2015-04-07

Percakapan Stress


Kadang teman menilai saya adalah orang gila. Tetapi ada juga teman yang menilai saya adalah orang bijak. Ouh well, semuanya itu benar tergantung dari mana teman saya menilai saya.
~Bayu


Dalam suatu percakapan berdua Siang hari ini di samping Istana Negara, di bawah pohon rimbun, di atas kisruh naiknya harga bbm (bahan bakar minyak) dan di tambah semrawutnya DP mobil para pejabat tinggi negara, seorang teman berkata, “Aku sangat ingin tahu. Apakah kamu percaya alam akhirat?”
“Kenapa kamu ingin tahu?” saya balik bertanya.
“Yeah... sebenarnya, aku hanya penasaran,” dia menjawab. “Maksudku, mungkin kamu punya pikiran yang agak liar atau... yeah, semacam itulah. Jadi, kamu percaya alam akhirat—atau tidak?”
“Aku memilih untuk percaya.”

Dia menatap saya. “Apa artinya itu?”
Sembari meminum es teh manis, kemudian saya berkata perlahan-lahan, “Sebagai bocah bandel, sejujurnya aku sulit membayangkan alam akhirat seperti apa. Tetapi aku juga sulit percaya jika alam akhirat tidak ada. Jadi, meski sulit membayangkannya, aku memilih untuk percaya alam akhirat memang ada. Bahkan, aku berharap, dan berdoa, semoga akhirat benar-benar ada.”

“Tapi kamu percaya teori evolusi...”
“Aku tidak pernah mengatakan aku percaya teori evolusi.”
Dia tampak serba salah. “Uh, kupikir...”
“Kadang kita memang suka berasumsi, dan terlalu cepat menarik kesimpulan. Hanya karena seseorang punya ketertarikan pada teori evolusi, kita menyimpulkan dia mempercayai teori evolusi.”
“Jadi... kamu tidak percaya teori evolusi?”
“Aku juga tidak pernah mengatakan bahwa aku tidak percaya teori evolusi.”
“Uh... jadi?” Dia menatap dengan bingung. “Biar kubuat sederhana, kamu percaya teori evolusi—atau tidak?”
Saya tersenyum. “Dari tadi kamu menyebut teori evolusi, teori evolusi, teori evolusi. Kenapa kamu tidak menyadari ucapanmu sendiri?”

“Oh, ayolah, tolong jelaskan.”
Saya meminum es teh manis itu lagi, kemudian menjelaskan, “Teori evolusi hanyalah teori—sesuatu yang (masih) bersifat teoritis dan interpretatif—karena itu pula disebut ‘teori evolusi’. Jangankan aku, bahkan Charles Darwin pun sebenarnya belum yakin dengan teorinya sendiri. Darwin menemukan interpretasinya tentang evolusi yang kemudian ia simpulkan menjadi teori evolusi. Tetapi dia sendiri belum yakin, karena masih ada lubang—missing link—yang belum bisa ia temukan, bahkan sampai hari ini.”
“Tapi kamu mengagumi Darwin?”
“Aku mengagumi Darwin karena kemampuannya berpikir dalam biologi, tak jauh beda dengan kekagumanku pada Richard Dawkins. Atau Karl Marx. Atau Nietzsche. Atau Socrates. Atau Gus Dur. Atau Goenawan Mohamad. Atau Nurcholis Madjid. Oh, well, sebut lainnya. Tetapi mengagumi seseorang bukan berarti kemudian aku mempercayai bulat-bulat apa saja yang mereka ocehkan. Orang-orang itu memiliki pemikiran-pemikiran yang mengagumkan, dan aku mengagumi pikiran mereka. Soal apakah aku setuju atau tidak dengan pemikiran mereka, itu urusan lain.”

Sesaat dia diam. Kemudian bertanya ragu, “Jadi, intinya, kamu percaya teori evolusi—atau tidak?”
“Aku mempercayai teori evolusi—sebatas sebagai teori—sebagaimana Charles Darwin mempercayai teorinya sendiri. Maksudku, sebagai teori dalam bidang biologi, teori evolusi memiliki dasar argumen yang sahih. Jika kemudian kesahihan dasar argumen yang digunakan Darwin terbukti keliru, ya tidak apa-apa, namanya juga teori. Dalam tahun-tahun terakhir, misalnya, ada banyak pihak yang berusaha menunjukkan kekeliruan-kekeliruan teori Darwin. Tidak apa-apa, karena memang begitulah ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan, umpama Darwin saat ini masih hidup, aku membayangkan dia akan berterima kasih pada orang-orang yang telah menunjukkan kekeliruannya—sebagaimana ilmuwan lain. Dan itulah yang menjadikan sains menarik—tidak dogmatis, tapi terbuka pada koreksi.”

“Uh... kalau boleh kusimpulkan, jadi kamu percaya teori evolusi, tapi juga percaya alam akhirat?”
“Seperti yang kubilang tadi, aku percaya teori evolusi sebagai teori. Dengan kata lain, aku tidak menjadikan teori evolusi sebagai iman yang menjadi dasar keyakinan. Memang benar bahwa teori evolusi memiliki beberapa lubang yang bahkan Darwin sendiri tidak mampu menjelaskan. Tetapi bahwa teori evolusi juga punya hal-hal benar, kita harus mengakui. Jika kemudian hal-hal benar dalam teori evolusi di masa depan terbukti keliru, sekali lagi tidak apa-apa, karena memang begitulah teori, seperti itulah sifat ilmu pengetahuan.”

“Lalu bagaimana soal akhirat?”
“Berbeda dengan teori evolusi, akhirat adalah soal keyakinan. Seperti yang kunyatakan tadi, aku sulit membayangkan alam akhirat seperti apa. Tetapi aku memilih untuk percaya. Dan, omong-omong, itulah yang disebut iman—segugus kepercayaan yang tidak menuntut bukti. Jika teori evolusi bersifat intelektual, soal akhirat bersifat spiritual. Jika suatu saat teori evolusi terbukti keliru, aku pun akan meralat kepercayaanku. Berbeda dengan iman. Sampai kapan pun kita akan sulit membuktikan apakah akhirat ada atau tidak—karenanya aku lebih memilih untuk percaya.”

