2012-12-31

10 Buku Paling "WOW" yang Saya Baca Sepanjang 2012

Kita perlu bersyukur, karena kiamat tak terjadi pada tahun ini sebagaimana yang digembar-gemborkan segelintir bocah kurang kerjaan di Hollywood. Karena kiamat tak terjadi, dan kita masih diberi kesempatan hidup, kita pun masih dapat melakukan hal-hal menyenangkan di muka bumi, yang salah satunya membaca buku.

Ada cukup banyak buku bagus yang saya baca tahun ini—fiksi maupun nonfiksi—dan saya patut gembira karena tahun ini jumlah buku yang saya baca mengalami kenaikan. Jika tahun kemarin saya hanya mengkhatamkan 25 judul buku, tahun ini agak meningkat, menjadi 31 judul buku. Ini memang wujud “balas dendam” saya pada tahun kemarin yang mengalami penurunan dalam jumlah bacaan. Semoga tahun depan saya bisa lebih meningkatkannya lagi.

Well, seperti tahun kemarin, saya ingin kembali berbagi pengalaman atas buku-buku terbaik yang saya baca sepanjang tahun ini, siapa tahu bisa menjadi wawasan teman-teman yang ingin menemukan buku “tak dikenal namun mengagumkan”. Daftar berikut tidak saya maksudkan sebagai rekomendasi, namun sebagai apresiasi saya—yang tentu bisa subjektif—atas buku-buku yang saya anggap bagus.

Berikut ini—saya tulis secara alfabetis berdasarkan nama penulisnya—10 buku yang saya anggap terbaik dari 31 buku yang saya baca sepanjang 2012. Silakan disimak.


Charles Dickens: A Christmas Carol

Mencari buku ini, bagi saya, seperti melakukan perburuan harta karun. Saya sudah tahu kehebatan A Christmas Carol sejak bertahun-tahun lalu, dari ulasan-ulasan yang pernah saya baca, bahkan dari film produksi Disney yang mengangkat novel ini menjadi film menawan. Tetapi saya belum pernah membaca novelnya sama sekali. Karenanya, saya pun sampai keluyuran kesana kemari demi bisa mendapatkannya.

Setelah menemukannya, semua upaya yang saya lakukan dalam pencarian rasanya terbayar lunas. A Christmas Carol sangat sederhana, tapi sangat dalam dan mempesona. Tak heran, jika novel yang terbit pada 1843 ini disebut sebagai karya terbesar Charles Dickens. Meski sudah terbit lebih dari 1,5 abad yang lalu, novel ini masih relevan bersama waktu.

(Catatan: A Christmas Carol telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, namun penerjemahan dan editingnya tak bisa dibilang bagus. So, kalau ingin membaca novel ini, sebaiknya carilah yang edisi bahasa Inggris).


Ernest Jones: Dunia Freud

Bagi yang rutin membaca tulisan saya di blog, pasti tahu salah satu nama yang sering saya sebut. Ya, Sigmund Freud. Saya memang banyak mengadopsi pemikiran Freud dalam catatan-catatan saya, khususnya yang berhubungan dengan psikologi manusia. Kita sama-sama sepakat, Freud adalah pemikir besar, khususnya dalam bidang psikoanalisa.

Buku ini, yang merupakan terjemahan The Life and Work of Sigmund Freud, adalah biografi Freud yang tergolong lengkap. Isinya mencakup masa kanak-kanak Freud, hingga ia kuliah, menikah, pergolakan batin dan pemikiran-pemikirannya, sampai masa-masa keemasannya ketika melahirkan karyanya yang terbesar, The Interpretation of Dream.

Tidak sedikit orang yang sinis terhadap Freud. Bahkan ada yang cukup nekat memburuk-burukkan nama Freud dengan setumpuk tuduhan mengerikan. Tetapi, penilaian parsial kepada Freud benar-benar tak pernah adil jika kita tidak mengetahui latar belakang hidup Freud secara utuh. Di buku ini, kita akan menyaksikan Sigmund Freud bukan hanya tokoh besar dan pemikir yang gelisah. Ia juga pribadi yang rendah hati.


Friedrich Nietzsche: Zarathustra

Pertama kali mengenal Zarathustra, ketika saya kelas 2 SMA, bertahun-tahun lalu. Waktu itu, tanpa sengaja, saya menemukan sebuah buku yang luar biasa tebal di perpustakaan sekolah, dengan judul dan nama penulis yang aneh. Karena penasaran, saya pun meminjamnya, dan membacanya. Itulah kali pertama saya mengenal nama Friedrich Nietzsche, dan kali pertama saya membaca Zarathustra edisi lengkap.

Karena masih bocah (kelas 2 SMA), saya tidak terlalu paham ketika membaca buku itu, meski mengkhatamkannya. Tetapi, walau begitu, saya seperti diberitahu bahwa Friedrich Nietzsche adalah orang yang pemikirannya layak dibaca dan direnungkan. Kenyataannya memang benar. Ketika dewasa, saya tahu dialah satu-satunya orang yang berani berkata blak-blakan bahwa Tuhan sudah mati.

Nah, buku ini—Zarathustra yang saya baca tahun ini—adalah edisi ringkasan, yang jauh lebih tipis dibanding Zarathustra edisi lengkap yang saya baca sewaktu SMA. Buku ini seperti cuilan roti yang diambil dari sepotong roti besar yang sangat lezat. Karenanya, meski secuil, rasanya tetap sangat lezat, dan membikin penasaran serta ketagihan. Isinya sangat... sangat dalam, khas Nietzsche. Zarathustra, dalam bayangan saya, adalah tandingan karya agung Kahlil Gibran, The Prophet. Jika Gibran menulis dengan elegan, Nietzsche menulis dengan gahar.

Seusai mengkhatamkan Zarathustra, dan mencium sampulnya, diam-diam saya berdoa, “Tuhan, tolong ampuni dosa-dosa Nietzsche, kalau memang ada. Meski kadang kurang ajar, tapi dia sangat keren!”


Gilang Pratama: Cuci Otak NII

Gilang Pratama adalah salah satu korban perekrutan NII yang mengangankan membangun negara Islam di Indonesia. Setelah bertahun-tahun bergabung dengan organisasi itu—sehingga tahu seluk beluk NII seutuhnya—Gilang Pratama akhirnya menyadari bahwa organisasi yang mengatasnamakan Islam itu tak lebih dari organisasi mafia pencuci otak yang hanya menginginkan uang dan keuntungan dari para anggotanya.

Buku ini merupakan memoar dan pengakuan blak-blakan penulisnya tentang bagaimana ia direkrut sebagai anggota NII, aktif di dalamnya, hingga “karir”nya mencapai pangkat Juru Doktrin yang bertugas merekrut dan mencuci otak para calon anggota baru. Karenanya, subjudul buku ini adalah Pengakuan Mantan Juru Doktrin NII.

Gilang Pratama mengisahkan, ketertarikannya pada NII karena ingin belajar Islam secara mendalam, karena menyadari dirinya masih sangat awam dalam hal agama. Tetapi keinginan mulia itu disalahgunakan oleh NII yang merekrutnya, hingga ia kemudian terjebak dalam jaring-jaring organisasi underground yang berlimpah kejahatan, pemerasan, pemutarbalikan ajaran agama, bahkan sampai ancaman pembunuhan.

Buku ini tidak hanya memaparkan perjalanan penulisnya dalam organisasi NII, tetapi juga memaparkan bagaimana liciknya NII memutarbalikkan ajaran-ajaran agama demi kebutuhan dan keuntungannya sendiri. Siapa pun yang merasa ingin belajar Islam karena merasa dirinya masih awam, sebaiknya membaca buku ini, agar tidak terjebak dalam rayuan NII. Lebih penting lagi, agar tidak terjebak menjadi orang sok suci yang merasa paling benar sendiri.


Henry D. Aiken: Abad Ideologi

Abad Ideologi adalah album pemikiran bocah-bocah paling mempesona di dunia. Di buku ini, Henry David Aiken mempertemukan silang sengkarut dan perdebatan ideologis abad ke-19 antara Immanuel Kant, Johann Gottlieb Fichte, G.W.F. Hegel, Arthur Schopenhauer, Auguste Comte, John Stuart Mill, Herbert Spencer, Soren Kierkegaard, Ernst Mach, hingga Karl Marx dan Friedrich Nietzsche.

Dunia filsafat abad ke-19 adalah periode paling semarak, eksplosif, dan revolusioner, karena pada masa itu terjadi pembongkaran secara sistematis atas metode dan pandangan filsafat tradisional. Buku ini memaparkan pengaruh pemikiran bocah-bocah keren yang namanya disebut di atas, juga kecenderungan filosofis periode itu atas berbagai dilema filsafat yang kelak mengikutinya.

Henry Aiken menulis buku ini dengan arif dan inspiratif. Saya membacanya sambil melayang penuh orgasmik.


H. P. Blavatsky: The Key to Theosophy

Judul selengkapnya adalah The Key to Theosophy: A Clear Exposition, in the Form of Questions and Answer, of the Ethics, Science and Philosophy for the Study of which the Theosophical Society has been Founded.

H. P. Blavatsky—atau populer disapa Madame Blavatsky—adalah salah satu pemikir wanita paling berpengaruh abad ke-19, serta pendiri teosofi. Buku ini memuat tanya jawab dengan H. P. Blavatsky tentang teosofi dan pernak-perniknya, serta persoalan-persoalan mendalam seputar keyakinan manusia kepada Tuhan dan hal-hal gaib.

Sejujurnya, saya harus membaca buku ini perlahan-lahan agar dapat memahami sepenuhnya. Dan selama membaca, saya benar-benar kagum pada wawasan serta pengetahuan Madame Blavatsky. Wanita itu selalu dapat menjawab semua pertanyaan dengan keluwesan, serta cara menjawab yang elegan.

Buku ini tidak ditujukan untuk orang-orang yang merasa paling suci dan sok benar sendiri. The Key to Theosophy adalah buku yang menggelisahkan pikiran, perjalanan pencarian dari gelap menuju terang, dari kenaifan menuju pemahaman.


Ian F. McNeely & Lisa Wolverton:
Para Penjaga Ilmu Dari Alexandria Sampai Internet

Demetrius dari Phaleron (360 SM-280 SM) mungkin tidak terkenal. Tapi dia salah satu orang genius yang pernah dimiliki planet Bumi. Dan, seperti kebanyakan genius lain, Demetrius juga gila. Dia suka mengecat wajahnya seperti Joker dalam film Batman, suka mengecat rambutnya menjadi pirang, suka berselingkuh dengan istri orang, sekaligus menjalani kehidupan homoseksual. Luar biasa genius, juga luar biasa gila.

Tetapi “orang gila” itu memiliki peran penting dalam ilmu pengetahuan. Dialah yang mendirikan perpustakaan Alexandria, yang menjadi perpustakaan paling terkenal di dunia. Demetrius memulai karir akademisnya di Athena, dan menjadi salah satu murid di Lyceum. Lyceum adalah perguruan alam terbuka yang sangat mahsyur, yang didirikan Aristotle. Perguruan itu merupakan cikal bakal lembaga perguruan tinggi yang kita kenal sekarang.

