obrolan itu lama-lama akan sampai pada topik
cewek, dan dugaan saya memang benar. Dari tempat duduk, saya dapat
mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Dan saya terus menyimaknya,
sambil menikmati rokok.
“Cewek yang asyik buat dijadiin pacar,” kata cowok pertama, “adalah cewek cantik yang bitchy.”
Cowok kedua menyahut, “Cantik dan bitchy tapi otaknya kosong juga ngebosenin.”
“Kalau gitu, yang cantik, bitchy, sekaligus cerdas,” ujar cowok ketiga.
“Tapi kayaknya sulit ya, nyari yang gitu?” tanya cowok keempat.
“Iya,” jawab cowok kedua. “Soalnya cewek yang kayak gitu biasanya udah punya pacar.”
“Kalau
kita perhatiin,” ujar cowok ketiga, “rata-rata cewek teman kita yang
udah punya pacar emang punya kombinasi itu—cantik dan bitchy, atau
cerdas dan bitchy.”
“Kenapa ya, cowok-cowok sepertinya suka cewek yang kayak gitu?” tanya cowok pertama.
“Kayak gitu gimana?”
“Ya gitu, yang bitchy.”
Cowok keempat tertawa, “Tanyain aja pada diri sendiri, kenapa kita juga suka yang kayak gitu?”
Kemudian, cowok kelima yang dari tadi diam saja, berkata perlahan-lahan, “Tapi aku nggak suka cewek yang kayak gitu, kok.”
Teman-temannya memandang ke arah cowok kelima. “Trus, kamu sukanya yang gimana?” tanya cowok kedua.
Cowok kelima menjawab yakin, “Aku sukanya yang cantik, pintar, dan salihah.”
“Wow…!” seru teman-temannya.
“Tapi yang ada nakal-nakalnya dikit,” lanjut cowok kelima.
Teman-temannya
ngakak berjamaah. Cowok kelima terlihat salah tingkah, karena merasa
ditertawakan. Kemudian, dia menoleh ke arah saya, dan memergoki saya
sedang mendengarkan percakapan mereka. Mungkin, untuk mencari dukungan,
cowok itu kemudian menatap saya dan berkata, “Bener nggak, Bang?”
Mau
tak mau saya harus menjawab, dan saya menunjukkan jempol sambil
tersenyum sebagai tanda dukungan untuknya. Cantik, pintar, dan
salihah—tapi ada nakal-nakalnya dikit. Well, sepertinya itu potret calon
pacar yang ideal, batin saya. Ya, mungkin tipe cewek yang lembut dan
alim, tapi mengenakan g-string.
....
....
Malam itu,
ketika saya merayap melewati jalanan yang macet untuk pulang, angan saya
menari. Hidup mungkin akan lebih indah jika malam Minggu dapat saya
nikmati dengan seseorang yang disebutkan cowok kelima di kafe tadi.
Tetapi, sesampai di rumah, ketika mendapati kesunyian kembali
melingkupi, saya pun tahu hati saya ada di sini.