“Kenapa kamu memilih untuk percaya akhirat benar-benar ada?”
“Karena aku sulit membayangkan akhirat tidak ada.”
“Kenapa kamu sulit membayangkan akhirat tidak ada?”
“Karena, jika akhirat tidak ada, maka seluruh kehidupan kita benar-benar parodi yang sama sekali tak lucu, dan kehidupan umat manusia adalah ironi paling mengerikan.”
“Tolong jelaskan.”
“Penjelasannya sangat panjang, dan percakapan ini bisa butuh waktu setengah tahun jika aku harus menjelaskannya.”
Dia tertawa. “Oh, ayolah, jelaskan garis besarnya saja.”

Saya terdiam sesaat, meminum es teh manis, kemudian berkata perlahan-lahan, “Dunia yang kita tinggali sebenarnya tempat yang adil—kita menanam biji mangga, dan kita mendapat pohon mangga. Adil. Seimbang. Jujur. Tapi manusia sering kali tidak adil. Seseorang menanam biji mangga, tapi berharap mendapat pohon durian. Ketika harapannya tidak tercapai, dia merampas pohon durian orang lain. Begitulah awal kejahatan terjadi—karena manusia tidak adil terhadap dirinya sendiri, dan kepada orang lain. Karena manusia berpotensi tidak adil, dan kejahatan bisa terjadi, maka manusia pun membutuhkan institusi-institusi hukum yang diharapkan bisa memberi keadilan. Tapi institusi-institusi hukum itu pun dijalankan manusia, yang bisa sama tidak adil seperti manusia lain. Maka, ketika seseorang teraniaya dan ia tidak bisa mendapat keadilan dari institusi manusia, ke manakah dia harus mengadu? Pada siapa dia harus meminta keadilan? Di tempat mana keadilan akan benar-benar ditegakkan tanpa intervensi nafsu manusia?”
Dia mengangguk.

Saya melanjutkan, “Karena itulah aku memilih untuk percaya bahwa akhirat benar-benar ada. Aku bahkan berdoa, berharap sepenuh jiwa, bahwa akhirat benar-benar ada. Agar setiap manusia bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya, kejahatannya, ketidakadilannya. Terlepas apakah manusia hanyalah produk evolusi atau makhluk yang murni, manusia membutuhkan akhirat—setidaknya, aku berpikir begitu.”
“Sekarang aku mulai paham.”
“Senang mendengarnya.”
“Tapi, jika alam akhirat benar-benar ada, dan kelak di sana kamu ternyata dinilai punya banyak kesalahan, dan divonis masuk neraka, bagaimana?”
Saya tersenyum. “Tidak apa-apa. Karena setiap kita memang harus bertanggung jawab. Jadi, kalau hasil pengadilan di akhirat memutuskan aku masuk neraka, ya tidak apa-apa. Kalau itu memang terjadi, aku percaya pertimbangan yang dilakukan di sana benar-benar adil, dan aku harus menerima. Di akhirat, aku percaya, tidak ada upaya kriminalisasi, tidak ada pengacara yang memanfaatkan kasus, tidak ada hakim yang korup, juga tidak ada jaksa yang minta disuap. Jadi, apa pun keputusannya, aku akan menerima.”

Sekarang dia yang tersenyum. Kemudian, sambil tersenyum pula, dia berkata, “Itu kalau umpama kamu masuk neraka. Nah, kalau umpama kamu ternyata dinilai melakukan banyak kebajikan, dan divonis masuk surga, apa yang akan kamu lakukan?”
“Well... pasti banyak hal menyenangkan yang bisa kulakukan di surga—misalnya membaca buku. Atau bermain Play Station dengan game Winning Eleven seri terbaru. Tapi mungkin aku akan sering jalan-jalan ke pinggir neraka.”
“Untuk apa?”
“Untuk menyaksikan hal-hal yang ingin kita saksikan di dunia, tapi tak bisa kita saksikan karena adanya ketidakadilan. Well, pasti menyenangkan melihat koruptor-koruptor bangsat diguyur aspal panas, hakim-hakim korup dibakar hidup-hidup, dan keparat-keparat pengisap darah rakyat disiksa di dasar neraka.” Sambil meminum es teh manis yang sudah mau habis, saya melanjutkan, “Karena itulah aku percaya akhirat benar-benar ada. Tempat kita benar-benar bisa menyaksikan keadilan... sepenuh-penuhnya keadilan.”
Dia mengangguk-angguk. Kemudian mengajukan pertanyaan tak terduga, “Menurutmu, apakah Charles Darwin akan masuk surga?”

Saya tertawa. “Hahaha Aku tidak tahu.”

2015-03-27

Tidak Ada Yang Abadi

Teringat percakapan para sales elektronik yang saling klaim bahwa perusahaan tempat mereka bekerja adalah perusahaan yang paling kaya, sukses dan berhasil. Tetapi mereka tidak ingat bahwa hidup ini berputar. Kadang yang sekarang sudah berhasil, tidak selamanya pula akan berhasil di esok hari.
~bayu

Pemukiman tempat saya tinggal bukan komplek modern, melainkan perumahan tradisional. Karenanya, masih ada bangunan kuno yang berdiri di sana, dan rumah-rumah kuno itu bisa dikenali karena memiliki ciri khas. Rata-rata rumah kuno berukuran besar, dengan bentuk sederhana namun kokoh, dan lantainya sangat tinggi—sekitar 1 meter dari tanah.

Karena lantai rumah-rumah itu tinggi, di depan rumah pun biasanya dibuat undak-undakan. Jika saya perhatikan, umumnya rumah-rumah kuno di komplek saya memiliki empat sampai enam undakan. Bandingkan dengan rumah-rumah modern yang biasanya memiliki lantai nyaris rata dengan tanah tempat dibangunnya.
Dulu, saya berpikir lantai rumah-rumah kuno sengaja dibuat tinggi untuk menghindari banjir, agar rumah tidak kemasukan air. Ternyata saya keliru. Ketika saya ngobrol dengan seorang tetangga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana, dia menjelaskan bahwa di masa lalu, banjir bahkan tidak pernah ada di tempat tinggal kami. 