Perjalanan ilmu pengetahuan dari masa lampau membutuhkan waktu berabad-abad hingga sampai di tangan kita hari ini. Dari catatan-catatan di papirus dan daun lontar, ilmu pengetahuan terkumpul di berbagai perpustakaan, tersimpan di biara-biara, dilembagakan berbagai universitas, dipeluk para aktivis republik surat, terkodifikasi dalam disiplin ilmu, dicuci di laboratorium, hingga kemudian tersebar di internet pada zaman kita, dan dapat diakses siapa pun.

Perjalanan yang panjang itu pun membutuhkan ribuan orang tekun di berbagai belahan dunia. Orang-orang tekun itulah yang merawat peradaban serta pengetahuan untuk terus diwariskan kepada generasi setelahnya—hingga sampai pada generasi kita. Tanpa mereka, mungkin hari ini kita tidak pernah tahu siapa Galileo, siapa Marie Curie, Newton, Darwin, hingga Einstein dan Hawking.

Buku ini memaparkan perjalanan panjang ilmu pengetahuan dari masa Alexandria sampai ke zaman kita, serta siapa saja yang berperan di dalamnya. Bagi saya, buku ini semacam “biografi” ilmu pengetahuan. Materi serta cara penyampaian dalam buku ini tergolong berat, tetapi—saya yakin—para kutu buku akan sangat menikmatinya.


John Farndon: 50 Gagasan Luar Biasa

Menemukan buku yang dalam serta penuh wawasan, rasanya seperti menemukan pasangan yang sempurna—elegan, dan tidak membosankan. Buku ini memenuhi kriteria itu. Merupakan terjemahan The World’s Greates Idea, judul lengkap buku ini adalah 50 Gagasan Luar Biasa yang Mengubah Dunia.

Sebagaimana judulnya, buku ini memaparkan ide-ide yang dianggap memiliki pengaruh besar dalam kehidupan dan peradaban manusia. John Farndon, dibantu sekelompok juri lain, mengumpulkan dan menyusun peringkat atas 50 ide besar yang dianggap paling berpengaruh dalam peradaban—dari yang remeh temeh seperti selokan dan roda, dari hukum-hukum fisika sampai matematika, dari marxisme sampai pembebasan budak.

Masing-masing item itu diuraikan dengan mengasyikkan, penuh wawasan, dengan bahasa yang mudah dipahami. Hasilnya, berdasarkan penilaian para juri, ide terbesar yang menempati peringkat teratas karena dianggap paling berpengaruh di dunia, adalah internet. Nomor dua, atau satu peringkat di bawah internet, adalah menulis. Sedangkan peringkat ke-50 alias paling bawah, adalah... perkawinan!

Oh, well, sepertinya nyokap saya perlu membaca buku ini.


Muhidin M. Dahlan, Mujib Hermani (ed.): Pleidoi Sastra

Judul selengkapnya adalah Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin. Ini buku terbitan lama (Januari 2004), namun baru saya temukan.

Kipandjikusmin adalah salah satu penulis Indonesia yang misterius. Namanya disebut banyak orang, karyanya dibahas para tokoh terkenal, kontroversi mengenai dirinya menjadi berita nasional, namun sosoknya tak pernah terlihat. Pada 8 Agustus 1968, majalah Sastra yang dipimpin H.B. Jassin memuat salah satu cerpen karya Kipandjikusmin, berjudul “Langit Makin Mendung”. Hasilnya adalah kontroversi sastra terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Cerpen itu dianggap menghina agama, majalah Sastra yang memuatnya kemudian dibredel, dan H.B. Jassin—selaku penanggung jawab pemuatan cerpen tersebut—diajukan ke pengadilan. Sementara itu, tak terhitung banyaknya tokoh terkenal—para sastrawan maupun nonsastrawan—yang berdebat dan berpolemik di media massa seputar cerpen “Langit Makin Mendung”.

Buku ini merekam semua peristiwa itu. Di halaman awal, buku ini memuat cerpen-cerpen karya Kipandjikusmin, termasuk “Langit Makin Mendung”, lalu dilanjutkan wacana dan pendapat serta polemik para tokoh atas cerpen itu. Beberapa tokoh terkenal yang ikut “berperang” dalam polemik itu di antaranya A.A. Navis, Goenawan Mohamad, Sju’bah Asa, Buya Hamka, Taufiq Ismail, Bahrum Rangkuti, Wiratmo Sukito, hingga Yahya Ismail (penulis dari Malaysia).

Di halaman akhir, buku ini memuat pleidoi H.B. Jassin untuk pembelaan cerpen itu, yang dibacakan di depan hakim di pengadilan pada 2 September 1970. Hingga saya menulis catatan ini, siapa sebenarnya Kipandjikusmin belum terungkap. Terlepas dari kontroversinya, buku ini penuh wawasan, khususnya seputar dunia sastra Indonesia.


Peter Tompkinn & Christopher Bird: Keajaiban Tumbuhan

Edisi bahasa Inggris buku ini telah menggemparkan ilmuwan dan para akademisi di berbagai belahan dunia. Meski judulnya terdengar ringan, namun isinya benar-benar memukau. Berisi hasil-hasil penelitian mengagumkan seputar dunia tumbuhan, yang belum pernah dibayangkan kebanyakan manusia.

Bertahun-tahun lalu, Charles Darwin telah menyatakan bahwa tumbuhan memiliki inteligensi. Keyakinan itu kemudian ditindaklanjuti Luther Burbank dan para ilmuwan lain, sampai kemudian dua bocah tekun di zaman kita—Peter Tompkinn dan Christopher Bird—melakukan penelitian komprehensif dengan peralatan yang lebih modern, hingga mampu menunjukkan rahasia-rahasia tumbuhan yang sebelumnya tak terbayangkan.

Buku ini tergolong berat. Namun, seperti umumnya buku berat lain, Keajaiban Tumbuhan memberikan kenikmatan luar biasa selama membacanya. Buku ini pun akan mengubah pandangan kita dalam berinteraksi dengan tumbuhan, sekaligus mulai memahami bagaimana alam semesta menyembunyikan rahasia-rahasianya yang menakjubkan.

Secara keseluruhan, buku ini benar-benar hebat. Setiap bab dan halamannya akan membuat kita terpesona, dan memberikan kenikmatan tersendiri. Menyetubuhi buku ini, bagi saya, seperti menikmati ledakan orgasme tanpa henti. Terpujilah Peter Tompkinn dan Christopher Bird untuk karya agung mereka dalam buku ini.


Sampai jumpa di daftar 10 Buku Paling "WOW" tahun depan!

2012-12-21

Kenangan Yang Hilang

Seorang bocah menangis sambil mengelus-elus luka lecet di kakinya. Luka lecet itu tampaknya sudah mengering, tak lama lagi pasti akan sembuh, dan bekasnya akan hilang. Tapi bocah itu terlihat menangis sedih.

Seorang tetangga yang menyaksikan itu menegur dengan heran, “Kamu ngapain, kok nangis gitu?”

“Aku menangisi lecet ini,” sahut si bocah dengan lugu.

“Jadi, kenapa kakimu lecet?”

Si bocah menceritakan, “Seminggu lalu, aku kan jalan-jalan pakai sandal. Karena nggak terbiasa, jadinya kakiku lecet.”

Si tetangga memperhatikan luka lecet itu. “Tapi… lecet di kakimu kan udah mau sembuh, tuh. Kenapa kamu nangis?”

“Justru itu!” jerit si bocah. “Aku nangis, karena lecet ini udah mau sembuh!”

“Lho?” Si tetangga bengong. “Kamu nangis justru karena lecetmu mau sembuh? Kok bisa?”

“Iya!” jawab si bocah sambil mau nangis lagi. “Lecet di kaki ini terjadi waktu aku jalan-jalan sama orang yang kusayangi. Nggak lama lagi lecet ini akan sembuh dan bekasnya akan hilang. Itu bikin aku sedih, karena nggak punya lagi kenangan dengan orang yang aku sayang.” Kemudian, sambil mengelus-elus luka lecetnya, bocah itu berkata perlahan-lahan, “Padahal cuma lecet ini yang bikin aku ngerasa punya kenangan sama dia. Fu… fu… fu…”

2012-12-14

Mimpiin "Bulan" Di Siang Bolong

Dalam tidurku yang gelisah di suatu siang, aku bermimpi tentang Bulan. Rasanya, dalam mimpi itu, kami duduk berdekatan, dan Bulan mewujud sesosok wanita. Dengan keindahan sempurna. Aku tak tahu di tempat mana kami bertemu, tapi aku masih ingat di sana hanya ada keheningan dan kesunyian. Bahkan angin pun tak ada. Dan kami bercakap-cakap dengan berbisik, namun saling mendengar dengan jelas.
Dalam mimpi itu, aku masih ingat, aku berkata kepadanya, “Mungkin aku terlalu naif. Tapi aku sama sekali tak menyangka kau seorang wanita.”

Bulan tersenyum.

 

Untuk sesaat, aku bingung mau mengatakan apa lagi. Jadi kuedarkan pandanganku ke sekeliling, dan mendapati tempat yang luar biasa hening… luar biasa sunyi. Itu tempat paling hening yang pernah kusaksikan, keadaan paling sunyi yang pernah kurasakan. Jadi itulah yang kemudian kukatakan kepadanya, “Tempat ini sangat hening.”
Sekali lagi Bulan tersenyum. Dan menyahut, “Kuharap kau suka.”

“Aku suka sekali,” jawabku jujur. “Aku belum pernah merasakan hening yang lebih damai dari tempat ini. Well, bagaimana rasanya tinggal di sini?”

“Bagiku menyenangkan.”

“Aku bisa membayangkannya. Sudah berapa lama kau di sini?”

“Kau mempertanyakan relativitas waktu,” jawab Bulan. “Mungkin kau lupa, di sini tidak ada jam, hari, tanggal, tahun, atau hitung-hitungan waktu seperti di tempatmu.”

Aku terdiam sesaat mendengar jawaban itu. Kemudian aku bertanya, “Kalau boleh tahu, apakah kau tidak kesepian? Maksudku, well… kau tinggal sendirian di sini, tanpa ada siapa pun yang bisa diajak bicara. Kau tak pernah terpikir untuk bergabung dengan kehidupan manusia di Bumi? Yeah, maksudku, sebagai manusia, aku tetap merasa butuh berinteraksi dengan sesama, meski aku juga mencintai keheningan. Memiliki teman bicara, atau semacamnya.”

Kali ini Bulan yang terdiam sesaat. Lalu, dengan suara lirih ia berkata, “Berabad-abad yang lalu, sebenarnya, aku pernah turun ke Bumi, ke tempatmu para manusia.”

Aku terkejut. “Sungguh?”

“Ya.” Bulan mengangguk. “Waktu itu, aku juga sempat terpikir seperti yang baru kaukatakan. Mungkin sangat menyenangkan jika aku turun ke Bumi, dan bisa bercakap-cakap dengan manusia. Jadi aku pun meninggalkan tempat ini, dan turun ke sana. Tetapi, kemudian, keberadaanku di Bumi waktu itu menjadi kesalahan terbesar yang pernah kulakukan.”

