Kadang teman menilai saya adalah orang gila. Tetapi ada juga teman yang menilai saya adalah orang bijak. Ouh well, semuanya itu benar tergantung dari mana teman saya menilai saya.
~Bayu
Dalam suatu percakapan berdua Siang hari ini di samping Istana Negara, di bawah pohon rimbun, di atas kisruh naiknya harga bbm (bahan bakar minyak) dan di tambah semrawutnya DP mobil para pejabat tinggi negara, seorang teman berkata, “Aku sangat ingin
tahu. Apakah kamu percaya alam akhirat?”
“Kenapa kamu ingin tahu?” saya balik bertanya.
“Yeah... sebenarnya, aku hanya penasaran,” dia menjawab. “Maksudku, mungkin
kamu punya pikiran yang agak liar atau... yeah, semacam itulah. Jadi, kamu
percaya alam akhirat—atau tidak?”
“Aku memilih untuk percaya.”
Dia menatap saya. “Apa artinya itu?”
Sembari meminum es teh manis, kemudian saya berkata perlahan-lahan, “Sebagai bocah bandel,
sejujurnya aku sulit membayangkan alam akhirat seperti apa. Tetapi aku juga
sulit percaya jika alam akhirat tidak ada. Jadi, meski sulit membayangkannya,
aku memilih untuk percaya alam akhirat memang ada. Bahkan, aku berharap, dan berdoa,
semoga akhirat benar-benar ada.”
“Tapi kamu percaya teori evolusi...”
“Aku tidak pernah mengatakan aku percaya teori evolusi.”
Dia tampak serba salah. “Uh, kupikir...”
“Kadang kita memang suka berasumsi, dan terlalu cepat menarik kesimpulan.
Hanya karena seseorang punya ketertarikan pada teori evolusi, kita menyimpulkan
dia mempercayai teori evolusi.”
“Jadi... kamu tidak percaya teori evolusi?”
“Aku juga tidak pernah mengatakan bahwa aku tidak percaya teori evolusi.”
“Uh... jadi?” Dia menatap dengan bingung. “Biar kubuat sederhana, kamu
percaya teori evolusi—atau tidak?”
Saya tersenyum. “Dari tadi kamu menyebut teori evolusi, teori evolusi, teori
evolusi. Kenapa kamu tidak menyadari ucapanmu sendiri?”
“Oh, ayolah, tolong jelaskan.”
Saya meminum es teh manis itu lagi, kemudian menjelaskan, “Teori evolusi hanyalah
teori—sesuatu yang (masih) bersifat teoritis dan interpretatif—karena itu pula
disebut ‘teori evolusi’. Jangankan aku, bahkan Charles Darwin pun sebenarnya
belum yakin dengan teorinya sendiri. Darwin menemukan interpretasinya tentang
evolusi yang kemudian ia simpulkan menjadi teori evolusi. Tetapi dia sendiri
belum yakin, karena masih ada lubang—missing link—yang belum bisa ia temukan,
bahkan sampai hari ini.”
“Tapi kamu mengagumi Darwin?”
“Aku mengagumi Darwin karena kemampuannya berpikir dalam biologi, tak jauh
beda dengan kekagumanku pada Richard Dawkins. Atau Karl Marx. Atau Nietzsche.
Atau Socrates. Atau Gus Dur. Atau Goenawan Mohamad. Atau Nurcholis Madjid. Oh,
well, sebut lainnya. Tetapi mengagumi seseorang bukan berarti kemudian aku
mempercayai bulat-bulat apa saja yang mereka ocehkan. Orang-orang itu memiliki
pemikiran-pemikiran yang mengagumkan, dan aku mengagumi pikiran mereka. Soal
apakah aku setuju atau tidak dengan pemikiran mereka, itu urusan lain.”
Sesaat dia diam. Kemudian bertanya ragu, “Jadi, intinya, kamu percaya teori
evolusi—atau tidak?”
“Aku mempercayai teori evolusi—sebatas sebagai teori—sebagaimana Charles
Darwin mempercayai teorinya sendiri. Maksudku, sebagai teori dalam bidang
biologi, teori evolusi memiliki dasar argumen yang sahih. Jika kemudian
kesahihan dasar argumen yang digunakan Darwin terbukti keliru, ya tidak
apa-apa, namanya juga teori. Dalam tahun-tahun terakhir, misalnya, ada banyak
pihak yang berusaha menunjukkan kekeliruan-kekeliruan teori Darwin. Tidak
apa-apa, karena memang begitulah ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan, umpama
Darwin saat ini masih hidup, aku membayangkan dia akan berterima kasih pada
orang-orang yang telah menunjukkan kekeliruannya—sebagaimana ilmuwan lain. Dan
itulah yang menjadikan sains menarik—tidak dogmatis, tapi terbuka pada
koreksi.”
“Uh... kalau boleh kusimpulkan, jadi kamu percaya teori evolusi, tapi juga
percaya alam akhirat?”
“Seperti yang kubilang tadi, aku percaya teori evolusi sebagai teori. Dengan
kata lain, aku tidak menjadikan teori evolusi sebagai iman yang menjadi dasar
keyakinan. Memang benar bahwa teori evolusi memiliki beberapa lubang yang
bahkan Darwin sendiri tidak mampu menjelaskan. Tetapi bahwa teori evolusi juga
punya hal-hal benar, kita harus mengakui. Jika kemudian hal-hal benar dalam
teori evolusi di masa depan terbukti keliru, sekali lagi tidak apa-apa, karena
memang begitulah teori, seperti itulah sifat ilmu pengetahuan.”