Jadi, mengapa orang-orang kuno membangun lantai rumahnya begitu tinggi?
“Itu bagian filsafat orang-orang di masa lalu,” tetangga saya menjawab.

Ketika saya bertanya lebih jauh, dia menjelaskan, “Orang-orang kuno sengaja membangun rumahnya begitu tinggi bukan untuk menghindari bencana semisal banjir, juga bukan untuk gagah-gagahan, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri bahwa hidup kadang naik dan kadang turun. Setiap kali mereka keluar masuk rumah, mereka melewati undak-undakan di depan rumah, dan undak-undakan itu dimaksudkan untuk terus mengingatkan filsafat tersebut. Bahwa hidup sesekali naik, sesekali turun. Di satu waktu, kita menaiki undak-undakan. Di waktu lain, kita menuruni undak-undakan.”

Sejak mengetahui kenyataan itu, perspektif saya pun berubah. Sebelumnya, saya sempat berpikir orang-orang kuno sengaja membangun rumahnya begitu tinggi sebagai bentuk keangkuhan mereka. Namun ternyata sebaliknya. Orang-orang di masa lalu sengaja membangun rumah begitu tinggi agar tetap rendah hati. Agar selalu ingat bahwa hidup tidak selamanya di atas, karena sewaktu-waktu siapa pun bisa turun. Yang kaya bisa miskin, sebagaimana yang miskin bisa kaya. Yang di atas bisa turun ke bawah, sebagaimana yang di bawah bisa naik ke atas.

Kenyataannya, hidup memang seperti itu. Bersama perputaran bumi pada porosnya, orang-orang menjalani kehidupan yang naik dan turun, naik dan turun, naik dan turun. Kadang mendapatkan, kadang kehilangan. Kadang menyongsong sinar terang, kadang menghadapi kegelapan. Kadang tertawa ceria, kadang berurai air mata. Sebagaimana siang menjemput malam, dan malam selalu menyongsong fajar. Di hari-hari yang kita jalani, matahari pun terbit dan tenggelam.

Lima belas tahun lalu, ketika ponsel mulai populer, Siemens menjadi salah satu pionir, bersama Nokia dan Ericsson. Aneka macam ponsel produksi mereka menguasai pasar dunia, dan di waktu-waktu itu nyaris mustahil untuk mengalahkan dominasi mereka. Tetapi, sekarang, bagaimana kabar ketiganya? Siemens sudah hilang. Nokia telah tumbang. Ericsson pun tidak ada kabar.

Ericsson sempat bergabung dengan perusahaan Jepang, Sony, dan merger mereka melahirkan ponsel tak terhitung banyaknya dengan merek Sony-Ericsson. Itu penggabungan dua raksasa yang diprediksi akan mengalahkan semua saingan mereka. Sony sangat hebat dalam teknologi, sementara Ericsson tahu bagaimana menciptakan ponsel dengan wujud yang manis. Gabungan keduanya melahirkan ponsel-ponsel Sony-Ericsson yang hebat dalam teknologi, sekaligus wujud mempesona.

Kenyataannya, Sony-Ericsson memang pernah merajai pasar ponsel. Nokia, yang terkenal sebagai vendor paling aktif dan paling produktif dalam merilis produk baru, sempat keteteran menghadapi gempuran Sony-Ericsson. Sampai kemudian merger Sony-Ericsson berakhir, dan keduanya kembali bekerja sendiri-sendiri. Lepas dari Ericsson, Sony merilis ponsel-ponsel berteknologi canggih dengan merek Sony, meski wujudnya tidak secantik ponsel-ponsel Sony-Ericsson.

Di Jepang, Sony adalah perusahaan raksasa yang tidak hanya dikagumi, tetapi juga sangat disegani. Perusahaan yang telah berdiri puluhan tahun itu membuat produk-produk hebat dengan teknologi canggih—televisi, Playstation, telepon pintar, dan pernah merilis Walkman yang mengubah dunia. Mereka menjalankan perusahaan dengan omset miliaran dollar, digerakkan para ahli dan eksekutif kelas satu, dengan aneka produk yang menguasai pasar dunia.

Dengan segala kehebatan dan kejayaannya, para eksekutif Sony sangat yakin mereka tak akan pernah dikalahkan siapa pun. Tapi hidup rupanya tak semudah keyakinan mereka. Baru-baru ini, perusahaan raksasa itu sempoyongan, mengalami kerugian terus menerus hingga napas perusahaan kembang kempis, sampai kemudian diakuisisi oleh Samsung.

Itu antiklimaks mengerikan sekaligus ironis. Dua puluh lima tahun yang lalu, Sony menilai Samsung sebagai “bocah kemarin sore yang tak tahu apa-apa”. Para eksekutif Sony bahkan menjadikan Samsung olok-olok sarkastis, dan biasa menyebut para eksekutif Samsung sebagai “bocah-bocah kere”. Tetapi “bocah-bocah kere” itu kemudian mengalahkan si raksasa. Pada tahun kemarin saja, 2014, Samsung membukukan keuntungan sebesar 250 triliun. Di waktu yang sama, Sony justru mengalami kerugian sebesar 25 triliun. Seperti langit dan bumi.
Karenanya, ketika Samsung kemudian mengakuisisi Sony, kenyataan itu merupakan antiklimaks yang mengerikan sekaligus ironis, juga membuka mata banyak orang bahwa hidup memang naik dan turun. Yang semula raksasa bisa jatuh, dan yang semula dihina bisa mengalahkan si raksasa.

Di luar kejatuhan Sony atau Nokia (yang sekarang diakuisisi Microsoft), kita juga sempat menyaksikan kemunculan Blackberry yang pernah bersinar bagai meteor. Ketika mulai menancapkan pengaruhnya di pasar ponsel, Blackberry bagaikan angin puyuh yang memporakporandakan pasar ponsel dunia. Di waktu-waktu itu, nyaris setiap orang beradab ingin memiliki ponsel Blackberry, bahkan hidup rasanya masih kurang jika belum punya ponsel Blackberry.