“Apa yang terjadi?”

 

Hening menyelimuti kami sesaat, karena Bulan terdiam. Menundukkan wajah. Aku menunggu. Bahkan jika harus menunggu seabad pun aku tak peduli, pikirku waktu itu.
Tapi aku tak perlu menunggu sampai satu abad, karena Bulan kembali menatapku, dan berkata perlahan-lahan, “Di Bumi, aku terkejut mendapati banyaknya kejahatan, nafsu, iri hati, kedengkian, serta kemunafikan. Selain itu, yang paling membuatku risih—dan yang membuatku meninggalkan Bumi—ada banyak lelaki yang tergila-gila kepadaku. Itu… itu sangat menyusahkanku, kalau kau tahu maksudku.”

“Kau sangat menawan, wajar kalau mereka begitu.”

“Aku tahu,” ujar Bulan tanpa nada angkuh, “dan aku bisa memahami kenyataan itu. Tetapi, ada satu lelaki yang sangat… oh, bagaimana aku harus menyatakannya? Maksudku, dia sangat… sangat keterlaluan.”

Aku benar-benar penasaran sekarang. “Apa yang dilakukannya?”

“Beberapa lelaki yang mendekatiku di Bumi melakukannya secara wajar dan biasa—seperti umumnya interaksi manusia lelaki dan wanita. Tetapi lelaki yang satu itu sangat… sangat keterlaluan. Sejak mengenalku, dia terus mengikutiku ke mana pun aku melangkah, menuju ke mana pun aku pergi, dan tak pernah berhenti menggangguku. Kau tahu bagaimana tidak nyamannya keadaan seperti itu.”

Aku mengangguk.

“Dan dia mengirimkan banyak puisi cinta,” lanjut Bulan.

Aku menyahut sambil mencoba bercanda, “Kedengarannya romantis.”

“Tidak, jika kau melihat kisahnya. Pada waktu itu, ada banyak lelaki yang juga mendekatiku, dan mereka juga mengirimiku banyak puisi cinta. Puisi-puisi mereka sangat indah, dengan kata-kata yang sangat tertata, halus, lembut, dan menyentuh. Tetapi aku tahu tak mungkin membalas cinta satu pun dari mereka, karena aku tidak ditakdirkan menikah. Nah, lelaki ini—lelaki yang sangat keterlaluan tadi—mengirimkan banyak puisi cinta, namun puisinya paling buruk di antara lainnya.”

Aku masih mendengarkan.

“Dan dia tak pernah berhenti mengirimkan puisi-puisinya yang buruk itu,” lanjut Bulan. “Seiring dengan itu, dia terus mengikuti langkahku, ke mana pun aku pergi. Yang paling mengganggu, dia juga tak pernah berhenti menanyakan bagaimana pendapatku tentang puisi-puisinya. Bagaimana cara manusia mendefinisikan sikap dan perilaku semacam itu? Tidak tahu malu?”

“Like that.”

“Dia tidak tahu malu, dan sejujurnya aku sangat malu dengan perilakunya,” tutur Bulan dengan wajah sedih. “Mungkin dia lelaki yang baik. Tetapi sikap dan perilakunya, serta agresivitasnya yang keterlaluan membuatku memilih untuk menjauhinya.”

“Dan dia juga menjauh darimu?”

“Sayangnya tidak. Seperti yang kubilang tadi, dia terus menanyakan bagaimana pendapatku tentang puisi-puisinya yang terus ia kirimkan untukku. Bagaimana aku harus menjawabnya? Aku menerima banyak puisi lain yang jauh lebih indah dari puisinya, yang dikirimkan para lelaki yang tahu sopan santun. Dan para lelaki yang sopan itu tidak pernah menanyakan bagaimana pendapatku tentang puisi mereka. Tetapi lelaki yang satu itu… oh, dia benar-benar keterlaluan. Puisinya sangat buruk, tetapi dia tanpa malu terus menanyakan bagaimana pendapatku.”

“Jadi, apa yang kemudian kaulakukan?”

 

Bulan kembali menunduk. Terdiam beberapa saat. Dan aku menunggu. Lalu ia kembali mengangkat wajahnya, menatapku, dan berkata perlahan-lahan seperti tadi. “Manusia memiliki pepatah bahwa kesabaran kadang ada batasnya. Begitu pun aku pada waktu itu. Menghadapi lelaki itu, kesabaranku rasanya terkuras. Semula, aku tidak mau memberikan pendapat apa pun atas puisi-puisinya, karena aku tidak mau menyinggung perasaannya. Tetapi, karena dia terus memaksa, dan kesabaranku telah habis, akhirnya aku pun jujur menjawab, dan menyatakan kepadanya bahwa puisinya sangat buruk.”
“Dan…?”

“Dan dia marah-marah,” jawab Bulan dengan wajah terluka. “Dia marah-marah karena aku menyatakan jawaban yang jujur kepadanya. Mungkin aku bisa membohonginya, dan menyatakan bahwa puisinya sangat indah. Tetapi, kupikir, itu tidak akan membuatnya belajar, malah sebaliknya akan membuatnya besar kepala. Lagi pula, bukankah dia sendiri yang meminta dan memaksaku memberikan pendapat atas puisinya? Tanpa malu, dia terus memaksaku memberikan pendapat atas puisinya. Dan ketika pendapat yang jujur itu kukatakan, dia tidak terima.”

 

Mendengar penjelasan itu, aku bisa memahami mengapa wajah Bulan tampak sangat sedih. Dia pasti ada di antara dilema. Dia bisa saja memberikan jawaban bohong kepada lelaki itu, dan menyatakan bahwa puisinya sangat indah. Tetapi, Bulan pasti khawatir pujian itu justru akan menjerumuskan si lelaki ke dalam kepongahan, sekaligus khawatir si lelaki menganggap pernyataan itu sebagai penerimaan Bulan pada dirinya.
 

Dengan memberikan jawaban jujur kepada si lelaki, dan menyatakan bahwa puisinya memang buruk, Bulan tentu berharap si lelaki mau menyadari bahwa dia masih harus banyak belajar, dan jawaban itu pun pasti dimaksudkan agar si lelaki menjauh dan tidak mengganggunya lagi. Oh, well, kau tidak bisa merayu wanita dengan puisi yang buruk, dan berharap dia jatuh cinta kepadamu.
“Apa yang kemudian terjadi setelah itu?” tanyaku.

Bulan menjawab, “Seperti yang kubilang tadi, lelaki itu tidak terima dan marah-marah. Karena mungkin dia memang tidak tahu malu, dia mengumbar kemarahannya di mana-mana. Dia mencaci-maki aku, memburuk-burukkan namaku, dan menimpakan setumpuk tuduhan tak masuk akal, seolah-olah aku sangat rendah dan hina.”

Kemudian, dengan nada suara agak meninggi, Bulan melanjutkan, “Dia sendiri yang mendekatiku. Dia sendiri yang mati-matian mengirimkan puisi-puisi itu untukku. Dia sendiri pula yang terus memaksaku memberikan pendapat atas puisi-puisinya. Tetapi, ketika keinginannya kukabulkan, dia tidak terima. Itu seperti kau berdiri di hadapan cermin, dan cermin memantulkan bayangan yang jujur, tapi kemudian kau tidak terima ketika menyaksikan bayanganmu sendiri, lalu kaupecahkan cermin itu. Alangkah anehnya manusia!”

 

Melihat kedukaan di wajahnya, rasanya aku ingin menggenggam tangannya yang halus. Tapi aku ragu. Jadi, aku pun hanya diam, dan menatap wajahnya, menunggu dia kembali berbicara.
“Kenyataan itulah yang kemudian membuatku trauma,” lanjut Bulan. “Aku menyesal telah turun ke Bumi. Di sana aku memang menemukan teman, dan bisa berbicara satu sama lain. Tetapi, di sana pula aku terluka. Sejak itu, aku pun kembali ke tempatku semula. Di sini memang tidak ada apa pun atau siapa pun, selain hening dan sunyi. Di sini aku memang sendirian. Tetapi di sini aku tidak memiliki masalah apa pun. Di sini aku bebas menjadi diriku sendiri, menikmati kesendirian yang memang menjadi kesenanganku. Kupikir, kau pun tahu perbedaan antara kesepian dan kesendirian.”

“Aku tahu,” jawabku. “Kesendirian adalah kondisi seorang diri yang kita inginkan. Kesepian adalah kondisi terasing yang tidak kita harapkan.Kau bisa sendirian tanpa kesepian, karena kesendirian memang bukan kesepian.”

Bulan tersenyum. “Aku senang ada yang memahamiku.”

 

Aku membalas senyumnya. Pada waktu itu, aku bermaksud ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tapi kemudian aku terbangun dari tidur. Dan mimpi itu pun selesai sampai di sana

2012-12-12

Twilight...???Apaan sihh???Aneh!!!

Satu perempuan. Dicintai dua lelaki.
Lelaki pertama jelmaan vampir.

Lelaki kedua serigala jejadian.

Cinta selalu tahu menemukan kisah.

….
….

Yang paling aneh sekali pun.

2012-12-10

Bokep Dan Rahasia Alam Semesta (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

Dalam tataran pemikiran yang lazim, nafsu seks adalah modal manusia untuk tertarik pada lawan jenis, saling jatuh cinta, untuk kemudian berpasangan dan berketurunan. Karena itu, nafsu seks yang besar bukan masalah bagi orang dewasa yang telah matang jiwa raga, serta telah siap untuk menikah, sehingga bisa menyalurkan nafsu seks pada pasangannya. Tetapi, sekali lagi, kita terbentur pada pertanyaan, “Mengapa nafsu seks yang besar justru ada di tangan remaja?”

Para remaja, kita sama-sama tahu, adalah manusia yang belum matang. Mereka masih labil, belum bisa bersikap dan berbuat bijaksana, bahkan belum siap untuk menikah dan memiliki pasangan. Kenapa mereka dianugerahi nafsu seks yang sedemikian besar sekaligus kemampuan untuk melakukannya? Untuk apa, atau apa manfaatnya, kemampuan serta nafsu seks itu bagi remaja?

Saya kerap kali membayangkan. Jika para remaja tidak dianugerahi nafsu seks yang begitu besar, maka semua kerusakan yang terjadi di dunia remaja dapat dihilangkan, atau setidaknya ditekan. Penjualan film bokep, pembuatan video porno amatir, hingga kenakalan-kenakalan lain yang biasa terjadi di dunia remaja, semuanya hampir bisa dijawab karena dilatarbelakangi nafsu seks mereka. Bahkan, saya curiga, sekian banyak aktivitas tawuran antara remaja juga dilatarbelakangi libido mereka yang masih menggelegak.

Sigmund Freud bahkan menyatakan semua aktivitas yang dilakukan manusia didasari oleh libido. Libido, yang dimaksud Freud, tentu nafsu seks. Dan saya pun sepakat dengannya, bahwa film-film bokep, aktivitas pacaran, sampai keasyikan telanjang dan ngomongin hal-hal berbau seks, didasari oleh libido yang kita miliki. Tetapi, rupanya Freud telah memikirkan hal itu secara lebih mendalam. Ia menyebut “semua aktivitas”. Artinya, bagi Freud, segala macam aktivitas manusia—dari bangun tidur sampai mau tidur lagi—didasari oleh libido.