“Lalu bagaimana soal akhirat?”
“Berbeda dengan teori evolusi, akhirat adalah soal keyakinan. Seperti yang
kunyatakan tadi, aku sulit membayangkan alam akhirat seperti apa. Tetapi aku
memilih untuk percaya. Dan, omong-omong, itulah yang disebut iman—segugus
kepercayaan yang tidak menuntut bukti. Jika teori evolusi bersifat intelektual,
soal akhirat bersifat spiritual. Jika suatu saat teori evolusi terbukti keliru,
aku pun akan meralat kepercayaanku. Berbeda dengan iman. Sampai kapan pun kita
akan sulit membuktikan apakah akhirat ada atau tidak—karenanya aku lebih
memilih untuk percaya.”
“Kenapa kamu memilih untuk percaya akhirat benar-benar ada?”
“Karena aku sulit membayangkan akhirat tidak ada.”
“Kenapa kamu sulit membayangkan akhirat tidak ada?”
“Karena, jika akhirat tidak ada, maka seluruh kehidupan kita benar-benar
parodi yang sama sekali tak lucu, dan kehidupan umat manusia adalah ironi
paling mengerikan.”
“Tolong jelaskan.”
“Penjelasannya sangat panjang, dan percakapan ini bisa butuh waktu setengah
tahun jika aku harus menjelaskannya.”
Dia tertawa. “Oh, ayolah, jelaskan garis besarnya saja.”
Saya terdiam sesaat, meminum es teh manis, kemudian berkata perlahan-lahan, “Dunia
yang kita tinggali sebenarnya tempat yang adil—kita menanam biji mangga, dan
kita mendapat pohon mangga. Adil. Seimbang. Jujur. Tapi manusia sering kali
tidak adil. Seseorang menanam biji mangga, tapi berharap mendapat pohon durian.
Ketika harapannya tidak tercapai, dia merampas pohon durian orang lain.
Begitulah awal kejahatan terjadi—karena manusia tidak adil terhadap dirinya
sendiri, dan kepada orang lain. Karena manusia berpotensi tidak adil, dan
kejahatan bisa terjadi, maka manusia pun membutuhkan institusi-institusi hukum
yang diharapkan bisa memberi keadilan. Tapi institusi-institusi hukum itu pun
dijalankan manusia, yang bisa sama tidak adil seperti manusia lain. Maka,
ketika seseorang teraniaya dan ia tidak bisa mendapat keadilan dari institusi
manusia, ke manakah dia harus mengadu? Pada siapa dia harus meminta keadilan?
Di tempat mana keadilan akan benar-benar ditegakkan tanpa intervensi nafsu
manusia?”
Dia mengangguk.
Saya melanjutkan, “Karena itulah aku memilih untuk percaya bahwa akhirat
benar-benar ada. Aku bahkan berdoa, berharap sepenuh jiwa, bahwa akhirat
benar-benar ada. Agar setiap manusia bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya,
kejahatannya, ketidakadilannya. Terlepas apakah manusia hanyalah produk evolusi
atau makhluk yang murni, manusia membutuhkan akhirat—setidaknya, aku berpikir
begitu.”
“Sekarang aku mulai paham.”
“Senang mendengarnya.”
“Tapi, jika alam akhirat benar-benar ada, dan kelak di sana kamu ternyata
dinilai punya banyak kesalahan, dan divonis masuk neraka, bagaimana?”
Saya tersenyum. “Tidak apa-apa. Karena setiap kita memang harus bertanggung
jawab. Jadi, kalau hasil pengadilan di akhirat memutuskan aku masuk neraka, ya
tidak apa-apa. Kalau itu memang terjadi, aku percaya pertimbangan yang
dilakukan di sana benar-benar adil, dan aku harus menerima. Di akhirat, aku
percaya, tidak ada upaya kriminalisasi, tidak ada pengacara yang memanfaatkan
kasus, tidak ada hakim yang korup, juga tidak ada jaksa yang minta disuap.
Jadi, apa pun keputusannya, aku akan menerima.”
Sekarang dia yang tersenyum. Kemudian, sambil tersenyum pula, dia berkata,
“Itu kalau umpama kamu masuk neraka. Nah, kalau umpama kamu ternyata dinilai
melakukan banyak kebajikan, dan divonis masuk surga, apa yang akan kamu
lakukan?”
“Well... pasti banyak hal menyenangkan yang bisa kulakukan di surga—misalnya
membaca buku. Atau bermain Play Station dengan game Winning Eleven seri terbaru. Tapi mungkin aku akan sering
jalan-jalan ke pinggir neraka.”
“Untuk apa?”
“Untuk menyaksikan hal-hal yang ingin kita saksikan di dunia, tapi tak bisa
kita saksikan karena adanya ketidakadilan. Well, pasti menyenangkan melihat
koruptor-koruptor bangsat diguyur aspal panas, hakim-hakim korup dibakar
hidup-hidup, dan keparat-keparat pengisap darah rakyat disiksa di dasar
neraka.” Sambil meminum es teh manis yang sudah mau habis, saya melanjutkan, “Karena
itulah aku percaya akhirat benar-benar ada. Tempat kita benar-benar bisa
menyaksikan keadilan... sepenuh-penuhnya keadilan.”
Dia mengangguk-angguk. Kemudian mengajukan pertanyaan tak terduga,
“Menurutmu, apakah Charles Darwin akan masuk surga?”
Saya tertawa. “Hahaha Aku tidak tahu.”