Tapi berapa lama kejayaan Blackberry? Tidak lama, bahkan sangat sebentar. Secepat kemunculannya yang membahana, pamor Blackberry surut dengan cepat. Terlepas dari konflik internal perusahaan yang terjadi, ponsel Blackberry di pasar dunia tidak “seagung” sebelumnya. Orang tidak lagi merasa hebat karena memiliki ponsel itu, bahkan pelan-pelan mulai meninggalkannya untuk beralih ke ponsel lain. Sesuatu yang semula dipuja-puja bisa berubah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

Di luar itu, kita pun menyaksikan berbagai perusahaan raksasa tumbang, bahkan tanpa prediksi sebelumnya. Mereka benar-benar tumbang, atau mengalami kerugian miliaran dollar hingga harga sahamnya jatuh—Enron, Lehman Brothers, Sharp, Toshiba, Panasonic, Sanyo, sebut lainnya.
Tak jauh beda dengan perusahaan, orang per orang juga bisa mengalami perputaran nasib yang sama. Orang-orang yang semula dipuja dengan kekaguman tiba-tiba kehilangan pesona dan dilupakan, yang semula kaya-raya tiba-tiba berubah menjadi jelata. Di sisi lain, orang-orang yang semula tak dikenal berubah menjadi sosok yang dipuja, yang semula melarat berubah menjadi konglomerat.

Scott Stapp bisa dijadikan contoh populer. Dia adalah vokalis group musik Creed, yang pernah merajai panggung musik pada era 1990-an hingga awal 2000-an. Pada masa jayanya, Scott Stapp bisa dibilang memiliki segalanya—popularitas, rumah mewah, uang dan kekayaan dalam jumlah besar, dan kemana pun pergi selalu dikelilingi wanita cantik. Dia sosok yang sangat dikagumi, sekaligus membuat banyak orang merasa iri.

Tapi bagaimana nasib Scott Stapp sekarang? Dia menjadi gelandangan! Orang yang dulu menjalani hidup glamor itu sekarang tidak punya rumah, tidak punya uang, dan tiap malam tidur di truk—satu-satunya barang berharga yang masih dimilikinya. Di fanpage-nya di Facebook, dia menggunggah video berdurasi 15 menit berisi pengakuan tentang kehidupannya yang sekarang, dan dunia pun membelalakkan mata.

“Kadang aku tinggal di penginapan, namun beberapa minggu aku tidur di truk. Aku tidak punya uang yang cukup untuk makan atau membeli bensin,” ujar Scott Stapp dalam video tersebut. Bahkan, karena sama sekali tidak punya uang, Scott Stapp pernah tidak makan apa pun selama dua hari, hingga dilarikan ke ruang gawat darurat karena pingsan. Ketika tersadar berada di rumah sakit, dia langsung melarikan diri dari sana. Alasannya sepele—dia tidak punya uang untuk membiayai perawatannya!

Bayangkan, seorang terkenal, kaya raya, dipuja dan dikagumi dunia, berubah menjadi gelandangan yang tidur di truk, bahkan pernah tidak makan sampai dua hari karena tidak punya uang!
Di dunia sepakbola, kita bisa menyaksikan Kenny Sansom, mantan bek Arsenal dan tim nasional Inggris yang dulu sangat terkenal. Kenny Sansom melakukan debut profesionalnya untuk Crystal Palace pada usia 16 tahun, dan menjadi kapten Inggris U-21 sebelum tampil permanen di lini belakang tim senior. Dia menghabiskan 8 tahun di Arsenal, memainkan 314 pertandingan, kemudian pindah ke Newcastle United pada 1988, serta dua kali bermain di Piala Dunia.

Tak jauh beda dengan Scott Stapp, Kenny Sansom juga menjadi sosok yang dikagumi dengan kehidupan glamor ala pemain sepakbola terkenal. Tetapi bagaimana nasibnya sekarang? Sama saja, tak jauh beda dengan Scott Stap, Kenny Sansom juga menjadi gelandangan. Kenyataan itu terungkap saat dia ditemukan tak sadarkan diri di pinggir jalan pada Maret 2014, lalu dilarikan ke rumah sakit. Pada waktu di rumah sakit itulah identitasnya terkuak, bahwa gelandangan menyedihkan itu ternyata mantan pesepakbola terkenal.

Hidup, sebagaimana pendakian ke puncak gunung, memiliki masa sendiri—sebagian ada yang naik, sebagian lain ada yang turun. Orang-orang kuno menyadari itu sepenuhnya, hingga mereka sengaja membuat undak-undakan di depan rumahnya yang tinggi, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak tinggi hati. Karena selalu ada saat naik, dan selalu ada saat turun. Saat keluar dari rumah, mereka menuruni undak-undakan. Saat kembali masuk ke rumah, mereka menaiki undak-undakan.

Saat ini, jika ditanya siapa host acara televisi paling terkenal, kebanyakan orang mungkin akan menjawab Tukul Arwana. Kenyataannya, acara Bukan Empat Mata yang diasuhnya menjadi tayangan populer dengan rating tinggi, sementara Tukul menjadi selebritas terkenal sekaligus kaya raya dengan penghasilan miliaran. Tetapi, tiga puluh tahun lalu, siapakah Tukul Arwana?

Tiga puluh tahun lalu, Tukul Arwana bukan siapa-siapa. Lebih tepat, dia hanya gelandangan yang sedang mengadu nasib ke Jakarta. Ketika menginjakkan kaki di ibukota, Tukul tidak punya apa-apa, bahkan harus tidur di tanah dengan atap bedeng, karena tidak punya uang untuk menginap di tempat layak.