Pernyataan Freud itu pernah membuat saya tidak bisa tidur. Freud adalah salah satu pemikir—khususnya dalam bidang psikoanalisa—paling hebat yang pernah dimiliki planet ini. Karenanya, statemen yang pernah keluar dari mulutnya, atau yang pernah ditulisnya, tentu bukan statemen main-main. Dan jika Freud menyatakan “semua aktivitas” manusia didasari oleh libido, maka tentunya Freud memiliki dasar bagi pernyataan itu. Tapi apa dasarnya…?

Pencarian saya untuk pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian membawa saya pada sesuatu yang disebut “transmutasi seks” (sex transmutation). Dan, sejauh ini, transmutasi seks itulah satu-satunya jawaban yang saya anggap paling masuk akal untuk menjawab alasan mengapa alam semesta menganugerahi nafsu seks yang besar kepada manusia, khususnya para remaja.

Transmutasi adalah “perubahan atau pemindahan suatu unsur atau suatu bentuk energi, menjadi unsur lainnya”. So, transmutasi seks adalah pengalihan energi seks untuk mewujudkan energi lainnya.

Energi seks adalah energi yang besar. Ia laksana air yang mengalir deras. Jika aliran itu dibiarkan, ia akan mengalir ke mana-mana. Jika dibendung, aliran air itu mungkin akan berhenti sesaat, tetapi kemudian pada akhirnya akan membludak. Satu-satunya cara terbaik untuk menangani aliran air deras itu adalah mengubahnya menjadi energi. Misalnya menjadikannya energi listrik bertenaga air.

Nah, transmutasi seks tak jauh beda dengan itu. Jika nafsu seks dibiarkan, ia akan mengalir kemana-mana—ke bokep, ke pacaran, ke video porno, dan lain-lain. Jika dibendung, nafsu seks mungkin akan tertahan sebentar, tetapi pada akhirnya ia akan meledak dan membludak keluar. Satu-satunya cara sehat menangani nafsu seks adalah mentransmutasikannya ke hal-hal lain.

Napoleon Hill, dalam Think and Grow Rich, menulis deskripsi penting mengenai hal tesebut. “Hasrat keinginan seksual,” tulis Napoleon Hill, “adalah yang paling kuat di antara semua keinginan manusia. Jika terdorong oleh keinginan ini, manusia bisa mengembangkan imajinasi yang paling tajam, keberanian, kekuatan kemauan, ketekunan, dan semua kemampuan kreatif yang tidak mereka ketahui pada saat-saat lainnya. Sedemikian kuat dan berpengaruhnya keinginan untuk kontak seksual, sehingga manusia begitu berani mempertaruhkan jiwa dan reputasi untuk memenuhinya. Kalau dikendalikan dan diarahkan kembali sepanjang jalur yang lain, kekuatan yang memberikan motivasi ini menjaga semua atribut ketajaman imajinasi, keberanian, dan sebagainya, yang bisa digunakan sebagai daya kreatif yang kuat dalam kesusastraan, seni, atau dalam profesi lainnya, yang tentu saja termasuk pengumpulan kekayaan.”

Ketika menulis buku Think and Grow Rich, Napoleon Hill mempelajari kehidupan ribuan orang kaya dan berhasil di dunia ini secara langsung—melalui observasi dan wawancara-wawancara. Dan ia menemukan, sebagaimana yang ditulisnya dalam buku tersebut, “Orang-orang yang telah mencapai prestasi tertinggi adalah mereka yang hakikat seksualnya telah berkembang begitu tinggi, yaitu orang yang telah mempelajari seni transmutasi seks.”

Di dalam bukunya tersebut, Napoleon Hill bahkan memberikan contoh siapa saja tokoh-tokoh hebat dunia ini yang berhasil mencapai prestasi gemilang karena kemampuan mereka melakukan transmutasi seks. Dalam penelitian Hill, beberapa tokoh itu adalah Thomas Alva Edison, Thomas Jefferson, George Washington, William Shakespeare, Ralph Waldo Emerson, Abraham Lincoln, Enrico Caruso, Woodrow Wilson, Elbert Hubbard, hingga Andrew Jackson. (Jika belum kenal nama-nama itu, silakan lacak mereka di Google atau Wikipedia).

Bahkan—kali ini menurut Sigmund Freud—kemampuan hebat yang dimiliki Leonardo DaVinci, sehingga ia dikenal sebagai manusia paling genius di muka bumi, juga karena didasari kemampuan Leonardo dalam mengubah nafsu seksnya menjadi energi untuk berpikir.

Jadi, mengapa nafsu seks yang amat besar dianugerahkan kepada para remaja? Sekarang saya mulai melihat kerangka yang dirahasiakan alam semesta.

Jika nafsu seks yang besar diberikan pada orang dewasa atau orang-orang tua, hal itu sudah tak hebat lagi, karena mereka bisa menyalurkannya dengan mudah pada pasangannya. Nafsu seks yang amat besar sengaja dianugerahkan kepada para remaja, agar mereka mencari cara menyalurkan nafsu itu kepada hal lain yang tak ada hubungannya dengan seks. Jika mereka berhasil menemukannya, mereka akan mencapai kehebatan dan kebesaran tak terbayangkan.

Seks adalah energi terbesar yang dimiliki manusia. Dan sekarang saya tahu, bahwa energi itu tidak dianugerahkan alam semesta kepada manusia untuk urusan kawin semata-mata, tetapi juga ditujukan untuk sesuatu yang tidak kalah mulia, yaitu untuk mencapai takdir rahasia yang disembunyikan dari pemiliknya, untuk menggapai puncak tertinggi yang dapat diraih seorang manusia.

Bokep Dan Rahasia Alam Semesta (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.


Pertanyaannya, sekali lagi, mengapa alam semesta meletakkan sebuah granat aktif di tangan seorang bayi? Mengapa remaja yang masih sangat labil justru dikaruniai kemampuan hebat dalam nafsu dan ereksi?

Remember, seks adalah godaan terbesar manusia. Ketika seseorang sedang bernafsu—tak peduli sebesar apa pun—dia tidak akan mampu melakukannya jika organ tubuhnya (lebih khusus lagi; organ seksnya) tidak mendukung. Contoh paling mudah, orang yang menderita impotensi atau disfungsi ereksi. Dalam kasus semacam itu—yang biasanya dialami orang dewasa atau orang tua—seseorang tidak bisa melakukan aktivitas seks karena organ seksnya tidak berfungsi.

Kenyataan itu berbeda dengan yang terjadi pada remaja. Pada remaja, mereka memiliki nafsu seks yang menyala-nyala, sekaligus kemampuan melakukannya, karena organ seks mereka juga mudah membara. Artinya, godaan seks jauh lebih besar dialami remaja dibanding pada orang dewasa atau orang tua. Yang merisaukan, dalam hal ini, kaum remaja masih sangat labil. Ketika nafsu seksnya menyala dan organ seks mereka membara, kira-kira apa atau bagaimana yang mereka lakukan?

Jawabannya pun segera tergambar jelas di depan mata kita—dari aktivitas pacaran, nonton bokep, sampai memposting foto-foto telanjang. Dan dari situ, kita kembali berhadapan dengan pertanyaan penting, “Mengapa alam semesta melakukan kekeliruan semacam itu?”

Seperti yang telah disinggung di atas, makalah-makalah kedokteran dengan jelas menyebutkan bahwa tingkat ereksi seorang pria mencapai tingkat tertinggi ketika masih remaja, dan akan menurun seiring bertambahnya usia. Bukankah, jika dipikirkan secara mendalam, kenyataan itu sebenarnya terbalik sekaligus berbahaya?

Kemampuan ereksi yang hebat mungkin tidak jadi masalah jika dimiliki orang dewasa yang telah menikah atau memiliki pasangan, karena nafsu seks bisa disalurkan pada pasangannya. Tapi kenapa justru nafsu seks yang amat besar semacam itu dimiliki kaum remaja, yang tentunya belum cukup umur dan belum memiliki pasangan? Tidakkah alam semesta memikirkan kenyataan itu…?

Di antara banyak hal lain yang saya pikirkan, kenyataan itu menjadi salah satu hal yang pernah saya pikirkan hingga bertahun-tahun. Selama bertahun-tahun, saya mencari jawaban yang sekiranya masuk akal, mengapa alam semesta sampai melakukan kekeliruan yang amat berbahaya dalam kehidupan umat manusia. Mengapa nafsu dan kemampuan seks yang besar justru dianugerahkan kepada para remaja?

Jika kita menggunakan perspektif biologi, kita akan diberitahu bahwa kemampuan fisik manusia memang akan mencapai tingkatnya yang tertinggi ketika ia masih muda. Begitu pula dalam kemampuan ereksi dan nafsu seks. Itu tak ubahnya seperti motor atau mobil. Ketika kita membeli kendaraan baru, kendaraan itu butuh waktu untuk mencapai tingkat terbaiknya. Beberapa bulan setelah dikendarai, kendaraan baru itu pun akan semakin lancar dan semakin nyaman digunakan. Tetapi, setelah bertahun-tahun dipakai, kendaraan yang semula hebat itu akan mulai aus. Begitu pula tubuh manusia.

Jika kita menggunakan perspektif medis, penjelasannya juga tak jauh beda. Tubuh manusia tidak selamanya fit. Di waktu-waktu tertentu, kita akan mengalami lelah dan jatuh sakit, dan kita pun membutuhkan obat, yang biasanya berbentuk zat kimia. Usia yang semakin menua—ditambah menumpuknya zat kimia di tubuh kita—mau tak mau akan mempengaruhi tingkat kemampuan dan kekuatan yang kita miliki. Ketika usia semakin bertambah, kemampuan dan kekuatan kita akan menurun.

Dua penjelasan itu tentu saja logis dan masuk akal. Tapi tetap belum mampu menjawab pertanyaan di atas. Sekali lagi, nafsu seks yang amat besar pada remaja sama berbahayanya dengan granat aktif di tangan seorang bayi. Tetapi kenapa justru kenyataan semacam itu yang terjadi?

Lanjut ke sini.

Bokep Dan Rahasia Alam Semesta (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.



Berdasarkan kenyataan itu, “wajar” pula kalau aktivitas pacaran atau bahkan seks bebas paling banyak dilakukan para remaja, karena pada masa itu mereka sedang berada dalam tahap “paling panas”, secara biologis maupun psikologis. Aktivitas pacaran—terlepas bagaimana kita mendefinisikannya—banyak dijadikan sebagai semacam “penyaluran” nafsu yang meledak-ledak. Sekali lagi, saya tidak sedang bicara moral—saya sedang bicara fakta.
 

Ketertarikan pada lawan jenis secara menggebu-gebu, aktivitas pacaran, hingga kecenderungan terhadap film bokep, adalah sedikit di antara “hal-hal panas” yang bisa dikatakan dekat dengan kehidupan remaja. Bahkan, ketika film bokep dianggap “membosankan”, sebagian remaja bikin film bokep sendiri secara amatiran. Menurut Sonny Set, film bokep amatiran semacam itu jumlahnya telah mencapai ribuan.
Namun itu belum semuanya. “Panas”nya dunia remaja di era sekarang juga telah mendapatkan fasilitas-fasilitas hebat yang tidak pernah dikenal remaja-remaja zaman dulu. Di masa sekarang, anak-anak remaja bisa melampiaskan nafsunya dengan berbagai sarana yang ada—dari kamera ponsel untuk membuat bokep amatir, film-flm porno yang bebas diunduh di internet, hingga kebebasan di situs jejaring sosial.

Siapa pun yang suka keluyuran di Facebook atau Twitter, pasti tahu banyaknya group atau orang per orang yang hobi memamerkan foto-foto telanjangnya. Di Facebook, ada group-group tertutup yang masing-masing anggotanya bebas memposting foto-foto telanjang mereka. Di Twitter, tak terhitung banyaknya orang—lelaki maupun perempuan—yang enjoy memposting foto-foto panasnya sebagai sarana berkenalan dengan sesama pecinta ketelanjangan.
(Tolong tidak usah repot-repot menghubungi saya untuk menanyakan alamat group atau akun Twitter tersebut, karena saya tidak akan menjawabnya).
 

Ketika menyaksikan semua itu, saya tertegun. Menemukan website yang menjual bokep dalam harddisk satu tera saja sudah membuat saya takjub. Tapi “ketakjuban” saya ketika menyaksikan orang-orang asyik telanjang di Facebook atau Twitter benar-benar tak pernah saya bayangkan. Kita tentu bisa mengajukan pertanyaan klise, “Mengapa mereka bisa segila itu?” Jika saya perhatikan, semua “kegilaan” yang terjadi itu kebanyakan dilakukan para remaja, atau anak-anak muda. Sejauh ini, saya belum pernah menemukan kakek-kakek atau nenek-nenek yang memposting foto telanjang mereka. Dan para remaja yang asyik memposting foto-foto telanjangnya itu bisa berdasar karena narsis, bisa pula karena semacam eksibisionis. Yang jelas, hal itu telah menjadi salah satu penyaluran “nafsu” mereka yang meledak-ledak.
 

Ketika menyaksikan semuanya itu, saya sering kali berpikir bahwa alam semesta telah melakukan “kekeliruan” berbahaya. Seperti yang telah disebutkan di atas, nafsu seks seseorang bisa dibilang tak pernah mati sampai usia berapa pun. Tetapi, kemampuan melakukannya (dalam contoh yang gampang; ereksi) mencapai tingkat paling hebat ketika seseorang masih remaja. Bukankah ini semacam kekeliruan yang sengaja dilakukan alam semesta?
 

Ketika seseorang masih puber atau remaja, secara umum dia belum bisa berpikir dan bersikap secara matang atau dewasa—namanya juga masih remaja. Artinya, remaja adalah usia yang labil, jauh dari sikap bijaksana. Tapi kenapa alam semesta mengaruniai nafsu seks yang luar biasa besar semacam itu untuk orang yang jelas-jelas masih labil dan baru puber? Dalam bayangan saya, nafsu seks yang meledak-ledak pada diri remaja tak jauh beda dengan granat aktif di tangan seorang bayi. Berbahaya—sangat berbahaya.
 


Lanjut ke sini.

Bokep Dan Rahasia Alam Semesta (1)

"Kepuasan hidup, kau tahu, tak bisa diukur
dari berapa banyak koleksi bokepmu."
~Tori Black~

Dalam kehidupan banyak orang—khususnya kaum lelaki—bokep memiliki tempat yang cukup spesial. Khususnya bagi yang masih remaja atau anak muda. Statistik terbaru bahkan menyebutkan bahwa 97 persen remaja SMP dan SMA di Indonesia pernah melihat bokep. Saya tidak bermaksud membicarakan moral. Saya sedang bicara fakta. Dan, sejujurnya, saya tidak terkejut mendapati fakta itu.

Negeri yang kita tinggali ini—dan mungkin sebagian masyarakatnya—bisa saja bertingkah sok alim dan sok suci, tetapi fakta selalu berbicara lebih keras dibanding slogan dan pencitraan. Berbagai upaya dilakukan untuk memblokir situs porno dari akses internet masyarakat, tetapi—bagi banyak orang—pemblokiran semacam itu hanya sebentuk pemubaziran, atau bahkan semacam kemunafikan. 

Saya masih ingat, dulu ketika sering liburan ke Jakarta, kadang saya keluyuran ke Glodok untuk mencari VCD bokep. Oh, well, pemerintah Indonesia, bahkan Gubernur DKI Jakarta, tahu peredaran bokep di sana, jadi saya tidak malu mengakui kalau saya juga kadang keluyuran ke sana. Lebih dari itu, ada banyak orang selain saya yang juga mendatangi tempat itu.

Dulu, ketika pertama kali membeli bokep di sana, per keping VCD dijual seharga dua belas ribu perak. Beberapa waktu kemudian, harga itu turun, menjadi sepuluh ribu perak per keping. Lalu turun lagi menjadi lima ribu, hingga akhirnya sepuluh ribu perak dapat tiga keping. Sekarang era VCD sudah berlalu, dan cakram DVD menggantikannya. Saya tidak tahu berapa harganya, karena tak pernah lagi keluyuran ke sana.

Sekarang, orang tidak perlu susah-susah mendapatkan bokep, karena internet mampu memberikannya tanpa harus keluar rumah. Silakan saja situs-situs porno diblokir, tapi industri pornografi bagaikan aliran air—ia selalu mampu menyelusup melalui celah-celah sesempit apa pun. Memblokir situs porno, seperti yang dituliskan di atas, adalah pekerjaan sia-sia, tanpa membenahi moral masyarakat pengaksesnya terlebih dulu.

Di internet, seperti yang kita tahu, ada ribuan situs yang menawarkan film bokep. Seseorang bisa menjadi member dengan membayar iuran yang disepakati, dan kemudian bebas mengunduh film sebanyak apa pun—dengan identitas anonim. Jika ingin gratisan, ribuan situs serupa juga menyediakannya. Jika tidak ingin repot men-download, orang dapat membeli yang sudah “matang” alias dalam bentuk cakram DVD.

Belum lama, saya “kesasar” ke sebuah situs yang menawarkan bokep yang telah dikemas dalam sebuah harddisk eksternal atau portabel. Di masa sekarang, harddisk tidak lagi berukuran besar sehingga sulit dibawa-bawa. Keberadaan harddisk eksternal yang ramping bahkan kecil telah melakukan revolusi dalam hal penyimpanan data. Selain itu, harddisk eksternal juga memiliki kapasitas ruang penyimpanan dalam jumlah raksasa. Ukurannya tidak lagi mega atau giga, tapi sudah tera. Bagi yang mungkin belum tahu, satu tera sama dengan seribu giga.

Nah, di situs itu, saya melongo mendapati tawaran bokep yang telah dikemas dalam harddisk berbagai ukuran—rata-rata berkapasitas satu tera, dan berisi ribuan judul bokep yang isinya bisa dipesan. Melihat trafik yang tinggi di situs tersebut, hampir dapat dipastikan pengunjungnya cukup banyak, begitu pula peminat dan pembelinya. Industri pornografi, kau tahu, setua umur manusia.

Mengapa orang menyukai bokep? Jika statistik menyatakan bahwa penonton bokep sebagian besar lelaki, maka psikologi dapat menjawabnya cukup mudah. Lelaki senang menonton bokep, karena mereka makhluk visual. Itulah kenapa lelaki selalu cenderung dengan wanita cantik, karena indra visual mereka yang lebih banyak berbicara. Dalam hal ini, bokep memanjakan indra visual lelaki.

Wanita juga menyukai hal-hal indah—dalam banyak hal, mereka bahkan memuja keindahan. Tetapi dalam konteks ketertarikan pada lawan jenis, wanita (disadari atau tidak) lebih mengandalkan hal lain selain visual—bisa pendengaran, perasaan, ataupun faktor lain. Ada banyak wanita yang jatuh cinta karena ketertarikan fisik, tetapi jauh lebih banyak wanita yang jatuh cinta karena hal-hal di luar ketertarikan fisik.

Back to bokep.

Berdasarkan statistik pula, konsumen terbesar bokep adalah kaum remaja—atau mereka yang baru puber. Itu bisa dimaklumi, karena usia puber adalah usia ketika seseorang sedang “panas-panasnya”. Bahkan, menurut makalah-makalah kedokteran yang saya baca, lelaki paling mudah ereksi ketika ia masih puber atau remaja. Seiring bertambah usianya, tingkat kemampuan ereksi pria akan menurun, dan terus menurun—meski nafsu seks mereka mungkin tidak pernah mati. 


Lanjut ke sini

2012-12-03

Mengapa dan Mengapa??

Pertama kali mengenal nama Steven Seagal adalah ketika menonton Undersiege, film yang kemudian membesarkan nama Seagal. Sebagaimana banyak penonton film, saya juga menilai Undersiege sebagai film bagus. So, ketika Undersiege dibuat sekuelnya, saya pun memastikan diri untuk menonton.
Seusai Undersiege, Steven Seagal juga membintangi film-film lain—hingga di masa sekarang. Entah sudah berapa banyak film yang pernah dibintanginya selama masa-masa itu, namun yang jelas saya cukup banyak menonton filmnya, di antaranya Urban Justice, Today You Die, Shadow Man, Ruslan, Pistol Whipped, Kill Switch, Attack Force, dan puluhan lainnya.

Banyaknya film Steven Seagal yang saya tonton, karena saya penasaran ingin menyaksikan dia sekali-sekali kalah. Tetapi rupanya harapan saya tak pernah terkabul. Di antara puluhan film Seagal yang pernah saya tonton, tidak ada satu pun yang memperlihatkan Steven Seagal kalah, apalagi sampai terbunuh. Artinya, dalam setiap pertempuran, Steven Seagal selalu dan pasti menang.

Mengapa Steven Seagal tidak pernah kalah dalam film-film yang dibintanginya? Tentu saja jawabannya mudah, karena dia menjadi tokoh utama, sekaligus protagonis. Kemudian, belakangan saya tahu, dia juga menjadi produser, bahkan penulis skenario sebagian besar film yang dibintanginya. Artinya, dia bisa memerankan apa saja yang diinginkannya, dengan jalan cerita semustahil apa pun yang dibayangkannya—dan dia selalu menang, alias tak pernah kalah.

Setelah yakin Steven Seagal tak pernah kalah sejak film pertama sampai filmnya yang terbaru, saya pun jadi pesimis bahkan apatis untuk dapat melihat Seagal kalah dalam filmnya. So, ketika mendengar film Machette dirilis, dan dalam film itu Seagal tewas, saya pun langsung tertarik.

Machette adalah film yang dibintangi Danny Trejo, Robert De Niro, Jessica Alba, Don Johnson, Jeff Fahey, Michelle Rodriguez, Lindsay Lohan, dan Steven Seagal. Berbeda dengan film-film Seagal yang lain, dalam film itu ia menjadi penjahat alias antagonis. Dalam film itu memang dikisahkan tokoh yang diperankan Steven Seagal tewas. Tetapi tewasnya benar-benar tidak seperti yang saya harapkan.