Waktu itu, Jakarta belum sepadat sekarang. Masih cukup banyak persawahan atau kebun-kebun kosong yang tak ditinggali. Di pinggir-pinggir sawah atau kebun itulah Tukul tidur dengan menggelar kain seadanya. Biasanya dia mencari yang ada bedeng di atasnya, sehingga tidak kehujanan ketika turun hujan. Dalam acara Hitam Putih yang dipandu Deddy Corbuzier, Tukul menceritakan, “Biasanya, saat pagi, saya terbangun dari tidur gara-gara geli, akibat ada ulat atau kaki seribu yang merayap di kulit.”

Bisa membayangkan sesulit apa kehidupan Tukul waktu itu? Di siang hari, dia ke sana kemari mencari kerja, berharap dapat mengubah nasib. Malam hari, setelah kelelahan, dia tertidur di bawah langit, beralas kain atau kertas koran. Pagi hari, ulat atau kaki seribu yang membangunkan tidurnya. Sendirian, kere, tampak ndeso, tidak ganteng, tak berpendidikan, dan mungkin orang-orang waktu itu menatapnya sebagai orang yang tak punya masa depan.

Tetapi “orang yang tak punya masa depan” itu sekarang berubah menjadi sosok yang dikagumi, dicintai, bahkan dipuja banyak orang, menjadi selebritas terkenal, mendapatkan penghasilan sangat besar, menjalani kehidupan mewah, dan setiap hari muncul di televisi menghibur jutaan orang. Inilah orang yang tiga puluh tahun sebelumnya luntang lantung menjadi gelandangan!

Lebih dari setengah abad yang lalu, dalam satu pidatonya yang menggelegar, Bung Karno pernah meneriakkan kata-kata ini, “Up and down! Up and down! Up and down!”

Begitulah hidup, dan kehidupan orang per orang. Kadang naik, kadang turun. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan, seperti orang-orang kuno yang membuat undak-undakan di depan rumah, kita pun perlu mengingat untuk tidak kehilangan harap saat ada di bawah, dan tidak lupa diri saat ada di atas. Karena hidup, sebagaimana lahir dan mati, memiliki masanya sendiri.

2015-01-17

Tidak Selalu Niat Baik Berujung Benar

Kebenaran tidak hanya dilihat dari satu sisi, tapi dari sisi yang lain 
biar hidup ini seimbang. Karena kebenaran tidak bersifat mutlak 
dan juga tidak bersifat konstan.
~bayu


Di sebuah pemukiman, ada masalah yang semula sepele tapi kemudian meresahkan masyarakat. Masalah itu dimulai oleh seorang lelaki—sebut saja namanya Mister X.

Semula, di hari-hari sebelumnya, pemukiman itu bisa dibilang damai, tenang, tanpa masalah. Sampai suatu hari, Mister X mengaji (membaca Al-Qur’an) seusai shalat subuh di masjid. Jadi, setelah shalat subuh berjamaah selesai di masjid, Mister X akan menyiapkan mic untuk dirinya sendiri, kemudian mengaji sekitar setengah jam sampai satu jam, dan suaranya dikeraskan oleh TOA masjid hingga terdengar kemana-mana. 

Mungkin Mister X berniat baik—ia bermaksud ibadah, sekaligus memperdengarkan ayat-ayat suci kepada masyarakat yang tinggal di pemukimannya. Kenyataannya, pemukiman itu memang dihuni masyarakat muslim. Yang menjadi masalah, ternyata tidak semua masyarakat yang tinggal di pemukiman itu senang. 

Beno (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu penghuni pemukiman yang terganggu akibat suara Mister X. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah bank yang biasa jaga malam. Ia pulang ke rumah seusai subuh, dan biasanya akan tidur, beristirahat, lalu bangun siang hari, dengan tujuan bisa bekerja kembali dengan baik, dengan tubuh yang segar. Tetapi, sejak Mister X mengaji setiap habis subuh, Beno sulit istirahat, tidak bisa tidur, karena suara Mister X mengganggunya.

Reni (juga bukan nama sebenarnya) adalah siswa sekolah yang rajin belajar, dan termasuk murid berprestasi. Dia kebanggaan orangtua dan sekolahnya. Tetapi, sebagaimana Beno, Reni juga bermasalah dengan suara Mister X. Dia biasa belajar setelah shalat subuh di rumahnya, dan kini tidak bisa lagi belajar seperti biasa akibat konsentrasinya buyar gara-gara suara Mister X yang masuk ke rumahnya setiap pagi.

Selain Beno dan Reni, ada banyak orang di pemukiman itu yang juga tidak senang dengan suara Mister X setiap pagi, karena dianggap mengganggu. Ada ibu yang jengkel, karena bayinya selalu terbangun dan menangis setiap kali suara Mister X mulai terdengar dari TOA masjid, padahal si bayi baru saja tidur. Ada orang-orang yang biasa menikmati pagi yang hening dan tenang kini terganggu, dan lain-lain, dan lain-lain.

Sebenarnya, masyarakat tidak mempersoalkan kalau Mister X mau mengaji—selama apa pun, di mana pun, dan di waktu kapan pun. Mereka tentu akan membiarkan Mister X membaca Al-Qur’an, karena itu termasuk ibadah. Yang dipersoalkan masyarakat adalah suaranya. Suara Mister X yang dikeraskan TOA masjid memasuki rumah-rumah yang biasanya tenang dan hening, mengganggu orang-orang yang biasa beraktivitas di pagi hari, dari yang mau belajar sampai yang mau istirahat.

Susahnya, ketika harus berurusan dengan hal-hal semacam itu, masyarakat merasa segan jika harus ribut. Mereka merasa serba salah jika akan menegur Mister X dan memintanya agar tidak mengeraskan suaranya setiap pagi. Masih banyak orang yang merasa “pekewuh” (tidak enak hati) jika ingin menegur orang lain apabila berhubungan dengan agama, atau hal-hal yang berkaitan dengan agama. Seperti dalam kasus Mister X. Masyarakat di pemukiman itu pun hanya bisa resah, tapi memilih diam.

Mister X tentu tidak bermaksud buruk, dia pasti berniat ibadah, dan berpikir yang dilakukannya adalah hal baik. Tetapi dia mungkin tidak sempat berpikir lebih panjang, dan tidak memperhitungkan apakah masyarakat akan senang dengan yang dilakukannya, atau sebaliknya. 