Dalam pertempuran hidup-mati antara Danny Trejo dan Steven Seagal, sebilah pedang menusuk perut Seagal. Tapi dia tidak langsung tewas. Sebaliknya, Seagal “mengorek-ngorek” perutnya sendiri dengan pedang itu, alias tidak mau disebut mati terbunuh, dan lebih suka jika orang mengingatnya sebagai “harakiri”. (Untuk lebih memahami maksud saya, ada baiknya untuk menonton filmnya secara langsung).

Ini aneh, pikir saya.

Aneh, karena seolah-olah Steven Seagal memang tidak pernah mau kalah, apa pun dan bagaimana pun kisahnya.

Jadi, mengapa Steven Seagal tidak pernah kalah dalam film-filmnya? Bukan karena ia selalu menjadi protagonis atau sang hero. Bukan karena ia menjadi produser dan penulis skenario filmnya. Bukan pula karena ia tidak ingin mengecewakan para penggemarnya. Steven Seagal tidak pernah kalah dalam film-film yang dibintanginya, karena… itu membuktikan kebenaran teori Freud.

Enough, jawaban itu sudah terlalu panjang, masih banyak pertanyaan lain di kepala saya. So, sekarang tinggalkan Steven Seagal, dan lanjut ke pertanyaan-pertanyaan lain di kepala saya….


Mengapa Saleem Iklim selalu ngotot kalau menyanyi?
Yeah, suka-suka dia, laaah. Orang dia yang nyanyi ini!


Mengapa rambut Leonardo DiCaprio selalu modis?
Dalam film Romeo & Juliet, rambut Leonardo DiCaprio selalu modis, dalam arti terus dalam kondisi enak dilihat (tidak awut-awutan) meski dia jungkir balik tak karuan.

Begitu pun dalam film Titanic. Dalam film itu, Leonardo DiCaprio berdiri di buritan kapal, dan rambutnya tertiup angin. Tapi rambutnya tetap saja modis—enak dilihat, tidak awut-awutan. Dia juga sempat menyelam ke dalam air ketika air laut mulai memasuki Titanic. Tapi meski telah basah kuyup sekali pun, rambutnya tetap saja modis.

Dan saya benar-benar terpesona, sekaligus ingin sekali memiliki rambut seperti itu. Dengan segala kegoblokan, saya menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan dan mencari cara agar bisa memiliki rambut sehebat itu!

Waktu menonton kedua film tersebut, saya masih SMP atau awal SMA. Dan, sebagai cowok culun campur tolol, saya benar-benar tidak paham kalau rambut sialan itu sebenarnya tidak seperti yang saya lihat. Belakangan saya tahu, rambut Leonardo DiCaprio yang selalu modis dalam film itu adalah kerjaan salon. Tiap beberapa menit sekali—selama suting film-film tersebut—rambut Leonardo DiCaprio terus-menerus dibenahi mbak-mbak salon yang telah siap di lokasi suting.

Ketika tahu hal itu, saya misuh-misuh.


Mengapa banyak cewek yang cemburu pada Manohara?
Karena Manohara ada dalam film Titanic. Hingga detik ini saya masih bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Manohara dengan Kate Winslet.


Mengapa cewek-cewek suka Justin Bieber?

Karena ingin punya pacar seperti dia.

Salah! Cewek-cewek suka Justin Bieber, justru karena tidak ingin punya pacar seperti dia!

Lirih

Ya, ya, aku tahu kau membaca blogku.

Tak perlu malu.

Aku akan tetap pura-pura tak tahu.

2012-11-18

Bocah Yang Merokok Klobot

Ibu Baik Hati itu menerima si bocah lelaki bekerja di tempatnya—baginya hal biasa, dan di tempatnya ada bocah-bocah lain yang juga bekerja di sana. Tetapi, sejak pertama kali melihatnya, si ibu sudah melihat keanehan pada bocah itu. Dia tidak seperti bocah-bocah lelaki lainnya, begitu yang sering ia katakan pada para tetangga.

Selain pendiam, kata Ibu Baik Hati, bocah lelaki itu juga tidak pernah makan nasi. Setiap siang, ketika bocah-bocah lain pergi ke warung untuk makan nasi, bocah lelaki itu terlihat duduk sendirian di tempatnya semula, sambil memakan roti murahan yang telah dibawanya dari rumah. Selain itu, si bocah juga sering terlihat merokok klobot. (Klobot; rokok kretek yang biasa diisap orang tua).


“Kenapa kamu tidak pernah makan nasi?” tanya si ibu suatu hari pada bocah itu.


“Karena saya suka roti,” jawab si bocah singkat.


“Setiap hari kamu makan roti? Sarapan? Juga makan malam?”


“Yeah…”


“Tidak makan nasi sama sekali?”


“Uh, kadang makan nasi juga.”


Kemudian si ibu memperhatikan rokok yang ada di tangan si bocah. Dan bertanya, “Kenapa kamu merokok klobot?”


“Karena
saya suka rokok. Dan rokok filter mahal, jadi saya pilih rokok ini.”

Si ibu tidak pernah yakin dengan nama bocah itu, selain juga ia sulit menghafalkan setiap nama dari puluhan orang yang bekerja di sana. Karenanya, setiap kali menyebut si bocah, dia menyebutnya, “bocah yang merokok klobot.” Dan sebutan itu pula yang kemudian dipakai di tempat kerja itu. Bocah itu sering mendengar orang-orang di sekitarnya menyebut, “Kamu lihat bocah yang merokok klobot?”


Si bocah menganggap sebutan itu sangat hebat—terdengar aneh, dan misterius. Dan dia menyukainya. Juga tersenyum setiap kali mendengar orang menyebutkannya.


Tempat bekerjanya waktu itu adalah sebuah pabrik kecil tempat pengolahan batik yang dimiliki seorang pengusaha di luar kota. Si pengusaha sengaja membangun tempat pengolahan batik di kota si bocah, dengan tujuan agar seluruh pengerjaan batiknya diurus orang-orang di sana. Dan si bocah lelaki yang merokok klobot adalah salah satu sekrup kecil yang menggerakkan jalannya pabrik itu.


Para pekerja di sana menyebut si pengusaha dengan panggilan “Bos Besar”, dan si Bos Besar sering membagi-bagi duit setiap kali datang. Karena itu kehadirannya selalu dinantikan, dan disambut keriangan senyum. Bagi para pekerja di sana, juga bagi si bocah yang merokok klobot, Bos Besar adalah orang yang baik.


Suatu hari, Bos Besar datang ke tempat kerja itu—jadwal rutin yang biasa. Biasanya, dia akan memperhatikan proses pekerjaan di sana, memberikan solusi atas berbagai masalah yang ada, dan kemudian pulang dengan membawa tumpukan batik yang telah selesai diproses. Oh ya, tentu saja setelah membagi-bagi duit bagi para pekerjanya yang selalu rajin.


Siang itu, ketika jam istirahat kerja tiba, para pekerja pergi ke warung untuk mencari makan, sementara Bos Besar makan siang bersama keluarga Ibu Baik Hati. Tidak jauh dari tempat mereka, si bocah lelaki baru saja menyelesaikan santap siangnya dengan sepotong roti murahan, dan kemudian menikmati rokok sambil membaca sebuah buku.


“Hei, Nak…!”


Suara panggilan si Bos Besar membuyarkan pikiran si bocah yang sedang asyik membaca bukunya. Dan ketika ia menoleh, Bos Besar terlihat melambaikan tangannya, dan berkata, “Ayo makan bareng kami.”


“Saya sudah makan,” jawab si bocah dengan tidak nyaman.


“Dari tadi kamu tidak terlihat makan? Ayolah, mari makan bareng!”


“Uh, saya sudah makan.”


Melihat ketidaknyamanan si bocah, Ibu Baik Hati kemudian berkata pada Bos Besar, “Dia memang tidak pernah makan siang. Setiap hari cuma makan roti.”


Kemudian mereka terlihat bicara serius, namun dengan bisik-bisik, sehingga si bocah tidak bisa mendengarnya. Tetapi dia memang tidak ingin mendengar. Dia ingin kembali menikmati bukunya.


Seusai makan siang, Bos Besar mendekati bocah itu, memperhatikan rokok klobot yang ada di tangan kurusnya. Mungkin, baginya, itu seperti pemandangan suram dari lukisan gotik Abad Pertengahan—seorang bocah kurus, dekil, dan merokok klobot. Sambil tersenyum, Bos Besar berkata, “Jadi rupanya benar kamu merokok klobot.”


Si bocah, mau tak mau, ikut tersenyum—karena dia selalu tersenyum setiap kali mendengar sebutan itu.


“Apa yang sedang kamu baca itu?” tanya Bos Besar sambil menujukan pandangannya pada buku di tangan si bocah.


Si bocah hanya menunjukkan sampul bukunya. Sebuah buku kumal, dengan beberapa halaman yang terlepas, dengan sampul yang telah koyak. Tetapi judulnya masih terbaca—dan Bos Besar terbelalak.


“Kamu membaca buku itu…???” Nadanya seperti mendengar kalau Nabi Isa akan turun ke bumi besok pagi. Mungkin, menurutnya, bocah yang merokok klobot tidak seharusnya membaca ‘A Brief History of Time’.


Si bocah kebingungan menyaksikan pekikan si Bos Besar. Dengan tergagap dia berkata, “Uh, saya harap… saya tidak melanggar peraturan kerja di sini?”


Bos Besar tertawa. “Tentu saja tidak! Cuma, uh, kenapa kamu sampai membaca buku itu?”


“Karena cuma buku ini yang saya temukan di loakan,” jawab si bocah dengan malu-malu.


“Kamu suka membaca?”


“Yeah…”


Bos Besar manggut-manggut. “Bagus. Saya senang melihat orang yang rajin membaca. Menurut Ibu tadi, kamu juga sangat rajin bekerja di sini. Semua laporan tentangmu membuat saya senang. Saya harap, kamu tetap menjadi pekerja saya selamanya.”


Tetapi bocah itu tidak bekerja di sana selamanya.


Hanya berselang beberapa bulan setelah percakapan dengan si Bos Besar, bocah itu telah keluar dari sana—karena mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.


Bos Besar mencoba mempertahankannya, meminta agar si bocah tetap bekerja untuknya, menjanjikan akan membayarnya sebanyak yang dijanjikan orang lain kepadanya, tetapi si bocah tahu bagaimana membangun takdirnya—dan ia pun tahu takdirnya tidak di tempat itu. Bos Besar mungkin lupa bahwa bocah lelaki yang merokok klobot rajin belajar.


Dan waktu-waktu berlalu, dan bocah itu tumbuh besar—dan dewasa. Masa-masa ketika ia makan roti di siang hari waktu jam istirahat kerja, telah menjadi bagian nostalgia. Masa-masa ketika ia merokok klobot sambil membaca buku lusuh dan kumal, telah menjadi masa yang seolah telah berabad-abad lamanya.


Hari ini, bocah itu masih suka makan roti, namun tidak lagi merokok klobot. Tetapi, saya masih suka tersenyum setiap kali mengingat sebutan itu.

2012-11-05

Hati Yang Letih

-Berhentilah mendebat dan belajarlah memahami.-

 ***

Francis Crowley mungkin dilahirkan untuk membunuh. Ia lahir pada 31 Oktober 1912 di New York City, sebagai anak kedua. Ketika bocah itu beranjak besar dan dewasa, dia menjadi kriminal yang membunuh orang dalam jumlah sangat banyak, sehingga menjadikan namanya dikenal sebagai penjahat paling berbahaya di Amerika.

Pada masa remajanya, Francis Crowley telah keluar masuk kantor polisi, menginap di penjara, akibat kenakalannya—dari perkelahian di jalanan, sampai penyerangan dan pencurian. Seiring usianya yang makin dewasa, tingkat kenakalannya semakin berbahaya. Ia mulai merampok, dan membunuh. Saat mengakhiri masa remaja, reputasi Crowley sebagai bandit jalanan telah dikenal oleh semua kantor kepolisian.


Pada 21 Februari 1931, “puncak karir” Crowley dalam dunia kejahatan terjadi. Pada waktu itu, Crowley dan dua temannya—Rudolph Duringer dan Helen Walsh—berjalan-jalan di Bronx, Amerika, dan mengganggu orang-orang yang lewat. Ketika dua polisi patroli muncul untuk menindak mereka, Crowley dengan ringan mengambil senjata dan menembak dua polisi itu hingga bersimbah darah.


Menyadari kedua polisi itu terluka parah akibat tembakannya, Crowley pun melarikan diri. Ia pergi ke wilayah Lexington Avenue, namun di tempat itu ia kembali harus berurusan dengan polisi. Detektif Ferdinand Schaedel, yang kebetulan mengenali wajah Crowley, mencoba menahannya. Tetapi Crowley segera mengambil senjata dan menodongkannya ke perut sang detektif. Dengan muka dingin, Crowley menembakkan pistolnya beberapa kali, hingga isi perut polisi itu berhamburan di jalanan.


Dua hari setelah membunuh Detektif Ferdinand Schaedel, pada 15 Maret, Crowley dan dua temannya pergi ke New Rochelle, dan merampok sebuah bank di sana. Dengan santai mereka menodongkan senjata ke kasir, meminta koper-koper mereka diisi uang, kemudian menembak para penjaga yang mencoba melawan. Ketika mereka keluar dari bank, beberapa mayat bergeletakan, sementara raungan sirine mobil polisi terdengar berdatangan.


Tapi Crowley belum berhenti menjalankan kejahatannya. Satu bulan setelah perampokan bank di New Rochelle, Crowley membobol apartemen milik broker properti Rudolph Adler, di kawasan West Street. Mengetahui ada penjahat yang menyusup ke apartemennya, Rudolph Adler mencoba melawan, tetapi Crowley langsung mengarahkan senjatanya dan menembak Adler lima kali hingga lelaki itu jatuh menghantam lantai dengan darah muncrat ke mana-mana.


Pada 27 April, Crowley membutuhkan kendaraan. Ia dan Rudolph Duringer mencegat mobil yang saat itu lewat di jalanan. Pengemudinya seorang wanita bernama Virginia Brannen. Setelah menghentikan mobil itu, Crowley berkata dengan santai, “Keluarlah, aku perlu mobilmu.”


Virginia Brannen tentu saja menolak permintaan Crowley. Penolakan itu dijawab Crowley dengan tembakan yang segera membuat tubuh Virginia Brannen bersimbah darah di jok mobilnya. Crowley menarik tubuh yang telah tewas itu, dan melemparkannya ke pinggir jalan, di luar Seminari St. Joseph di Yonkers.


Tubuh Virginia Brannen yang telah tewas kemudian ditemukan oleh kepolisian New York, dan bukti-bukti yang ada mengarah kepada Crowley. Kali ini, NYPD (New York Police Department) benar-benar sudah kehabisan kesabaran dalam menghadapi Crowley. Penjahat itu harus segera dihentikan, dan mereka pun segera meningkatkan segala upaya untuk dapat menangkap Crowley.

Pada 29 April, beberapa polisi melihat Crowley mengendarai mobil Chrysler hijau di daerah Bronx, dekat Morris Avenue Bridge. Segera koordinasi dilakukan, dan dalam waktu singkat puluhan mobil polisi memenuhi jalanan. Crowley, yang tahu akan ditangkap, segera menekan gas dan Chrysler-nya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan di Bronx, sementara mobil-mobil polisi mengejarnya dengan sirine meraung-raung.

Kejar-kejaran dengan kecepatan tinggi itu mirip adegan film—puluhan tembakan polisi menghajar mobil Crowley, melubangi tubuh mobil, memecahkan kaca-kacanya. Rudolph Duringer, yang ada dalam mobil bersama Crowley, membalas tembakan polisi dengan tembakan yang sama. Dalam baku kejar itu, Crowley tertembak, tetapi ia masih bisa mengendalikan mobilnya.


Di salah satu tikungan, Crowley membelokkan mobil dengan kecepatan mengerikan, kemudian menghentikannya secara mendadak. Setelah itu ia menunggu dengan senjata terkokang. Ketika beberapa mobil polisi pengejarnya muncul, ia tembakkan senapannya ke arah mobil-mobil itu. Polisi-polisi dalam mobil yang tertembak tak bisa mengendalikan mobilnya, dan tabrakan antar mobil polisi pun tak terelakkan. Dalam kekacauan yang amat mengerikan itu, Crowley kembali duduk di belakang setirnya, dan menekan gas meninggalkan korban-korbannya.


Beberapa hari berikutnya, sedan Chrysler yang dikendarai Crowley ditemukan di pinggir jalan, penuh lubang peluru tak terhitung jumlahnya, juga terdapat noda darah yang menghitam di jok mobil. Tapi Crowley maupun temannya tak tertemukan.


Pada 6 Mei 1931, Crowley duduk-duduk bersama Helen Walsh di sebuah mobil yang diparkir di kawasan North Merrick, Long Island. Keduanya sedang menikmati minuman ringan sambil bercanda ketika muncul dua petugas polisi mendekati mobil mereka. Kedua polisi itu—Frederick Hirsch dan Peter Yodice—mencurigai keberadaan mobil tersebut, dan mereka pun mendekati Crowley yang ada di jok depan.


Frederick Hirsch menyapa Crowley, dan berkata, “Boleh saya lihat SIM Anda?”


Sebagai jawaban, Crowley membuka pintu mobilnya, dan menghantamkannya ke tubuh polisi itu. Frederick Hirsch terjatuh ke aspal, dan Crowley segera menembakkan senjatanya. Peter Yodice yang menyaksikan rekannya ditembak, segera mengambil pistolnya, tetapi Crowley lebih cepat. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh polisi satunya itu, dan Peter Yodice pun segera terjungkal ke tanah dengan darah berhamburan dari tubuhnya. Tetapi keduanya belum mati.


Crowley kembali menembakkan senjatanya ke dua polisi yang kesakitan, namun kali ini pelurunya habis. Dengan santai, ia mengambil pistol milik polisi-polisi itu, lalu dengan kedua tangannya ia memberondongkan peluru ke tubuh dua polisi yang telah sekarat. Darah mengalir di aspal, bersimbah menutupi dua tubuh penuh luka. Setelah yakin kedua polisi itu tewas, Crowley masuk ke mobil dan melesat pergi.


Kematian dua polisi itu semakin membakar amarah NYPD. Sepanjang sejarah kejahatan di New York, belum pernah ada orang yang begitu kejam dan brutal seperti Crowley. Ia benar-benar orang paling berbahaya—sosok yang tidak akan ragu mengambil pistol untuk membunuh siapa pun yang dikehendakinya. Menggunakan istilah Komisaris Polisi E.P. Mulrooney, “Crowley akan membunuh, hanya karena jatuhnya sehelai bulu.”


Karenanya pula, kepolisian New York pun semakin bertekad menangkap penjahat itu, dan seluruh kekuatan dikerahkan untuk memburunya. Perburuan itu membuahkan hasil. Satu hari setelah penembakan dua polisi di atas, pada 7 Mei 1931, NYPD mendapatkan informasi bahwa Crowley ada di sebuah apartemen di kawasan West End Avenue, bersama Helen Walsh dan Rudolph Duringer.


NYPD segera mengumpulkan pasukan berjumlah besar—300 polisi bersenjata senapan dan gas air mata, serta para detektif—untuk mengepung apartemen berlantai lima itu. Penyergapan dan pengepungan itu dipimpin Letnan Christian Salsieder, yang kelak mendapatkan Honorable Mention, penghargaan tertinggi untuk polisi.


Crowley dan teman-temannya kali ini benar-benar terjebak, namun mereka tak mau menyerah begitu saja. Ketika mendapati apartemen telah terkepung, mereka menembakkan senjata dan melemparkan granat ke arah para polisi, yang segera dibalas tembakan sama.


Itu pengepungan dan penyergapan penjahat paling sensasional di New York, dan baku tembak yang mirip film-film action itu menarik perhatian 15.000 orang yang berdebar menontonnya. Ratusan polisi menembaki dinding-dinding apartemen, melemparkan gas air mata, sementara pengeras suara meneriakkan perintah agar Crowley dan teman-temannya menyerah. Dari dalam gedung, Crowley dan teman-temannya membalas tembakan itu, dan kembali melemparkan gas air mata melalui atap apartemen.


Jalanan di New York bagaikan lokasi perang. Desingan peluru dan dentuman senjata terdengar dari sana-sini, beberapa polisi bergelimpangan di jalanan, mobil-mobil terbakar, sementara ribuan orang yang menyaksikan pertempuran itu tercekam kengerian. Di dalam apartemen, dengan berlindung di balik kursi baja, Crowley mengarahkan senjata dan menembakkan peluru ke arah ratusan polisi yang mengepungnya.


Baku tembak itu berlangsung hingga dua jam, dan ada lebih dari 700 peluru yang ditembakkan polisi untuk menundukkan Crowley. Akhirnya, Crowley menyerah setelah terkena empat tembakan, dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Saat diperiksa, mereka menemukan dua senjata tersembunyi di kedua kaki Crowley, dan sehelai kertas bernoda darah tersimpan di saku bajunya.


Sehelai kertas itu berisi catatan yang ditulis Crowley dengan terburu-buru sambil menahan luka-luka di tubuhnya akibat tertembus peluru. Mungkin, karena mengira dirinya akan segera mati, Crowley ingin meninggalkan wasiat. Dan wasiat yang ditulisnya di kertas itu berbunyi, “Untuk mereka yang berkepentingan. Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”


Francis Crowley, penjahat paling bengis di New York, yang dijuluki The Two Guns—karena biasa menggunakan dua senjata di tangannya—dan telah membunuh banyak orang dengan darah dingin itu, menyatakan, “Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”


Pada 21 Januari 1932, Crowley dieksekusi di atas kursi listrik setelah pengadilan New York memvonis hukuman mati atas semua kejahatan dan pembunuhan yang telah dilakukannya. Tetapi, bahkan sampai di situ pun, Crowley tidak pernah menerima kenyataan atau menyadari dirinya bersalah. Dia masih meyakini dirinya orang baik, yang “tidak tega melukai siapa pun.”