Kadang-kadang, niat baik justru menimbulkan keresahan bahkan masalah, akibat dilakukan tanpa pertimbangan matang dan pemikiran bijaksana. Beribadah tentu hal baik, dan membaca Al-Qur’an adalah aktivitas terpuji. Tapi mengeraskan suara melalui TOA hingga mengganggu orang-orang lain tentu bukan hal baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak terpikir oleh Mister X. Akibatnya, setiap habis subuh, dia terus saja menyiapkan mic untuk mengeraskan suaranya, hingga didengar masyarakat di pemukimannya. 

Yang membuat masyarakat merasa segan untuk menegur Mister X, karena mereka tidak bisa memastikan bagaimana reaksi Mister X. Jika Mister X seorang salih dalam arti sebenarnya, dia tentu akan memahami permintaan masyarakatnya, dan dengan sepenuh pemakluman akan melirihkan suara agar ibadahnya tidak mengganggu orang lain. Tetapi bagaimana kalau tidak...?

Bagaimana kalau Mister X menjawab, misalnya, “Aku beribadah di masjid, di rumah Tuhan. Aku beribadah untuk Tuhan, bukan untuk kalian. Kalau Tuhan saja tidak ribut, kenapa kalian malah ribut?”

Jika Mister X menjawab seperti itu, yang timbul kemudian tentu masalah. Yang menjadi masalah, akar masalahnya adalah urusan ibadah. Karenanya, masyarakat pun merasa dilema. Orang sering kali sangat sensitif jika berhubungan dengan agama, dan mereka cukup memahami hal itu, sehingga lebih memilih diam, meski sebagian mereka diam-diam juga memendam kejengkelan.

Sekali lagi, Mister X tentu bermaksud baik, berniat ibadah, berharap pahala dari Tuhan. Tetapi jika aktivitas ibadahnya juga menimbulkan kejengkelan orang-orang, kira-kira lebih besar mana yang diperolehnya? Pahala Tuhan, ataukah kebencian sesama manusia?

Beberapa orang mungkin bisa saja menyatakan, “Yang buruk menurut manusia, belum tentu buruk menurut Tuhan. Sebagaimana yang baik bagi manusia juga belum tentu baik menurut Tuhan. Aku hanya mengikuti yang baik menurut Tuhan, dan persetan apa kata manusia!”

Tetapi, marilah pikirkan, kita hidup di Bumi bersama manusia lainnya... atau di mana? Karena kita hidup bersama orang lain, bersama manusia lain, maka kita tentu juga harus menghormati hak-hak manusia lain, termasuk dalam menjalankan kewajiban terhadap Tuhan. Karena itulah dalam ajaran agama ada yang disebut hablumminallah (memenuhi hak Tuhan) dan hablumminannas(memenuhi hak manusia). 

Ibadah kepada Tuhan—yang artinya memenuhi hak Tuhan—tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lainnya, sebagaimana memenuhi hak manusia tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak Tuhan. Itulah fungsi sejati agama—keseimbangan, equilibrium—antara kekhusyukan bersama Tuhan, dan kebersamaan saat bergandengan dengan sesama manusia. Antara harapan menuju surga, tanpa melupakan bahwa saat ini kita tinggal di dunia.

Kalau kita sedang asyik menonton televisi, dan ada teman kita yang akan shalat, kita perlu menghormatinya dengan melirihkan suara televisi atau mematikannya sama sekali, agar teman kita bisa khusyuk beribadah. Sebaliknya, jika kita sedang berkumpul bersama teman-teman dan akan menjalankan ibadah shalat, kita tidak bisa seenaknya menggelar sajadah di tengah-tengah mereka sambil menyuruh mereka bubar.

Ada hak Tuhan, juga ada hak manusia. Memenuhi hak Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lain, begitu pun sebaliknya.

Ketika masih hidup dan aktif berceramah, Ustad Zainuddin MZ punya anekdot yang tak bisa saya lupakan. “Ada orang yang suka dengerin ceramah saya di radio,” ujar Ustad Zainuddin, “sebegitu suka, sampai dia selalu menyetel radionya keras-keras setiap kali saya muncul di radio. Akibatnya, tetangga-tetangganya terganggu oleh suara bising radio. Waktu ditegur, orang itu mengatakan, ‘Lhah ini radio, radio gue. Gue setel di rumah gue. Gue dengerin pakai telinga gue. Kenapa lu jadi sewot?’ Si tetangga menjawab, ‘Lhah gue tidur di kamar gue, di rumah gue sendiri. Kenapa suara radio lu masuk ke rumah gue?’

Niat baik harus dilakukan dengan cara yang baik, beribadah kepada Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak sesama manusia.

Kita tidak bisa merampok bank dengan tujuan untuk menyumbang masjid, sebagaimana kita tidak bisa membangun taman bermain dengan cara merusak mushala. Menyumbang tempat ibadah adalah niat yang baik, tapi merampok bank jelas kejahatan yang merugikan manusia lain. Begitu pun dalam niat ibadah lainnya, seperti membaca kitab suci, berceramah kepada orang lain, memberikan nasihat, atau perbuatan-perbuatan baik lainnya. Niat-niat baik itu harus dilakukan dengan baik—sebegitu baik, hingga tidak ada pihak yang merasa terganggu apalagi terluka.

Seperti Mister X yang membaca Al-Qur’an setiap habis subuh di masjid. Jika dia memang berniat ibadah, dan memaksudkan bacaan kitab sucinya untuk Tuhan semata, maka tentu dia akan menyadari bahwa Tuhan Maha Mendengar. Karena Tuhan Maha Mendengar, maka tentu Mister X bisa memahami bahwa dia tidak perlu mengeraskan suaranya dengan TOA, karena bahkan berbisik lirih pun Tuhan akan mendengar suaranya.