Seperti yang dikatakan orang-orang bijak, cara kita melihat diri sendiri adalah ego kita. Cara orang lain melihat diri kita adalah kepribadian kita.

2012-10-19

Definisi Mbakyu

Agar tidak semakin banyak yang salah paham, biar saya jelaskan secara gamblang.

Mbakyu bukan sekadar perempuan yang punya adik.
Mbakyu—dalam konteks catatan-catatan saya—adalah wanita dewasa yang elegan. Artinya, meski tidak punya adik, seseorang tetap “mbakyu” kalau memenuhi definisi itu. Begitu pula sebaliknya.

Jadi, tolong, tidak usah repot-repot.

2012-10-08

Kepada Cinta Aku Percaya

Aku menulis kata cinta
Pada pasir pesisir pantai
Ombak yang datang menghapuskannya
Namun aku tak pernah peduli
Aku kembali menuliskan cinta di pasir itu
Meski ombak kembali menghilangkannya

Aku terus menuliskan cintaku meski terhapus
Karena aku tahu bahwa yang penting
bukan berapa banyak yang telah terhapus
Namun berapa banyak yang telah kutuliskan

Aku menanam bunga cinta
Di tanah gersang, subur dan tandus
Angin yang kencang menerbangkannya
Namun aku tak pernah menghiraukan
Aku kembali menanamnya
Meski angin kembali menghancurkannya

Aku terus menanam bunga-bunga cinta
Karena aku yakin bahwa yang penting
bukan berapa banyak yang mati
Namun berapa banyak yang kutanam

Aku mengirimkan ketulusan cinta
Pada hati siapapun yang kutemui
Kenaifan mungkin menepiskannya
Namun aku selalu tersenyum
Aku kembali mengirimkan ketulusan cinta
Meski kutahu cintaku belum tentu terbalas

Aku terus mengirimkan cinta meski tak terbalas
Karena aku memahami bahwa yang penting
bukan berapa banyak yang kuterima
Namun berapa banyak yang kuberikan

2012-10-05

Wasiat Untuk Anakku

Hanya dua hal yang layak kita wariskan kepada anak-anak kita.
Yang pertama adalah akar, yang kedua adalah sayap.
Wasiat Para Filsuf


Hidupmu saat ini, Nak, juga hidupmu yang kelak akan kaujalani, adalah hidup yang kaupilih sendiri. Karenanya, kau tidak punya alasan untuk mengeluh, atau menyalahkan siapa pun.

Kalau orang-orang lain pergi ke Barat dan kau ikut pergi ke Barat, dan ternyata kau mendapati kehidupan di Barat adalah kehidupan yang tidak kauinginkan, bahkan kehidupan yang kausesali, maka itu murni kesalahanmu—karena kau memilih untuk ikut-ikutan orang lain.

Begitu pun, kalau kau menyaksikan orang-orang pergi ke Barat dan kau memilih menyendiri ke Timur, lalu kau mendapati kehidupan di Timur bukanlah kehidupan yang kauinginkan, maka itu pun kesalahanmu—karena kau memilih untuk mengikuti kehendakmu sendiri.

Hidup adalah soal pilihan, Nak, tak peduli kau sadar atau tidak.

Apa pun yang terjadi dalam hidupmu, bagaimana pun bentuk kehidupanmu, apa saja yang kauhadapi, semua itu karena kau memilihnya sendiri. Bahkan, aku pun memilikimu sebagai anakku, sekarang, karena aku memang memilihnya. Aku memilih untuk memilikimu.

Orang-orang mungkin bilang ini takdir Tuhan, bahwa kau memang ditakdirkan menjadi anakku, dan aku ditakdirkan menjadi ayahmu. Tapi tidak, takdir Tuhan terjadi karena manusia memang menghendakinya. Aku menghendaki hadirnya seorang anak, maka Tuhan pun kemudian menciptakan dirimu untuk memenuhi takdirku.

Oh, aku tahu apa yang kaupikirkan sekarang, Nak, tapi simpan dulu pikiranmu—karena gelas yang penuh tak bisa lagi menampung air yang jernih.

Dulu, ketika aku seusiamu, sesegar dan semuda dirimu sekarang, dan menganggap dunia ada dalam genggamanku, aku menyaksikan pilihanku terbentang luas. Di saat itu aku pun menyadari bahwa kehidupanku setelah itu adalah murni kehendak dan pilihanku. Apa pun yang akan kupilih, maka itulah yang akan menjadi kehidupanku. Dan begitu pilihan itu kujatuhkan, maka seluruh konsekuensinya berada di dalam tanggung jawab pilihanku.

Lalu aku memilih untuk menikah dengan ibumu—sebagaimana ia pun memilih untuk menikah denganku. Ketika pernikahan itu terjadi, bertahun-tahun lalu, pernikahan itu terjadi karena kami memang memilihnya. Kaulihat sekarang…?

Aku maupun ibumu memilih untuk saling jatuh cinta, dan memilih untuk menikah, dan memilih untuk memiliki anak—memilikimu. Jika kami tidak memilihnya, maka kami pun tidak akan menjalaninya. Sesederhana itu aturannya.

Seperti dalam prasmanan, kau menyaksikan aneka macam hidangan yang disuguhkan, dan kau memiliki hak untuk menikmati makanan apa pun yang kau suka atau kauinginkan. Makanan apa pun yang kaupilih untuk kauambil, maka itulah yang akan kaurasakan, itulah yang akan kaunikmati.

Begitulah hidup. Ia menyuguhkan banyak tawaran dan pilihan, dan masing-masing orang memiliki hak untuk menggunakan pilihannya—kemudian ia akan menjalani pilihannya.

Dulu, ketika aku dan ibumu menikah, aku tahu bahwa kehidupanku setelah itu adalah murni karena pilihanku. Susah atau pun senang perjalanan yang kami lalui, aku tak bisa menyalahkan siapa pun—karena memang itulah hidup yang kupilih, yang kami pilih. Pada waktu itu, aku bisa saja memilih untuk tetap hidup sendiri, melajang seumur hidup… tapi tidak, aku memilih menikah dengan ibumu.

Dan kemudian kau lahir.

Ketika mendengar tangis pertamamu, Nak, aku tahu itu tangis bayi yang diciptakan karena pilihanku. Takdir Tuhan, kata orang-orang, tetapi aku tahu bahwa Tuhan hanya menggenapi takdir yang kuinginkan. Kau dititipkan Tuhan dalam kehidupanku karena aku memang memintanya melalui pilihanku. Dan karena Tuhan menitipkan dirimu kepadaku, itu kuanggap sebagai penghargaan Tuhan atas kepercayaan-Nya kepadaku.

Maka aku pun menjaga titipan itu… menjagamu. Kau adalah wujud yang diciptakan dari keinginan manusia, dan takdir Tuhan—perpaduan antara keinginan dan penetapan.

Dan hari demi hari, ketika menyaksikanmu tumbuh, Nak, aku merasa menyaksikan keajaiban dari sebuah pilihan. Menyaksikanmu dari bayi hingga tumbuh besar, dengan segala kelucuan dan suaramu yang selalu membuatku tersenyum, dan aku mensyukuri pilihanku… aku mensyukuri karena telah memilih untuk memilikimu. Kau adalah keajaibanku, kau adalah pilihanku.

Di waktu-waktu lain, ketika kau begitu rewel dan menjengkelkan, ketika aku begitu lelah karena kehabisan waktu istirahatku demi dirimu, tapi kau tak juga tenang, aku pernah merasa ingin membencimu, ingin marah dan melukaimu. Tetapi, kemudian aku pun menyadari itu bukan kesalahanmu. Yang kuhadapi menyangkut dirimu berawal dan berasal dari pilihanku sendiri, maka aku tak pantas menyalahkan siapa pun, termasuk dirimu. Aku harus bertanggung jawab penuh atas pilihanku.

Jadi aku pun tetap menyayangimu meski kau berkali-kali menjengkelkanku. Aku tetap mencintai dan mengasihimu, meski kau berulang kali menyakiti perasaanku, merisaukan pikiranku, bahkan mengacaukan hidupku. Kau bukan sekadar anakku, kau adalah pilihanku—sebentuk hidup yang memang kupilih. Jadi aku pun harus menanggung seluruh konsekuensi pilihan itu.

Jadi, Nak, kaulihat sekarang…?

Kalau saja dulu, bertahun-tahun lalu, aku memilih untuk tidak menikah dengan ibumu, maka hari ini pun aku tidak akan memilikimu. Mungkin, kalau memang itu pilihan yang dulu kuambil, maka sekarang aku masih hidup sendirian, dengan segala keasyikan dan kesibukanku yang biasa seperti saat masih lajang… dan tak pernah melihatmu, apalagi mengenalmu.

Dan, aku ingin kau tahu, Nak, aku bersyukur karena telah memilih untuk memilikimu. Aku bahagia dengan pilihanku, meski di dalamnya juga kadang terdapat kesedihan dan rasa frustrasi. Aku bersyukur karena telah memilih untuk menikah dengan ibumu, dan aku bahagia karena telah memilih untuk menjadi ayahmu. Kau keajaiban terbesar yang pernah kusaksikan dalam hidup… sebuah keajaiban yang pernah kuciptakan karena sebuah pilihan.

Dan sekarang kau telah tumbuh besar, Nak, kau bukan lagi anak kecilku yang dulu biasa kugendong dan tampak sangat rapuh. Kau sudah dewasa sekarang, dan setiap kali melihatmu, aku selalu merasa melihat diriku sendiri, bertahun-tahun lalu. Kau anakku, tetapi aku tahu kau memiliki kehidupanmu sendiri—suatu pilihan yang kini juga kaupilih.

Besok, aku sudah tak bisa lagi melihatmu di rumah, karena kau harus pergi menuntut ilmu ke tempat jauh yang kauinginkan. Aku hanya bisa mendukung dan mendoakan… semoga pilihan yang kaumbil adalah pilihan terbaik yang kauinginkan. Aku tahu, aku pasti akan merasa kehilanganmu, namun pergilah… ikuti pilihan hidupmu. Ada sepasang sayap di punggungmu, dan aku tahu sungguh tak adil jika melarangmu menggunakan sayap-sayap itu.

Pergilah… ikuti kata hatimu, kejarlah pilihan hidupmu. Hanya satu hal yang kuingin agar kau selalu ingat… bahwa hidup adalah soal pilihan. Hidupmu setelah ini adalah hidup yang kaupilih sendiri. Karenanya, kau tidak punya alasan untuk mengeluh, atau menyalahkan siapa pun. Belajarlah untuk bertanggung jawab dalam pilihanmu—karena hidupmu adalah pilihanmu.

Buatlah ayahmu tersenyum, dan buatlah ayahmu ini bersyukur sekali lagi, karena telah memilih untuk memilikimu. Selamat jalan, Nak, doaku mengiringi setiap langkahmu.