Dan, sekali lagi, itulah sebenarnya fungsi hakiki agama—keseimbangan hidup sebagai manusia. Mengakui kehambaan kepada Tuhan, tanpa mengusik manusia lainnya. Bermesraan dengan Tuhan setiap malam, namun bisa bekerja dan tertawa bersama sesama manusia.

Bagi orang bijaksana yang memahami, agama adalah kebenaran yang sunyi.

2015-01-09

Keikhlasan Manusia

Di dunia tempat manusia memuja hiruk-pikuk penuh bising,
selalu ada malaikat yang bekerja dalam hening.
Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc


Di kantin Siang ini saya mengobrol dengan salah satu mahasiswa dari Bapak Pratikno selama masa kuliah di UGM Yogyakarta dahulu kala. Yupp mahasiwa tersebut adalah atasan saya sekarang dimana saya bekerja saat ini. Dan siapa sangka Bapak Pratikno sekarang menjadi atasan dari atasan saya ( jadi bisa dibilang kakek atasan ). Oke saya tentunya tidak akan membahas antara atasan dan bawahan disini. Tetapi ada yang unik dari cerita atasan saya tersebut. Yang tentunya bisa kita ambil sedikit hikmah. Ceritanya Bapak Pratikno marah-marah di depan para mahasiswanya. Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc—yang biasa disapa Pak Pra—sedang mengajar sebuah mata kuliah Sosiologi di kampusnya ( tentunya sebelum Beliau menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara RI jilid 14 ). Di depan para mahasiswa kampus itu, ia berbicara dengan bahasa yang akrab, mengalir dan mudah dipahami, sekaligus lucu. Berkali-kali audiens tertawa cekikikan saat menikmati ceramahnya. Ia menjelaskan dan menguraikan banyak hal, khususnya yang berhubungan dengan sosial, budaya, dan agama.

Di satu bagian ceramahnya, Pak Pra menceritakan kisah masa mudanya, ketika ia pergi dari rumah orangtua untuk menyepi dan bertafakur. Hal itu ia lakukan sampai cukup lama. Selama bertafakur, Pak Pra bisa dibilang menjauhi segala kenikmatan duniawi, bahkan selama dua tahun dia hanya makan tiwul (makanan yang dibuat dari ketela pohon atau singkong).

Ketika ceramah selesai dan sesi tanya jawab dibuka, seorang mahasiswa bertanya, apa motivasi Pak Pra menyepi dan bertafakur sebagaimana yang tadi diceritakannya. Di luar dugaan semua orang, Pak Pra marah mendapat pertanyaan itu.

Sambil marah pula, Pak Pra menjelaskan bahwa dia bertafakur di masa mudanya bukan karena motivasi apa pun, tapi karena memang ingin melakukannya. Dan kemarahan itu bahkan berlangsung cukup lama, selama menjelaskan bahwa dia bertafakur bukan karena mengharapkan sesuatu, bukan karena menginginkan apa pun, tetapi semata karena ingin melakukannya. Dengan nada marah ia menyatakan, “Urip kok motivasiiiii bae! Urip kok pamriiiiiih bae!” (“Hidup kok cuma motivasi! Hidup kok cuma pamrih!”)


Saya memahami kemarahan Pak Pra dilatarbelakangi karena kemuakannya terhadap gaya hidup orang modern yang segala sesuatunya dilandasi pamrih atau motivasi tertentu. Sebegitu akrab dengan pamrih, hingga kita di zaman ini sering tidak bisa memahami orang-orang yang melakukan sesuatu karena keikhlasan semata, karena memang ingin melakukannya, dan tidak bertendensi apa pun.

Kita terlalu akrab dengan pamrih, dengan motivasi di balik perbuatan yang kita lakukan, hingga tanpa sadar kita mulai asing dengan keikhlasan. Pernahkah kita menyadari kenyataan mengerikan itu? Kita telah menjadi semacam rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri, hingga perlahan-lahan kita kehilangan nurani dan nilai kemanusiaan yang kita miliki. Kita mau melakukan sesuatu jika melihat keuntungan yang bisa diperoleh, dan menolak atau enggan melakukan jika tidak ada imbalan. Kita sedang merendahkan kemanusiaan kita sendiri.

Kita percaya kepada Tuhan, mau beribadah sebagaimana perintah-Nya, tetapi diam-diam kita menyembunyikan motivasi untuk masuk surga atau terhindar dari neraka. Kita tidak beribadah karena memang ingin melakukannya sebagai bukti kehambaan dan kemanusiaan, melainkan karena motivasi dan pamrih surga-neraka. Jika memang begitu yang kita lakukan, akan seperti apakah kita jika surga dan neraka tidak ada?

Penyakit yang menghinggapi banyak orang modern adalah terlalu lekatnya pamrih dan motivasi, sehingga kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Yang mengerikan, kalau kita belum sadar, orang-orang semacam itu sangat mudah dikalahkan dan dihancurkan.

Pikirkan kenyataan ini. Jika seseorang melakukan sesuatu karena motivasi uang, orang itu bisa dikalahkan dengan uang. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dan moralnya akan tergadai. Jika seseorang mengerjakan sesuatu karena pamrih jabatan, dia pun akan mudah dihancurkan. Janjikan suatu jabatan kepadanya, dan kemanusiaannya akan terjual. Orang-orang penuh pamrih sangat mudah dikalahkan, bahkan dihancurkan.

Karenanya, orang paling kuat di dunia adalah orang yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. Orang semacam itu tidak bisa dikalahkan, karena dia melakukan sesuatu berdasar keikhlasan semata, tanpa pamrih, tanpa motivasi apa pun. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dia tidak akan berubah. Janjikan jabatan kepadanya, dia tetap bergeming. Dia akan terus melakukan sesuatu yang memang ingin dilakukannya, tak peduli orang lain tahu atau tidak, tak peduli dunia menatap kepadanya atau tidak.

Selain tak bisa dimanipulasi dengan uang, jabatan, atau semacamnya, orang-orang ikhlas semacam itu juga tidak bisa dihalang-halangi, dan tak bisa dihentikan. Jika dia ingin melakukan, dia akan melakukan. Halangi jalannya, dia akan mencari jalan lain. Letakkan batu sandungan, dia akan melompatinya. Orang yang melakukan sesuatu karena ingin melakukan, tidak bisa dihalangi dan tidak bisa dihentikan. Itulah orang paling kuat di dunia, yang melakukan sesuatu dengan keikhlasan, tanpa pamrih, tanpa tendensi.

Dalam rangkaian kata-kata yang inspiratif, Mario Teguh pernah menceritakan perempuan tua yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. (Rangkaian kata-kata itu sudah saya baca cukup lama, dan saya tuturkan kembali di sini berdasarkan ingatan semata. Mohon maaf kalau ada bagian yang kurang akurat).

Ceritanya—sebagaimana yang ditulis Mario Teguh—ada seorang perempuan tua yang biasa menyapu jalan di komplek perumahannya menjelang subuh. Sendirian, tanpa diketahui siapa pun, dia menyapu dan membersihkan jalanan. Selama waktu-waktu itu, orang-orang di komplek kadang mendengar suara-suara aneh di jalan, tapi mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di depan rumah mereka. Yang mereka tahu, setiap pagi, jalanan komplek telah bersih.

Pagi hari, seusai subuh, petugas kebersihan datang ke komplek perumahan itu, untuk mengambil dan mengakuti sampah. Mereka mendapati sampah-sampah telah ditumpuk dan dikumpulkan rapi, sehingga para petugas tidak perlu repot, dan mereka mengira penduduk komplek itu yang melakukannya. 

Jadi, para penduduk mengira para petugas kebersihan yang membersihkan komplek mereka hingga sangat bersih, sementara petugas kebersihan mengira orang-orang di komplek itu sangat rajin membersihkan lingkungannya. Tidak ada yang tahu, seorang perempuan tua melakukan hal itu saat orang-orang lain sedang terlelap—tanpa pamrih, tanpa tendensi, bahkan tanpa ingin diketahui. 

Namun, karena penduduk di komplek itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, muncul rumor macam-macam akibat suara-suara aneh yang sering mereka dengar waktu dini hari. Suara-suara aneh itu cukup membuat warga ketakutan, hingga mereka tidak ada yang berani keluar. Sampai kemudian, rumor itu terdengar seorang wartawan, yang lalu berniat menyelidikinya.

Si wartawan mendatangi komplek tersebut, berjaga di suatu tempat tersembunyi, untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana. Pada pukul 2 dini hari, sesosok perempuan tua muncul dengan sapu dan gerobak. Ia menyapu dan membersihkan komplek perumahan itu, mengumpulkannya dengan rapi, hingga petugas kebersihan tinggal mengangkutnya saat mereka datang di pagi hari. 

Si wartawan pun kemudian memahami bahwa “suara-suara aneh” yang didengar warga setiap dini hari adalah gesekan sapu dan gerobak si perempuan tua, dan rupanya dialah yang selama ini telah membersihkan komplek itu tanpa diketahui siapa pun. Si wartawan berniat menulis kisah itu di korannya. Si perempuan tua mengizinkan, namun dia tidak ingin identitasnya diungkap di koran.

Sekarang, jika kita bertanya kenapa perempuan tua itu mau bangun di tengah malam, lalu menyapu komplek perumahannya hingga bersih, kita tidak akan menemukan jawaban apa pun, selain karena dia memang ingin melakukannya! Dia tidak ingin mendapatkan uang, tidak berharap jabatan atau penghargaan, dia bahkan melakukannya ketika orang-orang lain sedang terlelap, hingga tidak ada yang tahu dialah yang melakukan. Dia hanya melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya. Semudah itu, sesederhana itu.

Dan itulah yang disebut manusia. Ketika kebaikan dilakukan semata karena itu baik, tanpa berharap pujian, penghargaan, ataupun pamrih agar terkenal. 

Kenapa kita sepertinya tidak bisa menerima konsep sederhana tapi mulia semacam itu...? Kenapa kita harus selalu berpikir apa keuntungan yang kita dapatkan jika melakukan sesuatu? Lebih ironis lagi, mengapa kita selalu curiga pada orang lain yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya?

Karena itulah, Pak Pra sampai marah ketika ada mahasiswanya yang mempertanyakan apa motivasinya ketika dia menyepi dan bertirakat di masa mudanya. Pak Pra tidak hanya marah karena keikhlasannya dipertanyakan, tetapi juga karena muak menyaksikan generasi abad ini telah begitu berjarak dengan ketulusan, asing dengan keikhlasan. Segalanya dengan pamrih, dengan tendensi—dari berharap imbalan uang, sampai ingin masuk koran dan terkenal. 

Kita telah berubah menjadi rayap-rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri. Kita sudah malih rupa menjadi lintah-lintah yang mengisap nurani kita sendiri. Proses itu mungkin berlangsung pelan, diam-diam, tanpa disadari. Tetapi peradaban dan gaya hidup yang kita jalani terus mengubah identitas dan nurani kita, hingga pelan-pelan kita tidak lagi menjadi manusia. Kita mulai asing dengan ketulusan, mulai berjarak dengan keikhlasan, hingga apa pun yang kita lakukan selalu dilandasi pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi.

Di tengah-tengah rusaknya Gotham City yang dicengkeram pemerintahan korup dan masyarakat bobrok, seorang milyuner bernama Bruce Wayne mengenakan jubah dan topengnya untuk menjadi Batman. Di belantara New York yang disesaki gedung-gedung tinggi pencakar langit yang individualis dan materialistis, seorang pemuda miskin bernama Peter Parker mengenakan kostum untuk menyembunyikan identitasnya, dan menjadi Spiderman.

Ketika melakukan kebajikan dan perbuatan-perbuatan baik kepada sesama, Bruce Wayne maupun Peter Parker tidak mengharapkan uang atau imbalan, pun tidak ingin masuk televisi agar terkenal, tetapi semata karena ingin melakukannya—menyadari bahwa mereka harus melakukannya. Di mata saya, mereka bukan hanya pahlawan, bukan sekadar superhero. Mereka adalah manusia yang sedang mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia.